Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Jambi > Artikel
Transisi Energi Menuju Energi Baru dan Terbarukan
Draya Tugus Kladery
Senin, 25 Maret 2024   |   83 kali

Indonesia merupakan negara besar secara geografis, memiliki luas wilayah lebih 5 juta km2, dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.000 pulau. Dengan cakupan seluas itu, tentu saja Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Secara demografis pun, pada tahun 2021 Indonesia menduduki peringkat ke-4 dalam jumlah penduduk, yaitu berkisar 273 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu dan sumber daya alam yang sangat melimpah tentunya Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara mandiri secara energi.

 

Di sisi lain, terlihat bahwa pengelolaan sumber daya alam Indonesia mengalami beberapa tantangan diantaranya kebutuhan energi hingga saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, yaitu sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Sayangnya dalam beberapa tahun belakangan ini, produksi energi hidrokarbon mengalami penurunan. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan produksi minyak mentah di Indonesia pada tahun 2021 hanya mampu mencapai 660 ribu barel per hari (bph)1. Adapun konsumsinya mencapai 1,4 juta bph. Maka dari itu terdapat ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan minyak mentah di Indonesia.

 

Hal ini bukan diakibatkan minimnya sumber daya alam di sektor migas melainkan belum optimalnya eksplorasi migas di seluruh Wilayah Kerja Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 20212, Indonesia memiliki 128 cekungan migas di mana 20 diantaranya sudah berproduksi, 27 telah ditemukan namun belum berproduksi, 13 belum ditemukan dan 68 belum dilakukan pemboran. Data tersebut menunjukan bahwa dari 128 cekungan hidrokarbon yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, hanya 20 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang berhasil diproduksi secara ekonomis.  Perlu diketahui bahwa Pemerintah telah menetapkan target produksi minyak sebesar 1 juta bph pada 2030, target tersebut berpotensi tercapai karena Indonesia memang memiliki potensi cekungan hidrokarbon yang cukup besar dan belum dieksplorasi seperti yang dikemukakan sebelumnya.  Walaupun produksi minyak 1 juta bph tercapai pada 2030, namun tidak menutup kemungkinan kita masih defisit karena kebutuhan akan minyak semakin meningkat setiap tahunnya.

 

Dalam mengatasi ketergantungan yang tinggi terhadap energi berbahan bakar fosil, Indonesia harus segera beralih kepada energi yang dapat menggantikan bahan bakar fosil dan kebijakan energi dunia saat ini menuju energi baru dan terbarukan yang secara perlahan tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil. Potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia pun cukup bervariatif seperti energi surya, angin, hidro, panas bumi, bioenergi dan laut. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)3, energi surya memiliki potensi paling tinggi mencapai 3.295 GW dengan pemanfaatan 0,27 GW. Kemudian energi hidro memiliki potensi sebesar 95 GW dan telah dimanfaatkan 6,69 GW. Selanjutnya, bioenergi memiliki potensi 57 GW dan telah dimanfaatkan 3,09 GW. Energi bayu memiliki potensi 155 GW, namun pemanfaatannya baru 0,15 GW. Adapun, panas bumi telah dimanfaatkan 2,34 GW dari potensi 24 GW. Terakhir, energi laut atau samudera masih belum dimanfaatkan sama sekali, padahal potensinya mencapai 60 GW. Berdasarkan gambaran umum di atas, dapat dilihat bahwa betapa melimpahnya potensi energi yang dapat kita manfaatkan dan masih belum dieksplorasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri.

 

Keseriusan pemerintah dalam kebijakan transisisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) terlihat dengan meningkatnya bauran EBT pada energi primer pembangkit listrik dengan rata-rata realisasi bauran sekitar 12-13 persen dan total kapasitas terpasang PLT EBT mencapai lebih dari 11 GW4. Sampat saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) dan masih dalam tahap pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR. RUU EBT nantinya akan memberikan kepastian hukum bagi pengembangan EBT, menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor dan mengoptimalkan sumber daya EBT dalam mendukung pembangunan industri dan ekonomi.

 

Program menuju transisi energi bukan hanya menjadi tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melainkan tugas kita bersama yaitu masyarakat Indonesia secara luas, dan Kementerian/Lembaga lainnya termasuk Kementerian Keuangan dari segi Fiskal. Perlu diketahui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sepanjang 2021 adalah sebesar Rp 452 triliun5, dengan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) sebesar Rp 150,8 triliun yang terdiri dari SDA migas Rp 98 triliun dan SDA nonmigas sebesar Rp 52,8 triliun. Penerimaan SDA menyumbang sekitar 33 persen dari PNBP atau 7,54 persen dari total Penerimaan Negara (Penerimaan Negara sekitar 2.000 triliun). Dapat disimpulkan bahwa penerimaan negara tidak didominasi oleh sektor sumber daya alam.

 

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya negara kita merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam melimpah dan hampir semua jenis SDA tersingkap di daratan dan lautan Indonesia, namun pengelolaannya belum optimal karena keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi. Salah satu penyebab kurang optimalnya pengelolaan SDA yang menimbulkan gap pemenuhan kebutuhan nasional salah satunya disebabkan karena belum terdapatnya neraca SDA yang dapat menjadi baseline data dalam pengembangan SDA di masa mendatang. Penyusunan Neraca SDA saat ini telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai leading sector dalam perumusan kebijakannya.

 

Kemenkeu telah mencantumkan penyusunan neraca sumber daya alam sebagai bagian dari inisiatif strategis transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan RI. Selain neraca sumber daya alam, akan disajikan laporan potensi fiskal SDA sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal. Indonesia dapat  menjadi negara mandiri secara energi. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang terus berkomitmen mengelola fiskal yang sehat dan efektif sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

 

Sumber :

 

1.     https://money.kompas.com/read/2022/01/17/152203326/lifing-migas-tahun-2021-tak-capai-target-ini-alasan-skk-migas?page=all

2.     https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-minyak-dan-gas-bumi/miliki-128-cekungan-hulu-migas-indonesia-masih-prospektif

3.     https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/miliki-potensi-ebt-3686-gw-sekjen-rida-modal-utama-jalankan-transisi-energi-indonesia

4.     https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-capaian-kinerja-sektor-esdm-tahun-2021-dan-rencana-tahun-2022.pdf

5.     https://nasional.kontan.co.id/news/pnbp-tahun-2021-capai-rp-452-triliun-sri-mulyani-luar-biasa

 

 Penulis : Draya Kladery

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini