Pada hakikatnya, seluruh Barang Milik Negara
(BMN) diadakan untuk didayagunakan oleh Pemerintah untuk menunjang pelaksanaan
tugas dan fungsinya. BMN yang diadakan tentu sudah melalui perencanaan dengan
mekanisme Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). Jadi, setiap BMN yang
diadakan pasti sudah diukur secara tepat dan cermat demi mendukung pelaksanaan
tugas dan fungsi Pemerintah.
Namun, dengan adanya dinamika organisasi baik
yang dipengaruhi faktor internal maupun faktor eksternal, BMN yang sudah
terlanjur diadakan menjadi tidak terpakai sebagian atau bahkan parahnya bisa
tidak terpakai seluruhnya. Ketidakterpakaian BMN inilah yang menjadi masalah
bagi Pemerintah, mengingat kucuran dana yang telah digelontorkan untuk
mengadakan BMN tersebut menjadi sia-sia, padahal sumber daya pemerintah untuk
mengadakan BMN pastinya terbatas.
Sementara itu, apabila BMN yang tidak
terpakai tersebut hendak dijual, tentu saja bukan perkara mudah mengingat
lokasi BMN yang bisa jadi di tengah-tengah kantor pemerintah dan tidak memiliki
akses lain, atau karena alasan berjaga-jaga BMN tersebut jadi tidak layak untuk
dijual ke pihak lain. Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
111/PMK.06/2016 tentang Pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.06/2021, penjualan Barang
Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) memerlukan izin dari Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden, dimana proses ini tentunya akan memakan waktu
dan usaha yang tak sedikit, yang justru kontraproduktif dengan prinsip awal
pengadaan BMN tersebut.
Menangkap fenomena tersebut, Pemerintah melakukan
inisiasi optimalisasi Barang Milik Negara melalui skema pemanfaatan Barang
Milik Negara dengan menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
terakhir melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2020, juga disertai dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara. Berdasarkan
aturan-aturan tersebut, Pemanfaatan Barang Milik Negara memiliki beberapa skema
yakni :
1. Sewa, yaitu
Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu
tertentu dan menerima imbalan uang tunai;
2. Pinjam
Pakai, yaitu penyerahan Penggunaan barang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima
imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada
Pengelola Barang Pengguna Barang;
3. Kerja Sama
Pemanfaatan, yaitu pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan
pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya;
4. Bangun Guna
Serah, yaitu Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu
yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta
bangunan danf atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka
waktu;
5. Bangun Serah
Guna, yaitu Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan
setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati;
6.
Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur, yaitu kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha
untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
7.
Kerja Sama
Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, yaitu optimalisasi Barang Milik Negara
untuk meningkatkan fungsi operasional Barang Milik Negara guna mendapatkan
pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya.
Berbicara mengenai beberapa skema pemanfaatan
Barang Milik Negara, skema yang paling sederhana dan paling umum di mata
masyarakat adalah Sewa. Sering kita jumpai, di kantor-kantor Pemerintah kita
melihat ada ATM-ATM milik Bank BUMN/BUMD bahkan Bank Swasta, atau terdapat
restoran di Rumah Sakit Pemerintah, atau gedung-gedung pertemuan milik
Pemerintah yang dijadikan lokasi acara pernikahan. Hal tersebut merupakan
contoh dari pemanfaatan Barang Milik Negara melalui mekanisme sewa.
Sejak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara yang memiliki semangat
penertiban administrasi pemanfaatan Barang Milik Negara, kepatuhan satuan kerja
Pemerintah sebagai Pengguna Barang untuk memproses persetujuan sewanya kepada
Pengelola Barang yakni Menteri Keuangan cq. Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari
meningkatnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sewa, yang
pada tahun 2021 memperoleh 417 miliar rupiah, dan meningkat tajam pada tahun
2022 dengan memperoleh Pendapatan Negara Bukan Pajak sebesar 941 miliar rupiah.
Sebuah angka yang sangat besar untuk Barang Milik Negara yang awalnya tidur dan
menghasilkan nothing untuk negara,
menjadi something berupa dana segar
untuk dapat dimanfaatkan bagi pembangunan nasional di berbagai sektor.
Data di atas baru sekadar nilai rupiah murni yang masuk ke Kas Negara, namun pada kenyataannya Pemanfaatan Barang Milik Negara juga memberikan dampak eksternalitas ekonomi yang besar. Sebagai contoh, para pedagang makanan berskala kecil yang menyewa Barang Milik Negara secara ketentuan di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara dimungkinkan mendapatkan keringanan sewa hingga sebesar 75 persen.