Kurang
lebih satu semester terakhir ini, seluruh dunia termasuk Indonesia, dilanda
kecemasan yang sama. Yaa, kecemasan itu bernama pandemi corona. Orang cemas
kalau tertular, terpapar, kena, positif, lalu entah bisa bertahan entah tidak.
Amerika punya kecemasan yang sama dengan Bangladesh. Para borjuis punya
kecemasan yang sama dengan kelas menengah dan kaum proletar.
Sebelum
itu, kita hampir tidak pernah punya kecemasan seperti ini. Memang, kecemasan
macam ini tidak sering terjadi dalam peradaban manusia. Yang biasanya dialami
adalah kecemasan karena kepentingan ekonomi dan politik, kecemasan parsial atau
kecemasan akibat peristiwa kontroversial. Para pengusaha yang mengeksploitasi
lingkungan punya kecemasan proyek bisnis mereka dilawan oleh masyarakat setempat.
Sementara masyarakat setempat melawan karena punya kecemasan alam mereka rusak
karena tambang atau pertanian berskala besar. Biasanya dalam kecemasan seperti
ini, tergugahlah energi purba manusia untuk kemudian bekerja sama dan mengalami
soliditas kembali.
Kembali
ke topik kita yaitu pandemi corona, kecemasan yang ditimbulkan berdampak
pada sikap prudent masing-masing untuk
menjaga diri maupun keluarganya dari potensi tertular, terpapar, atau terkapar
akibat corona. Hal itu ditandai dengan timbulnya kesadaran masyarakat untuk
meningkatkan frekuensi aktivitas mencuci tangan, diindikasikan dengan
berjejernya kran air atau wastafel darurat yang dilengkapi sabun cair atau
sabun batangan. Selain itu, fenomena yang beberapa bulan terakhir ini booming
yaitu trend para pekerja kantoran di kota metropolis yang mulai “meninggalkan”
moda transportasi massal dengan beralih ke sepeda onthel maupun sepeda kekinian. Trend tersebut
diikuti dengan “hobi” mendadak bersepeda di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Semenjak masa pandemi corona, kegiatan bersepeda benar-benar
menemukan momentumnya. Orang-orang berbondong-bondong untuk bergowes ria. Ia
menjadi semacam pelampiasan bagi orang-orang yang ruang geraknya memang semakin
terbatas sejak merebaknya corona. Imbasnya, penjualan sepeda menjadi laris manis dan
penggunaan moda transportasi sepeda oleh khlayak ramai pun meningkat. Dari
jenis sepeda gunung, road bike sampai
sepeda lipat; dari sepeda seharga ratusan ribu, belasan juta sampai ratusan
juta. Dari sepeda paling murah yang sadelnya
keras seperti bangku besi taman, sampai sepeda super mahal yang dengan melihat
jeruji rodanya saja sudah cukup untuk membuat orang bergaji pas-pasan langsung
minder. Bahkan saking nge-trend nya penggunaan sepeda akhir-akhir
ini, sampai-sampai salah seorang gubernur mencetuskan ide untuk menggunakan
salah satu ruas jalan tol sebagai lintasan road
bike.
Terlepas
dari semua itu, trend bersepeda ini adalah trend positif
yang sebenarnya harus disyukuri. Orang-orang banyak menggunakan sepeda, baik
sebagai sebuah ritual rekreatif maupun sebagai sarana transportasi jarak dekat.
Kita semakin dekat dengan kebiasaan bersepeda orang-orang Jepang atau Belanda.
Walau memang kebiasaan ini muncul karena efek yang agak “terpaksa” dan
insidentil.
Namun demikian, sekali lagi, bersepeda itu baik baik bagi
kesehatan dan lingkungan. Bukankah kita sering merindukan romantisme masa-masa
ketika banyak orang bersepeda, udara masih bersih, belum banyak asap knalpot, kemacetan
belum melanda, dan lain sebagainya. Nah, trend bersepeda ini merupakan salah
satu jalan untuk mewujudkan romantisme tersebut.
Dan satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya setiap trend, sesuai
fitrahnya akan menimbulkan ekses dan permasalahan tersendiri. Sekali lagi, trend
apa pun. Pernah suatu waktu booming trend travelling ke pantai. Hampir setiap
lini masa dihiasi dengan “pamer” foto traveller yang berkunjung ke suatu
pantai, atau bahkan foto sedang diving. Trend ini ternyata menyisakan masalah
lingkungan seperti banyaknya sampah di pantai dan dasar laut yang berdampak
pada kelestarian lingkungan dan biota laut. Atau trend balon udara yang di
kemudian hari menimbulkan masalah berupa terganggunya aktivitas penerbangan
pesawat udara. Atau trend bermain game online yang membuat anak-anak tak segan
meminta uang kepada orangtuanya demi mempunyai ongkos untuk bermain game online.
Dalam kasus trend bersepeda ini, masalah yang timbul antara
lain adalah munculnya pesepeda-pesepeda kambuhan yang bersikap sembrono dan
seenaknya. Banyak pesepeda yang bersikap sembrono, misal bersepeda
secara rombongan dan memenuhi jalan secara pararel dalam bersepeda, dan hal ini
berdampak pada timbulnya rasa sebal tersendiri dari pengguna jalan yang
lain.
Di sosial media, video-video pesepeda yang bodoh dan sembrono banyak disebarkan, begitu pula tingkah-tingkah para pesepeda yang menyebabkan kecelakaan lalu-lintas. Di berbagai grup kolektif lokal, protes terhadap kelakuan-kelakuan para pesepeda pun mulai bermunculan. Hal tersebut seiring dengan makin banyaknya orang yang merasa dirugikan oleh ulah para pesepeda. Dari mulai ulah pesepeda yang nekat membawa sepedanya ke dalam kafe, sampai ulah pesepeda yang berjajar di belakang rambu dan menghalangi kendaraan yang ingin belok kiri. Hal-hal tersebut tidak seharusnya terjadi apabila pesepeda-pesepeda “dadakan” tersebut paham bahwasanya dalam setiap aktivitas kehidupan termasuk aktivitas gowes-pun tetap mempunyai norma dan etika yang harus diterapkan dan ditegakkan.
Bersepeda seharunya menjadi
Penulis: Mahmud
Ashari (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)