Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Jambi > Artikel
Kesenjangan Modal Sosial dalam organisasi: bridging the gaps
Muhammad Yose Rizal
Kamis, 29 Februari 2024   |   57 kali

Di dalam dinamika suatu organisasi, terdapat beberapa modal dasar yang berperan penting terhadap keberlangsungan suatu organisasi. Beberapa di antaranya, yaitu; modal finansial, modal manusia, modal intelektual, dan seterusnya. Akan tetapi, terdapat satu modal lain yang sering terlupakan, yakni modal sosial. Sering ditemuinya tingkat kepercayaan yang rendah antar individu dalam organisasi, kurang efektifnya komunikasi,1) kerap munculnya blame culture, dapat merupakan suatu tanda rendahnya modal sosial di dalam organisasi tersebut.

Konsep modal sosial bukanlah hal baru dalam perkembangan organisasi. Konsep ini mulanya muncul lebih dari seabad yang lalu oleh L. J. Hanifan,  seorang tenaga pendidik yang berasal dari Amerika Serikat di dalam tulisannya “The Rural School Community Centre”. Secara akademik, konsep ini diperkenalkan kembali tahun 1980-an oleh sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu, dan peneliti lainnya seperti Robert Putnam (1983) dan Francis Fukuyama (1995). Hingga akhirnya berkembang ke berbagai disiplin ilmu lainnya.

Mckinsey & company2) di dalam artikelnya, memaparkan konsep modal sosial sebagai:

“… Social capital—or the presence of networks, relationships, shared norms, and trust among individuals, teams, and business leaders—is the glue that holds organizations together. When teams feel connected, they tend to get more work done and do it faster. When colleagues trust their managers and one another, they tend to be more engaged, more willing to go beyond minimum work requirements, more likely to stick around, and, as research shows3), more likely to recommend that others join their organization. Social capital matters to an organization’s performance.”

Di tempat kerja yang saling ter-interkoneksi sekarang ini, modal sosial tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu modal organisasi yang memainkan peran dalam mendorong kolaborasi, inovasi, dan kesuksesan organisasi secara keseluruhan.

Namun, disparitas modal sosial di kalangan individu dalam organisasi dapat menghambat produktivitas, kohesi4), dan semangat kerja. Dalam artikel ini, kita akan sedikit mengeksplorasi pentingnya menjembatani kesenjangan modal sosial antar pegawai dan mendiskusikan secara garis besar mengenai strategi efektif untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan terhubung.

Kesenjangan modal sosial di kalangan pekerja dapat timbul dari berbagai faktor seperti struktur hierarki, silo-silo, perbedaan budaya, dan bias. Kesenjangan ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan akses terhadap informasi, sumber daya, dan peluang,2) 5) yang pada akhirnya berdampak pada kepuasan kerja, kemajuan karier, dan kinerja organisasi.

Beberapa strategi2) yang bisa diterapkan untuk membangun gaps tersebut, di antaranya:

a.       Menumbuhkan Kepercayaan dan feedback

       Kepemimpinan yang transparan, komunikasi yang konsisten, dan menunjukkan integritas sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan dalam tim dan seluruh organisasi. Mendorong tindakan timbal balik, seperti menawarkan bantuan, berbagi  pengetahuan, dan mengakui kontribusi, dapat semakin memperkuat ikatan sosial.

b.       Membangun Jaringan yang Inklusif6)

       Mendorong inisiatif keberagaman dan inklusi sangat penting untuk menjembatani kesenjangan dalam modal sosial. Mendorong kolaborasi lintas fungsi, dan menciptakan peluang interaksi informal sehingga menumbuhkan a sense of belonging  pada individu dalam organisasi.

c.       Memanfaatkan Jaringan Eksternal

      Keterlibatan dengan jaringan dan komunitas eksternal juga dapat berkontribusi untuk menjembatani kesenjangan. Berpartisipasi dalam acara asosiasi profesional, dan komunitas dapat membantu pekerja memperluas jaringan mereka,  mendapatkan perspektif baru, dan mengakses sumber daya dan peluang.

d.       Memperkuat Komunikasi

        Membangun saluran komunikasi, seperti pertemuan tim rutin, feedback session, dan hybrid platform, dapat memfasilitasi berbagi informasi, pertukaran ide, dan membangun hubungan.


e.       dst.

 

Mengatasi hambatan seperti resistensi terhadap perubahan, perbedaan budaya, dan hambatan organisasi lainnya sangat penting untuk menjembatani kesenjangan modal sosial. Mendorong praktik kepemimpinan inklusif, dan menumbuhkan budaya pembelajaran, serta perbaikan berkelanjutan dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan ini dan mendorong pengembangan modal sosial.

  

1)                https://businessmap.io/blog/successful-organizations-run-on-social-capital

2)                Taylor Lauricella, John Parsons, Bill Schaninger, and Brooke Weddle – Mckinsey & company https://www.mckinsey.com/capabilities/people-and-organizational-performance/our-insights/network-effects-how-to-rebuild-social-capital-and-improve-corporate-performance

3)                Mark S. Granovetter, “The strength of weak ties” American Journal of Sosiology, May 1973, Volume 78, Number 6 https://snap.stanford.edu/class/cs224w-readings/granovetter73weakties.pdf

4)                https://www.nature.com/articles/s41586-022-04996-4

5)                Introduction to social capital for researchers 2022, https://www.youtube.com/watch?v=QJnxssXjcx0

6)                https://fastercapital.com/content/Inclusion--Inclusion-and-Social-Capital--Creating-a-Stronger-Society.html#:~:text=Social capital is the network,respected, regardless of their differences.

 

Penulis: Novi (Staf Seksi PKN, KPKNL Jambi)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini