Pengelolaan keuangan negara
untuk mewujudkan tujuan bernegara dapat menimbulkan hak pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, termasuk piutang negara atau piutang daerah yang saat ini
diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitya urusan Piutang Negara. Bahwa untuk
memperkuat tugas dan wewenang pengurusan piutang negara oleh PUPN telah terbit
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022
tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Salah satu wewenang yang dimiliki
oleh PUPN dalam rangka pengurusan piutang negara adalah melakukan paksa badan. Pengertian
Paksa Badan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah pengekangan kebebasan untuk sementara waktu
terhadap diri pribadi Penanggung Utang/Penjamin Utang atau Pihak yang Memperoleh
Hak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan bertanggung jawab
secara hukum atas Piutang Negara.
Secara umum, sebelumnya lembaga
Paksa Badan pernah dibekukan melalui SEMA Nomor 2 Tahun 1964 tentang
Penghapusan Sandera (Gijzeling) karena dianggap bertentangan dengan perkemanusiaan.
Namun demikian, melalui surat Ketua Mahkamah Agung tertanggal 3 Juni 1965, yang
ditujukan kepada Kepala PUPN, peneparan gijzeling untuk pengurusan piutang
negara masih diizinkan karena karakter hukum penyanderaan yang diatur dalam UU
Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitian Urusan Piutang Negara berbeda.
Lembaga Paksa Badan ini kemudian dihidupkan kembali melalui PERMA No. 1 Tahun 2000. PERMA ini memperjelas konsep gijzeling sebagai paksa badan yang mengarah pada imprisonment for civil debts yaitu paksa badan tidak dikenakan terhadap semua debitor melainkan hanya terhadap debitor yang memenuhi persyaratan. Dua legal reasoning Mahkamah Agung menghidupkan kembali Lembaga Sandera/Lembaga Paksa Badan di Indonesia yaitu:
1. Pembekuan
gijzeling dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum, dalam rangka
penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Maka,
sesuai kebutuhan hukum, keadilan dan pembangunan ekonomi, dirasakan perlu
diterapkan Lembaga gijzeling.
2. Tidak
memenuhi kewajiban pembayaran utang padahal mampu melakukannya juga merupakan pelanggaran
hak asasi manusia, yang dampaknya lebih besar. Disini, alasan perikemanusiaan
juga dipergunakan untuk memberlakukan kembali ketentuan gijzeling.
Yahya Harahap (2019:448)
menyebutkan paksa badan diterapkan kepada debitur yang licik (false) dan
beritikad tidak baik (bad faith). Yang dimaksud orang yang beritikad
tidak baik dijelaskan dalam Pasal 1 huruf b PERMA No.1 Tahun 2000. Pertama,
mereka adalah debitor, penanggung utang atau penjamin, yang tidak memenuhi kewajibannya
membayar utang padahal mampu memenuhinya. Kedua, debitor, penanggung utang atau
penjamin yang demikian dikategorikan beritikad tidak baik sehingga terhadap
mereka layak diterapkan paksa badan dengan cara memasukkan mereka ke dalam
rumah tahanan negara untuk memaksa mereka memenuhi kewajiban.
Dalam konteks pengurusan
piutang negara, PP 28 Tahun 2022 tentang PUPN, wewenang yang dimiliki oleh PUPN
terkait dengan pelaksanaan Paksa Badan ini antara lain:
a.
Menerbitkan
surat persetujuan atau penolakan paksa badan
b.
Surat
permintaan izin Paksa Badan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi
c.
Surat
perintah Paksa Badan/perintah perpanjangan Paksa Badan/perintah pembebasan
Paksa Badan.
Pada Pasal 55 ayat (1) disebutkan
bahwa PUPN menetapkan surat perintah Paksa Badan. Pada ayat (2) dalam hal:
a.
Penanggung
Utang tidak mematuhi Surat Paksa
b.
Sisa
Utang paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
c.
Penanggung
Utang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang, tetapi tidak menunjukkan
itikad baik untuk menyelesaikannya: dan
d.
Objek
Paksa Badan belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.
dapat diterbitkan surat
perintah Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Hal tersebut sejalan dengan
ketentuan dalam PERMA No 1 Tahun 2000 yang mengatur pembatasan yang didasarkan
pada jumlah utang minimal satu milyar rupiah dan debitur tersebut beritikad
tidak baik. Perbedaannya hanya pada batas usia objek paksa badan. Kalau menurut
PP 28 Tahun 2022, objek paksa badan belum berusia 80 (delapan puluh) tahun, maka
menurut PERMA No.1 Tahun 2000, diatur bahwa debitur yang telah berusia 75 tahun
tidak dapat dikenakan paksa badan meskipun yang bersangkutan beritikad tidak
baik. Melalui upaya paksa badan ini
diharapkan pengurusan piutang negara menjadi lebih optimal demi kembalinya
hak-hak negara.
Penulis : Eva Nuryani - Kepala Seksi Hukum dan Informasi Bontang
Referensi :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
2. https://www.hukumonline.com/stories/article/lt65c751c23b5ee/dinamika-politik-hukum-lembaga-paksa-badan-di-indonesia/