Mencerdaskan kehidupan
bangsa. Salah satu kalimat yang dirumuskan oleh founding fathers dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Satu kalimat namun penuh makna. Satu
kalimat namun melibatkan segenap penduduk NKRI. Hal tersebut dikarenakan sejak
dilahirkan, tanpa disadari, umat manusia secara fitrahnya dituntut untuk
menjadi cerdas. Tidak hanya cerdas dalam bidang akademisi dan formal, namun cerdas
dalam hidup dan kehidupan.
Namun demikian, sejalan
dengan usia kemerdekaan yang telah berpuluh-puluh tahun silam kita genggam,
masih ditemukan fakta di lapangan tentang “belum merdeka”nya kita dalam
berpendidikan. Seringkali guru, siswa, bahkan orang tua merasakan tekanan berat
ketika berhadapan dengan pembelajaran. Mulai beban administrasi, prestasi,
nilai, kesejahteraan, keuangan, sampai hubungan interaksi pendidikan yang
kurang baik. Dan fenomena tersebut terjadi secara berulang dan tanpa
disadari terkadang kita alami juga.
Mungkin fenomena yang hampir
dialami oleh semua guru, murid, maupun orang tua murid adalah perubahan kurikulum
yang terjadi sejak zaman kemerdekaan. Sejarah pendidikan di Indonesia terus
mengalami transformasi yang panjang guna memenuhi standar mutu yang baik dari
waktu ke waktu. Tak pelak lagi, perubahan yang mendasar pun terus dilakukan.
Tengok saja dalam sejarahnya, sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan di
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, hingga 2006. Hal ini tidak lepas dari
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Perubahan dan pergeseran
mindset pendidikan di Indonesia juga sudah mulai terasa satu dua dekade ini.
Bagi orang tua yang masuk ke dalam klasifikasi generasi baby boomer maupun penulis
sendiri yang masuk ke dalam klasifikasi generasi X, niscaya akan terkaget-kaget
dengan perubahan kurikulum yang terjadi sejak tahun 1994, 2004, dan 2006. Terdapat
beberapa mata pelajaran yang sebelumnya tidak dikenal oleh dua generasi tersebut,
padahal sebagai kewajiban orang tua, mereka tetap harus mendampingi
putra-putrinya yang notabene masuk ke dalam generasi milenial dan generasi Z
untuk belajar di rumah, khususnya pada saat ini di era pandemi yang sebagian
besar masih menerapkan metode pengajaran jarak jauh. Tak ayal lagi, mereka dan
kita yang saat ini menjadi orang tua akan berusaha sekuat
tenaga untuk menyesuaikan diri dan pengetahuan dalam mendampingi putra putri
tercinta.
Mungkin oleh sebagian orang,
hal itu dirasakan sebagai beban yang hanya diemban oleh orang tua. Namun tanpa
disadari, baik guru maupun murid juga mengalami hal serupa. Guru maupun murid yang
sudah terbiasa dengan kurikulum lama, harus mulai berbenah menyesuaikan diri
dan ritme kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum yang baru.
Selain perubahan kurikulum, guru-murid-maupun
orang tua murid selalu dituntut-atau bahkan menuntut target yang tinggi,
biasanya diistilahkan dengan indikator “nilai”. Target mencapai “nilai” yang
tinggi yang dicerminkan oleh angka-angka atau huruf dalam rapor ataupun Ujian
Nasional seringkali disinyalir menjadi momok dan keluhan tersendiri.
Dengan patokan nilai-nilai
tertentu untuk seleksi masuk sekolah-sekolah “favorit”, orang tua murid menuntut
anak-anak mereka agar mampu menorehkan nilai-nilai tersebut guna menembus
sekolah “favorit”. Guru-guru pun menjadi berusaha ekstra keras untuk
menggembleng anak didiknya supaya memenuhi ekspektasi para orang tua. Dan
akhirnya anak-anak kita-para murid-muridlah yang dibebani dengan segala macam
pelajaran di sekolah maupun pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah. Waktu
bermain mereka berkurang. Pun dengan waktu untuk bersosialisasi dengan
sebayanya atau lingkungannya. Waktu bagi para guru untuk keluarga dan
lingkungannya juga berkurang. Dan akhirnya semuanya seperti benang ruwet yang
saling berikatan tapi susah untuk diuraikan.
Namun demikian, patut
disyukuri, Kemendikbud menyikapi fenomena tersebut dengan program merdeka belajar. Program yang dicetuskan dari banyaknya keluhan
di sistem pendidikan. Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang
dipatok oleh nilai-nilai tertentu. Program ini berupaya untuk memastikan proses pendidikan harus
menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan bagi semua orang (happy
learning). Merdeka belajar adalah kebebasan berpikir, terutama esensi
kemerdekaan berpikir harus ditanamkan kepada kalangan tenaga pendidik dulu.
Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid.
Paradigma program merdeka belajar adalah untuk mempertimbangkan perubahan yang
harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai macam sekolah.
Salah satu wujud program ini adalah ditetapkannya kebijakan penghapusan Ujian
Nasional mulai tahun 2021 untuk diganti dengan sistem Asesmen Nasional. Asesmen
Nasional dilakukan untuk menilai efektivitas pembelajaran dan ketercapaian
kurikulum pada satuan pendidikan.
Menurut penjelasan
Kemendikbud, asesmen nasional yang akan dilaksanakan nanti merupakan asesmen
yang dilakukan untuk pemetaan mutu pendidikan pada semua sekolah, madrasah,
serta program kesetaraan jenjang dasar dan menengah. Asesmen ini juga tidak
lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi
mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.
Asesmen Nasional yang direncanakan
terdiri dari 3 instrumen, yaitu Asesmen kompetensi minimum, Survei karakter, dan
Survei lingkungan belajar diharapkan akan mampu membentuk mindset bahwa nilai
bukanlah penentu kompetensi seseorang atau akreditas bukan juga menjadi tolak
ukur kemampuan, sehingga kegiatan peningkatan mutu sumber daya manusia dapat menghadirkan
masyarakat yang kaya akan kreatifitas dalam pengaktualisasian ilmunya sendiri
dan memaksa supaya tidak berpikir monoton.
Semoga program merdeka belajar mampu memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Saatnya
membebaskan pendidikan agar tercipta pembelajaran yang menyenangkan sehingga
terbentuk pendidikan yang bermutu dan mencerdaskan. Selamat Hari Guru
Nasional, 25 November 2020.