Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Kisaran > Artikel
Corona,Sepeda, dan Etika
Mahmud Ashari
Sabtu, 05 September 2020   |   669 kali

Kurang lebih satu semester terakhir ini, seluruh dunia termasuk Indonesia, dilanda kecemasan yang sama. Yaa, kecemasan itu bernama pandemi corona. Orang cemas kalau tertular, terpapar, kena, positif, lalu entah bisa bertahan entah tidak. Amerika punya kecemasan yang sama dengan Bangladesh. Para borjuis punya kecemasan yang sama dengan kelas menengah dan kaum proletar.

Sebelum itu, kita hampir tidak pernah punya kecemasan seperti ini. Memang, kecemasan macam ini tidak sering terjadi dalam peradaban manusia. Yang biasanya dialami adalah kecemasan karena kepentingan ekonomi dan politik, kecemasan parsial atau kecemasan akibat peristiwa kontroversial. Para pengusaha yang mengeksploitasi lingkungan punya kecemasan proyek bisnis mereka dilawan oleh masyarakat setempat. Sementara masyarakat setempat melawan karena punya kecemasan alam mereka rusak karena tambang atau pertanian berskala besar. Biasanya dalam kecemasan seperti ini, tergugahlah energi purba manusia untuk kemudian bekerja sama dan mengalami soliditas kembali.

Kembali ke topik kita yaitu pandemi corona, kecemasan yang ditimbulkan berdampak pada sikap prudent masing-masing untuk menjaga diri maupun keluarganya dari potensi tertular, terpapar, atau terkapar akibat corona. Hal itu ditandai dengan timbulnya kesadaran masyarakat untuk meningkatkan frekuensi aktivitas mencuci tangan, diindikasikan dengan berjejernya kran air atau wastafel darurat yang dilengkapi sabun cair atau sabun batangan. Selain itu, fenomena yang beberapa bulan terakhir ini booming yaitu trend para pekerja kantoran di kota metropolis yang mulai “meninggalkan” moda transportasi massal dengan beralih ke sepeda onthel  maupun sepeda kekinian. Trend tersebut diikuti dengan “hobi” mendadak bersepeda di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Semenjak masa pandemi corona, kegiatan bersepeda benar-benar menemukan momentumnya. Orang-orang berbondong-bondong untuk bergowes ria. Ia menjadi semacam pelampiasan bagi orang-orang yang ruang geraknya memang semakin terbatas sejak merebaknya corona. Imbasnya, penjualan sepeda menjadi laris manis dan penggunaan moda transportasi sepeda oleh khlayak ramai pun meningkat. Dari jenis sepeda gunung, road bike sampai sepeda lipat; dari sepeda seharga ratusan ribu, belasan juta sampai ratusan juta. Dari sepeda paling murah yang sadelnya keras seperti bangku besi taman, sampai sepeda super mahal yang dengan melihat jeruji rodanya saja sudah cukup untuk membuat orang bergaji pas-pasan langsung minder. Bahkan saking nge-trend nya penggunaan sepeda akhir-akhir ini, sampai-sampai salah seorang gubernur mencetuskan ide untuk menggunakan salah satu ruas jalan tol sebagai lintasan road bike.

Terlepas dari semua itu, trend bersepeda ini  adalah trend positif yang sebenarnya harus disyukuri. Orang-orang banyak menggunakan sepeda, baik sebagai sebuah ritual rekreatif maupun sebagai sarana transportasi jarak dekat. Kita semakin dekat dengan kebiasaan bersepeda orang-orang Jepang atau Belanda. Walau memang kebiasaan ini muncul karena efek yang agak “terpaksa” dan insidentil.

Namun demikian, sekali lagi, bersepeda itu baik baik bagi kesehatan dan lingkungan. Bukankah kita sering merindukan romantisme masa-masa ketika banyak orang bersepeda, udara masih bersih, belum banyak asap knalpot, kemacetan belum melanda, dan lain sebagainya. Nah, trend bersepeda ini merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan romantisme tersebut.

Dan satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya setiap trend, sesuai fitrahnya akan menimbulkan ekses dan permasalahan tersendiri. Sekali lagi, trend apa pun. Pernah suatu waktu booming trend travelling ke pantai. Hampir setiap lini masa dihiasi dengan “pamer” foto traveller yang berkunjung ke suatu pantai, atau bahkan foto sedang diving. Trend ini ternyata menyisakan masalah lingkungan seperti banyaknya sampah di pantai dan dasar laut yang berdampak pada kelestarian lingkungan dan biota laut. Atau trend balon udara yang di kemudian hari menimbulkan masalah berupa terganggunya aktivitas penerbangan pesawat udara. Atau trend bermain game online yang membuat anak-anak tak segan meminta  uang kepada orangtuanya demi mempunyai ongkos untuk bermain game online.

Dalam kasus trend bersepeda ini, masalah yang timbul antara lain adalah munculnya pesepeda-pesepeda kambuhan yang bersikap sembrono dan seenaknya. Banyak pesepeda yang bersikap sembrono, misal bersepeda secara rombongan dan memenuhi jalan secara pararel dalam bersepeda, dan hal ini berdampak pada timbulnya rasa sebal tersendiri dari pengguna jalan yang lain.

Di sosial media, video-video pesepeda yang bodoh dan sembrono banyak disebarkan, begitu pula tingkah-tingkah para pesepeda yang menyebabkan kecelakaan lalu-lintas. Di berbagai grup kolektif lokal, protes terhadap kelakuan-kelakuan para pesepeda pun mulai bermunculan. Hal tersebut seiring dengan makin banyaknya orang yang merasa dirugikan oleh ulah para pesepeda. Dari mulai ulah pesepeda yang nekat membawa sepedanya ke dalam kafe, sampai ulah pesepeda yang berjajar di belakang rambu dan menghalangi kendaraan yang ingin belok kiri. Hal-hal tersebut tidak seharusnya terjadi apabila pesepeda-pesepeda “dadakan” tersebut paham bahwasanya dalam setiap aktivitas kehidupan termasuk aktivitas gowes-pun tetap mempunyai norma dan etika yang harus diterapkan dan ditegakkan.

Bersepeda seharunya menjadi trend yang baik dan disukai oleh semua orang. Jangan sampai karena segelintir orang bodoh (baca: tidak beretika), orang-orang yang sebelumnya mempunyai hobi bersepeda (goweser) maupun orang-orang yang berkeinginan bersepeda menjadi mengurungkan niatnya, “menggantung” sepedanya dan akhirnya malas bersepeda.

Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini