The
Invisible Hand
Bagi
para penggiat ekonomi, siapa yang tidak kenal dengan Adam Smith? Seorang filsuf
berkebangsaan Skotlandia, yang oleh para ekonom, mendapat gelar “Founder of
Modern Economics”. Bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes
of The Wealth of Nation” (1776) adalah buku pertama yang berisi
perumusan yang pasti tentang ekonomi Liberal yang bertujuan membawa kemakmuran
individu dan masyarakat secara maksimum. Adam Smith mengemukakan teori bahwa
mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat tercapai melalui kekuatan tangan
tak terlihat (invisible hand), yaitu tanpa
adanya campur tangan pemerintah, dimana mekanisme pasar akan menjadi alat
alokasi sumber daya yang efisien. Teori ini merupakan salah satu
fondasi dalam ideologi pasar bebas yang mengunggulkan peran swasta dan
mengharamkan program pemerintah, seperti pada masa pemerintahan Ronald Reagan
dan Bush I di Amerika Serikat.
Namun, dalam ulasan Harvard Bussiness Review, Jonathan Schlefer menyatakan dengan tegas bahwa “Invisible Hand” merupakan teori yang tidak pernah terbukti praktis hingga saat ini. Bahkan beberapa penelitian telah dilakukan untuk memodelkan invisible hand, salah satunya oleh Kenneth Arrow dan Gerrard Debreu pada tahun 1954, yang hasilnya adalah sejumlah besar kondisi yang tidak realistis, seperti informasi yang sempurna untuk semua pelaku pasar dan adanya persaingan sempurna.
Kegagalan Pasar, Pandemi,
dan Intervensi
APBN
Telah lama diakui bahwa pasar tidak
selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak
untuk hal-hal tertentu (seperti polusi udara). Tetapi terlalu sedikit untuk
hal-hal lainnya (seperti investasi, kesehatan, dan pendidikan), terutama hal-hal
yang berkaitan dengan barang publik. Pasar juga tidak dapat mengatur dirinya
sendiri. Ketidakmampuan pasar dalam mengakomodasi segala aktivitas,
ekternalitas, dan proses yang terjadi di dalamnya mengakibatkan kondisi yang
kerap disebut dengan istilah “Kegagalan Pasar”. Berangkat dari fakta-fakta ini,
menurut Stiglitz, Pemerintah harus turut menjadi pemain di dalamnya. Terlebih
lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile.
Kurang lebih sudah 8 bulan
lamanya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi momok dan
memporak-porandakan perekonomian dunia. Para elit negara-negara di dunia sibuk
meramu strategi-strategi yang tepat di tengah ancaman resesi global. Ada yang
nihil, ada yang berhasil, walau hanya sebagian kecil. Negara kita pun turut berjibaku, di tengah kegagalan pasar
massif yang terjadi saat ini yang mana menyebabkan runtuhnya industri berskala
besar hingga UMKM, memformulasikan kebijakan makroprudensial dalam rangka
intervensi pasar untuk membalikkan keadaan atau hanya sekadar mencegah
kejatuhan yang lebih dalam.
Secara garis besar, intervensi pemerintah dapat direpresentasikan melalui kebijakan fiskal, yaitu kombinasi antara pendapatan dan belanja negara berwujud APBN. Angka-angka yang termaktub dalam pos-pos APBN merupakan cerminan dari upaya pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar di masa Pandemi, dengan gambaran umum sebagai berikut.
1.
Intervensi melalui pos pendapatan negara.
Tahukah anda?
Aktivitas perekenomian kerap kali tidak memperhitungkan eksternalitas negatif
sebagai input biaya, khususnya eksternalitas luar biasa yang
terjadi saat ini, tidak ada yang menduga. Misalnya, dalam kondisi
saat ini, pelaku pasar tidak terpikirkan
untuk memperhitungkan efek negatif Pembatasan Sosial Bersakala Besar
yang marak akhir-akhir ini. Alhasil, kegiatan produksi dan konsumsi barang dan
jasa terpukul dan Pemerintah pun wajib memikul.
Mari kita
bahas satu contoh, hinggga saat ini, Pemerintah telah memberlakukan berbagai
insentif perpajakan untuk merespon perlambatan ekonomi yang terjadi, yang
ditujukan kepada Badan Usaha, UMKM dan bahkan karyawan untuk sektor tertentu.
Insentif perpajakan tersebut meliputi PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, dan lain-lain
yang tertuang dalam PMK-23/PMK.03/2020 dan PMK-44/PMK.03/2020 (sumber:
pajakku.com). Dengan adanya insentif tersebut, Pemerintah memberi sinyal
terjadinya penurunan target penerimaan
pajak sebagaimana telah diundangkan dalam Perpres 72 Tahun 2020, yang semula
Rp1.866 T menjadi Rp1.404 T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk
memberi ruang gerak bagi perkembangan bisnis. Dari
sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net
income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi. Di lain pihak,
bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya
beli mereka pada tahun berjalan.
Secara
akumulatif, langkah penurunan target pajak yang dilakukan pemerintah ini
semata-mata untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan pasar agar
lebih berkembang dan tetap kondusif bagi investasi walaupun di
masa Pandemi. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan apabila
pasar bertindak bebas.
2.
Intervensi melalui pos belanja negara.
Melalui pos
belanja negara, pemerintah terus memantau dan memasang kuda-kuda. Pemerintah
menganggarkan dana sebesar Rp695,2 T untuk bantuan bidang kesehatan dan Program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Yang lebih terbaru, Pemerintah telah
memberikan sinyal percepatan pembayaran Gaji ke-13 sesuai kriteria dalam PP
Nomor 44 Tahun 2020 dan akan memberikan bantuan kepada karyawan swasta sebesar
Rp600 ribu per bulan yang rencananya akan dimulai pada bulan September 2020
(sumber: kompas.com).
Tantangan
terbesar saat ini adalah bagaimana caranya menggenjot ekonomi, karena berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi selama 2 (dua) triwulan
berjalan secara quarter to quarter menunjukkan angka negatif (sumber:
pusatdata.kontan.co.id). Oleh karena itu, kebijakan alokasi anggaran belanja
yang besar tersebut semata-mata untuk menggenjot konsumsi yang memang
memiliki kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto sebesar 56% (sumber:
liputan6.com). Dengan terdongkraknya konsumsi rumah tangga, maka diperkirakan
mampu menciptakan peningkatan demand
sehingga sektor produksi dengan sendirinya menyesuaikan supply. Kembali lagi ke prinsip dasar ekonomi.
Apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan seutuhnya, maka resesi merupakan sesuatu yang pasti. Hal itu karena mekanisme pasar cenderung individualis, antara produsen, distributor, dan konsumen memiliki kepentingan masing-masing yang sangat sulit dijembatani. Di sinilah, APBN hadir menjadi katalis dan penghubung antara ketiga pelaku ekonomi tersebut dengan menstimulasi aktivitas ketiganya dalam bentuk pemberian pinjaman, bantuan keuangan, dan program lainnya yang didanai APBN. Melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi yang melekat pada APBN, diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepatutan serta mengupayakan kestabilan fundamental perekonomian negara di masa Pandemi ini.
Kesimpulan
Pemodelan invisible hand hanya akan terdeteksi atau muncul apabila kondisi-kondisi yang sukar dipenuhi bahkan tidak realistis sehingga perlu rasionalisasi oleh Pemerintah melalui instrumen APBN. Perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN harus dilaksanakan dengan rasional dan kredibel agar langkah-langkah yang ditempuh tidak mengubah kegagalan pasar menjadi kegagalan pemerintah. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam memelihara equilibirium perekonomian, maka sejatinya wujud dari Invisible hand adalah “Prudent Government Hand”.
Penulis:
Fajar Perdana Putra, Pelaksana pada KPKNL Bima