Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara (UU 49/1960). Penjelasan Pasal 2 UU 49/1960 secara eksplisit
menyebutkan bahwa sifat PUPN adalah interdepartemental. Sifat interdepartemental
ini kemudian diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara (Perpres 89/2006) yang mengatur bahwa susunan
keanggotaan PUPN terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung untuk PUPN Pusat. Sedangkan untuk PUPN
Cabang keanggotaannya terdiri dari wakil Kementerian Keuangan, Kepolisian
Daerah, Kejaksaan Tinggi, dan Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan nomenklaturnya, PUPN
memiliki kewenangan pokok dalam melakukan pengurusan piutang negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 UU 49/1960. Kewenangan PUPN tersebut selanjutnya diatur
secara lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang
Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PP 28/2022).
Beberapa kewenangan yang dimiliki PUPN, sebagaimana diatur dalam PP 28/2022,
dipersamakan dengan kewenangan lembaga peradilan. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya beberapa dokumen produk PUPN yang memuat irah-irah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, diantaranya adalah Pernyataan Bersama (Pasal
16 ayat (2) PP 28/2022) dan Surat Paksa (Pasal 20 ayat (2) PP 28/2022).
Adanya penyematan irah-irah pada
dokumen-dokumen produk PUPN di atas menegaskan bahwa PUPN melaksanakan
kewenangan lembaga peradilan (yudikatif). Tentu hal ini perlu penjelasan
mengingat bahwa PUPN, beserta seluruh anggotanya, adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang berada pada ranah eksekutif. Tulisan singkat ini akan
menjelaskan karakteristik PUPN sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
fungsi selayaknya lembaga peradilan. Selanjutnya tulisan ini akan menjelaskan
karakteristik PUPN tersebut dalam perspektif agency adjudication yang
dikenal sebagai konsep untuk menggambarkan fenomena lembaga eksekutif yang
menjalankan fungsi yudikatif.
Fungsi Ajudikasi PUPN
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
PUPN memiliki kewenangan selayaknya lembaga yudisial khususnya melalui produk
hukumnya yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Berkaitan dengan hal ini, seorang ahli hukum, Sutan Remy Sjahdeni
berpendapat bahwa kedudukan PUPN merupakan peradilan semu (quasi rechtpraak)
karena PUPN merupakan badan peradilan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
tidak memihak atau berkepentingan dalam menyelesaikan sengketa utang piutang
negara.[1]
Sedikit berbeda, Arifin P. Seoriatmadja, menyatakan bahwa PUPN dianggap sebagai
lembaga quasi yudisial karena tindakan yang dilakukan oleh PUPN memiliki cara
yang hampir sama dengan penagihan Grosse Akta.[2]
Guna memastikan sifat quasi yudisial
dari PUPN, dapat disimak karakteristik lembaga quasi yudisial yang juga dapat
ditemui pada karakteristik PUPN. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa sebuah
lembaga dapat diklasifikasikan sebagai lembaga quasi yudisial apabila memiliki
kewenangan untuk (a) Kekuasaan untuk memberikan
penilaian dan pertimbangan, (b) Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau
memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan, (c) Kekuasaan untuk membuat
amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum
dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya, (d) Kekuasaan
untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang, (e) Kekuasaan untuk
menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar
keterangan para pihak dalam persidangan, dan (f) Kekuasaan untuk menegakkan
keputusan atau menjatuhan sanksi hukuman.[3]
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki PUPN memenuhi karakteristik lembaga
quasi yudisial, diantaranya yaitu kewenangan untuk melakukan penilaian dan
pertimbangan terhadap keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Penanggung
Hutang maupun Penyerah Piutang,[4] memanggil Penanggung Hutang
(Pasal 14 PP 28/2022), menerbitkan Surat Paksa sebagai sebuah dokumen yang
setara dengan putusan lembaga peradilan yang memiliki kekuatan eksekutorial (Pasal
20 PP 28/2022), bahkan PUPN dapat melakukan penyitaan terhadap harta milik
Penanggung Hutang (Pasal 26 PP 28/2020) maupun Paksa Badan terhadap diri
Penanggung Hutang (Pasal 55 PP 28/2020) yang mencerminkan bahwa putusan ini
dapat mempengaruhi hak-hak Penanggung Hutang sekaligus sebagai wujud penegakkan
hukum atas putusan PUPN sendiri.
Dengan demikian
PUPN melaksanakan fungsi ajudikasi selayaknya lembaga yudisial meskipun posisi
PUPN berada pada ranah lembaga eksekutif. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
fenomena adanya lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi ajudikasi dirumuskan
dalam konsep agency adjudication. Konsep agency adjudication
dapat dipahami sebagai,”an agency action with the force of law that resolves
a claim or dispute between specific individuals in a specific case.”[5]
Selanjutnya, agency adjudication dapat dilakukan terhadap para pihak
yang meliputi antara lembaga pemerintah dengan pihak privat atau antara pihak
privat.[6]
Dalam hal ini, PUPN merupakan lembaga pemerintah yang melakukan ajudikasi
antara lembaga publik dengan lembaga privat, bahkan dengan lembaga publik
lainnya[7],
untuk menyelesaikan sengketa terkait piutang negara.
PUPN
dalam Kategori Agency Adjudication
Konsep agency
adjudication yang dijelaskan pada bagian sebelumnya senyatanya ditemui
secara umum di berbagai negara dengan karakteristik tertentu masing-masing.
Michael Asimow merumuskan setidaknya berbagai praktik agency adjudication
tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) kategori[8].
Michael Asimow melakukan klasifikasi dengan mendasarkan pada 4 (empat) variabel
yang setiap variabelnya memberikan pilihan. Keempat variabel dimaksud
dijelaskan oleh Asimow sebagai berikut:
Berdasarkan keempat
variabel di atas, karakteristik PUPN adalah lembaga pelaksana agency
adjudication yang bersifat kombinasi, inquisitorial, terbuka, dan khusus.
Pertama, PUPN adalah lembaga ajudikasi yang bersifat kombinasi, hal ini dapat
dilihat dari adanya kewenangan PUPN untuk memanggil, mengkonstatir fakta-fakta
yang disampaikan oleh Penanggung Hutang, menerbitkan Surat Paksa sebagai
dokumen yang disetarkan sebagai putusan lembaga yudisial. Kewenangan-kewenangan
ini menggambarkan bahwa fungsi investigasi sekaligus ajudikasi terkait kasus
piutang negara dilakukan oleh PUPN, tidak terpisah dengan lembaga lainnnya.
Kedua, ajudikasi
PUPN bersifat inquisitorial, hal ini dapat dilihat dari adanya peran lembaga
PUPN sebagai representasi negara yang sangat menentukan dalam proses
penyelesaian piutang negara. Namun demikian, harus dipahami bahwa Penanggung
Hutang tetap memiliki hak untuk mengajukan sanggahan dan pembuktian terhadap
piutang negara yang dibebankan kepadanya.
Ketiga,
ajudikasi PUPN bersifat terbuka, hal ini dapat dipahami dari tidak adanya
batasan kepada para pihak untuk menghadirkan fakta dan bukti baru di muka
pengadilan apabila pada gilirannya kasus piutang akan diperiksa oleh lembaga
peradilan. Terakhir, ajudikasi PUPN bersifat khusus, karena lembaga peradilan administratif
yang melakukan review terhadap keputusan PUPN dalam sengketa administratif
pengurusan piutang telah ditentukan yurisdiksinya, yaitu PTUN.
Penutup
Analisa terhadap karakteristik PUPN menunjukkan bahwa PUPN, meskipun berada pada ranah eksekutif, melaksanakan fungsi ajudikasi selayaknya lembaga yudikatif. Terkait melekatnya fungsi ajudikasi tersebut, PUPN juga dapat tercakup dalam konsep agency adjudication. Selanjutnya dalam konteks pembagian tipe agency adjudication yang dijabarkan oleh Michael Asimow, PUPN dapat diklasifikasikan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan ajudikasi dengan karakteristik fungsi kombinasi-bermodel inquisitorial-review oleh lembaga yudisial secara terbuka- lembaga yudisial yang melakukan review terhadap keputusan ajudikasi memiliki yurisdiksi khusus.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1] Sutan Remy Sjahdeni, Masalah Jaminan Dalam Pemberian Kredit,
dikutip dari Agus Pandoman, Penyelesaian Utang BLBI Dalam Kajian Hukum
Responsif dan Represif¸ Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 2014, hlm. 107.
[2] Ibid, hlm. 107-108.
[3] Jimly Asshiddiqie, “Pengadilan Khusus” dalam Hermansyah et.al.
(editor), Putih Hitam Pengadilan Khusus, Cetakan Pertama, Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hlm. 17-18.
[4] Hadyan Iman Prasetya,
“Manifestasi Asas Audi Et Alteram Partem Dalam Panggilan Pengurusan Piutang
Negara”, terdapat dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14313/Manifestasi-Asas-Audi-Et-Alteram-Partem-Dalam-Panggilan-Pengurusan-Piutang-Negara.html.*
[5] Informal
Administrative Adjudication: An Overview, diakses dari https://crsreports.congress.gov/product/pdf/R/R46930#:~:text=The term “agency adjudication” is,individuals in a specific case.
, hlm. 2.
[7] Pasal 22 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara.
[8] Michael
Asimow, Five Models of Administrative Adjudication, American Journal of
Comparative Law 63, No. 1 2015, hlm. 3-31.