Di dalam dinamika suatu organisasi, terdapat beberapa
modal dasar yang berperan penting terhadap keberlangsungan suatu organisasi. Beberapa
di antaranya, yaitu; modal finansial, modal manusia, modal intelektual, dan
seterusnya. Akan tetapi, terdapat satu modal lain yang sering terlupakan, yakni
modal sosial. Sering ditemuinya tingkat kepercayaan yang rendah antar individu
dalam organisasi, kurang efektifnya komunikasi,1) kerap munculnya blame
culture, dapat merupakan suatu tanda rendahnya modal sosial di dalam
organisasi tersebut.
Konsep modal sosial bukanlah hal baru dalam perkembangan organisasi. Konsep ini mulanya muncul lebih dari seabad yang lalu oleh L. J. Hanifan, seorang tenaga pendidik yang berasal dari Amerika Serikat di dalam tulisannya “The Rural School Community Centre”. Secara akademik, konsep ini diperkenalkan kembali tahun 1980-an oleh sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu, dan peneliti lainnya seperti Robert Putnam (1983) dan Francis Fukuyama (1995). Hingga akhirnya berkembang ke berbagai disiplin ilmu lainnya.
Mckinsey & company2) di dalam artikelnya, memaparkan konsep modal sosial sebagai:
“… Social capital—or the presence of networks, relationships, shared norms, and trust among individuals, teams, and business leaders—is the glue that holds organizations together. When teams feel connected, they tend to get more work done and do it faster. When colleagues trust their managers and one another, they tend to be more engaged, more willing to go beyond minimum work requirements, more likely to stick around, and, as research shows3), more likely to recommend that others join their organization. Social capital matters to an organization’s performance.”
Di tempat kerja yang saling ter-interkoneksi
sekarang ini, modal sosial tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu modal
organisasi yang memainkan peran dalam mendorong kolaborasi, inovasi, dan
kesuksesan organisasi secara keseluruhan.
Namun, disparitas modal sosial di kalangan individu
dalam organisasi dapat menghambat produktivitas, kohesi4), dan
semangat kerja. Dalam artikel ini, kita akan sedikit mengeksplorasi pentingnya
menjembatani kesenjangan modal sosial antar pegawai dan mendiskusikan secara
garis besar mengenai strategi efektif untuk menciptakan lingkungan kerja yang
lebih inklusif dan terhubung.
Kesenjangan modal sosial di kalangan pekerja
dapat timbul dari berbagai faktor seperti struktur hierarki, silo-silo,
perbedaan budaya, dan bias. Kesenjangan ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan
akses terhadap informasi, sumber daya, dan peluang,2) 5) yang pada
akhirnya berdampak pada kepuasan kerja, kemajuan karier, dan kinerja
organisasi.
Beberapa strategi2) yang bisa
diterapkan untuk membangun gaps tersebut, di antaranya:
a. Menumbuhkan Kepercayaan dan feedback
Kepemimpinan yang transparan, komunikasi yang konsisten, dan menunjukkan integritas sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan dalam tim dan seluruh organisasi. Mendorong tindakan timbal balik, seperti menawarkan bantuan, berbagi pengetahuan, dan mengakui kontribusi, dapat semakin memperkuat ikatan sosial.
b. Membangun Jaringan yang Inklusif6)
Mendorong inisiatif keberagaman dan inklusi sangat penting untuk menjembatani kesenjangan dalam modal sosial. Mendorong kolaborasi lintas fungsi, dan menciptakan peluang interaksi informal sehingga menumbuhkan a sense of belonging pada individu dalam organisasi.
c. Memanfaatkan Jaringan Eksternal
Keterlibatan dengan jaringan dan komunitas eksternal juga dapat berkontribusi untuk menjembatani kesenjangan. Berpartisipasi dalam acara asosiasi profesional, dan komunitas dapat membantu pekerja memperluas jaringan mereka, mendapatkan perspektif baru, dan mengakses sumber daya dan peluang.
d. Memperkuat Komunikasi
Membangun saluran komunikasi, seperti pertemuan tim rutin, feedback session, dan hybrid platform, dapat memfasilitasi berbagi informasi, pertukaran ide, dan membangun hubungan.
e.
dst.
Mengatasi hambatan seperti resistensi terhadap
perubahan, perbedaan budaya, dan hambatan organisasi lainnya sangat penting
untuk menjembatani kesenjangan modal sosial. Mendorong praktik kepemimpinan
inklusif, dan menumbuhkan budaya pembelajaran, serta perbaikan berkelanjutan
dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan ini dan mendorong pengembangan
modal sosial.
1)
https://businessmap.io/blog/successful-organizations-run-on-social-capital
2)
Taylor
Lauricella, John Parsons, Bill Schaninger, and Brooke Weddle
– Mckinsey & company https://www.mckinsey.com/capabilities/people-and-organizational-performance/our-insights/network-effects-how-to-rebuild-social-capital-and-improve-corporate-performance
3)
Mark S. Granovetter, “The strength of weak ties” American Journal of
Sosiology, May 1973, Volume 78, Number 6 https://snap.stanford.edu/class/cs224w-readings/granovetter73weakties.pdf
4)
https://www.nature.com/articles/s41586-022-04996-4
5)
Introduction to social capital for researchers 2022, https://www.youtube.com/watch?v=QJnxssXjcx0
Penulis: Novi (Staf Seksi PKN, KPKNL Jambi)