Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Upaya Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara
Eva Nuryani
Selasa, 20 Februari 2024   |   101 kali

            Pengelolaan keuangan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara dapat menimbulkan hak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, termasuk piutang negara atau piutang daerah yang saat ini diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitya urusan Piutang Negara. Bahwa untuk memperkuat tugas dan wewenang pengurusan piutang negara oleh PUPN telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Salah satu wewenang yang dimiliki oleh PUPN dalam rangka pengurusan piutang negara adalah melakukan paksa badan. Pengertian Paksa Badan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Utang/Penjamin Utang atau Pihak yang Memperoleh Hak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan bertanggung jawab secara hukum atas Piutang Negara.

 

            Secara umum, sebelumnya lembaga Paksa Badan pernah dibekukan melalui SEMA Nomor 2 Tahun 1964 tentang Penghapusan Sandera (Gijzeling) karena dianggap bertentangan dengan perkemanusiaan. Namun demikian, melalui surat Ketua Mahkamah Agung tertanggal 3 Juni 1965, yang ditujukan kepada Kepala PUPN, peneparan gijzeling untuk pengurusan piutang negara masih diizinkan karena karakter hukum penyanderaan yang diatur dalam UU Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitian Urusan Piutang Negara berbeda.  


            Lembaga Paksa Badan ini kemudian dihidupkan kembali melalui PERMA No. 1 Tahun 2000. PERMA ini  memperjelas konsep gijzeling sebagai paksa badan yang mengarah pada imprisonment for civil debts yaitu paksa badan tidak dikenakan terhadap semua debitor melainkan hanya terhadap debitor yang memenuhi persyaratan. Dua legal reasoning Mahkamah Agung menghidupkan kembali Lembaga Sandera/Lembaga Paksa Badan di Indonesia yaitu:

1.  Pembekuan gijzeling dianggap tidak sesuai lagi dengan  keadaan dan kebutuhan hukum, dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Maka, sesuai kebutuhan hukum, keadilan dan pembangunan ekonomi, dirasakan perlu diterapkan Lembaga gijzeling.

2.   Tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang padahal mampu melakukannya juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang dampaknya lebih besar. Disini, alasan perikemanusiaan juga dipergunakan untuk memberlakukan kembali ketentuan gijzeling.

 

            Yahya Harahap (2019:448) menyebutkan paksa badan diterapkan kepada debitur yang licik (false) dan beritikad tidak baik (bad faith). Yang dimaksud orang yang beritikad tidak baik dijelaskan dalam Pasal 1 huruf b PERMA No.1 Tahun 2000. Pertama, mereka adalah debitor, penanggung utang atau penjamin, yang tidak memenuhi kewajibannya membayar utang padahal mampu memenuhinya. Kedua, debitor, penanggung utang atau penjamin yang demikian dikategorikan beritikad tidak baik sehingga terhadap mereka layak diterapkan paksa badan dengan cara memasukkan mereka ke dalam rumah tahanan negara untuk memaksa mereka memenuhi kewajiban.

 

Dalam konteks pengurusan piutang negara, PP 28 Tahun 2022 tentang PUPN, wewenang yang dimiliki oleh PUPN terkait dengan pelaksanaan Paksa Badan ini antara lain:

a.         Menerbitkan surat persetujuan atau penolakan paksa badan

b.         Surat permintaan izin Paksa Badan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi

c.         Surat perintah Paksa Badan/perintah perpanjangan Paksa Badan/perintah pembebasan Paksa Badan.

 

Pada Pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa PUPN menetapkan surat perintah Paksa Badan. Pada ayat (2) dalam hal:

a.      Penanggung Utang tidak mematuhi Surat Paksa

b.      Sisa Utang paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

c.      Penanggung Utang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang, tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikannya: dan

d.      Objek Paksa Badan belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.

dapat diterbitkan surat perintah Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

            Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam PERMA No 1 Tahun 2000 yang mengatur pembatasan yang didasarkan pada jumlah utang minimal satu milyar rupiah dan debitur tersebut beritikad tidak baik. Perbedaannya hanya pada batas usia objek paksa badan. Kalau menurut PP 28 Tahun 2022, objek paksa badan belum berusia 80 (delapan puluh) tahun, maka menurut PERMA No.1 Tahun 2000, diatur bahwa debitur yang telah berusia 75 tahun tidak dapat dikenakan paksa badan meskipun yang bersangkutan beritikad tidak baik.  Melalui upaya paksa badan ini diharapkan pengurusan piutang negara menjadi lebih optimal demi kembalinya hak-hak negara.

 

Penulis : Eva Nuryani - Kepala Seksi Hukum dan Informasi Bontang


Referensi :

1.      Peraturan  Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)

2.      https://www.hukumonline.com/stories/article/lt65c751c23b5ee/dinamika-politik-hukum-lembaga-paksa-badan-di-indonesia/

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini