Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Biak > Artikel
SIMPLIFIKASI DALAM RANGKA OPTIMALISASI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA
Mohammad Iqbal Firzada
Rabu, 15 Desember 2021   |   1552 kali

A. Latar Belakang

Dalam upaya pencapaian tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah terus melakukan penyempurnaan di berbagai bidang. Bukti keseriusan pemerintah dalam perbaikan tata kelola terlihat dari upaya yang terus menerus dilakukan dalam perbaikan dan penyempurnaan kebijakan untuk mengakomodir praktek/proses bisnis pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik. Di bidang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), perbaikan dan penyempurnaan terus dilakukan sejak reformasi dibidang keuangan negara dengan terbitnya tiga paket undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Peraturan teknis di bidang pengelolaan BMN dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008. Enam tahun kemudian, penyempurnaan pun terus dilakukan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 sebagai pengganti peraturan sebelumnya. Penyempurnaan dilakukan salah satunya untuk memperjelas siklus pengelolaan BMN yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak BMN diperoleh sampai dengan dihapuskan yang meliputi: Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, serta Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian. Penyempurnaan juga dilakukan untuk mengakomodir praktek-praktek pengelolaan BMN eksisting yang belum tercakup dalam peraturan sebelumnya untuk memastikan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.

Dalam tataran lebih teknis, reformasi pengelolaan BMN juga dilakukan dalam setiap siklus pengelolaan BMN yang tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara mengatur secara komprehensif tata cara pelaksanaan setiap jenis pemindahtanganan BMN dalam satu peraturan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 menggabungkan beberapa ketentuan/peraturan terkait jenis pemanfaatan BMN dalam satu pengaturan yang lebih komprehensif serta mengakomodir berbagai solusi atas keterbatasan/permasalahan dalam implementasi peraturan-peraturan sebelumnya seperti fleksibilitas mekanisme pembayaran PNBP, relaksasi pemanfaatan BMN dalam kondisi tertentu, mekanisme penentuan tarif/besaran PNBP pengelolaan BMN yang lebih wajar dengan memperhatikan kemampuan (willingness to pay) calon mitra pemanfaatan, dan lain sebagainya.

Meskipun penyempurnaan kebijakan telah dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam implementasi pengelolaan BMN, namun optimalisasi pengelolaan BMN khususnya dalam pemanfaatan dan pemindahtanganan dirasa belum sesuai yang diharapkan. Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan Laporan Barang Milik Negara Audited (LBMN Audited) tahun 2019 dan 2020 serta Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Audited (LKPP Audited) tahun 2019 dan 2020 kontribusi penerimaan negara dari pengelolaan BMN (pemanfaatan dan pemindahtanganan) masih jauh dari tingkat Return on Asset (ROA) yang diharapkan, yaitu hanya sebesar 0,015 % (2019) dan 0,013% (2020). Rendahnya ROA mengindikasikan bahwa kontribusi penerimaan dari pengelolaan aset belum optimal.

Rendahnya kontribusi PNBP dari pengelolaan BMN dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya bahwa aturan yang ada saat ini (eksisting regulation) belum sepenuhnya dapat mengakomodir kebutuhan akan kecepatan proses pengelolaan BMN. Kebijakan terkait arestasi kewenangan persetujuan pengelolaan BMN oleh Pengelola Barang yang dimaksudkan untuk simplifikasi proses persetujuan pemanfaatan BMN belum sepenuhnya ditangkap dan dioptimalkan oleh Kementerian Lembaga selaku Pengguna Barang dalam penyusunan peraturan terkait usulan/permohonan pengelolaan BMN. Pengaturan mengenai pendelegasian kewenangan pengelolaan BMN oleh Pengelola Barang pada Pengguna Barang dirasa masih sangat terbatas. Mengingat berbagai permasalahan-permasalahan khususnya dalam implementasi kebijakan pengelolaan Barang Milik Negara tersebut, maka diperlukan upaya peningkatan efektifitas kebijakan dimaksud untuk mendukung tujuan simplifikasi proses pengelolaan BMN. Selain itu, untuk mencapai tataran sebagai “Asset Manager”, terobosan-terobosan maupun inovasi-inovasi masih perlu untuk dikembangkan dalam rangka simplifikasi proses pengelolaan BMN itu sendiri. Sehingga, diharapkan dengan berbagai upaya simplifikasi dalam pengelolaan BMN tersebut dapat mendukung peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dari pengelolaan BMN.

B. Pembahasan

Melihat dari berbagai permasalahan maupun kendala dalam implementasi kebijakan pengelolaan Barang Milik Negara yang ada saat ini, setidaknya terdapat tiga hal terkait simplifikasi proses pengelolaan BMN yang perlu dilakukan untuk mendukung optimalisasi pengelolaan BMN, yaitu: upaya peningkatan efektivitas dalam implementasi ketentuan terkait arestasi kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara yang telah ditetapkan, peningkatan peran Kementerian Lembaga selaku Pengguna Barang dalam pengelolaan Barang Milik Negara, serta pengembangan berbagai terobosan dan inovasi dalam proses pengelolaan BMN.

1. Peningkatan Efektivitas Implementasi Ketentuan Mengenai Arestasi Kewenangan Pengelolaan Barang Milik Negara.

Kebijakan pengelolaan BMN eksisting saat ini secara umum telah mengakomodir berbagai kebutuhan dalam rangka pengelolaan BMN. Namun, implementasinya kadang tidak sesuai harapan. Pengaturan yang dimaksudkan untuk mempercepat proses pengelolaan BMN, dalam beberapa kasus justru sebaliknya menjadikan proses pengelolaan BMN menjadi berbelit dan panjang yang diakibatkan implementasi yang kurang efektif. Kebijakan arestasi kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara khususnya terkait pemanfaatan dalam bentuk sewa sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 781/KMK.01/2019, dalam beberapa situasi implementasinya menjadi tidak efektif.

Sebagaimana kita ketahui, sesuai dengan KMK Nomor 781/KMK.01/2019, kewenangan pemrosesan persetujuan pemanfaatan sewa telah dilakukan simplifikasi. Kewenangan persetujuan sewa dengan jangka waktu kurang dari 3 (tiga) tahun berada pada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Sedangkan untuk permohonan sewa dengan jangka waktu tiga (3) tahun atau lebih kewenangan pemrosesan persetujuan sewa berada pada Kantor Pusat DJKN dhi. Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi. Pembagian kewenangan pemrosesan berdasarkan jangka waktu tersebut pada dasarnya merupakan bentuk simplifikasi proses pengelolaan BMN. Namun, dalam beberapa kesempatan, implementasi belum efektif mengingat kebijakan terkait arestasi kewenangan belum sepenuhnya ditangkap dan dioptimalkan oleh Kementerian Lembaga selaku Pengguna Barang. Sebagai contoh dalam ketentuan Keputusan Menteri Pertahanan Nomor KEP/2059/XII/2017 mengatur pengecualian pelimpahan kewenangan pengajuan usul/permohonan pemanfaatan sewa yang merupakan kewenangan pemrosesan pada Kantor Pusat DJKN. Sehingga usulan/permohonan pemanfaatan sewa dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun atau lebih harus diajukan oleh Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan selaku Pengguna Barang. Hal ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat jenjang birokrasi yang cukup panjang dalam struktur organisasi Kementerian Pertahanan. Selain itu, dalam beberapa kasus terdapat permohonan pemanfaatan untuk objek sewa dengan nilai sewa yang tidak signifikan (misalnya usulan pemanfaatan sewa BMN untuk usaha kecil/rumah tangga seperti tambal ban, warung, kios, usaha potong rambut dan lain-lain) harus diajukan kepada Kantor Pusat DJKN melalui Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan mengingat jangka waktu sewa adalah 5 (lima) tahun.   

Menyadari adanya permasalahan-permasalahan terkait implementasi kebijakan arestasi kewenangan pengelolaan BMN tersebut, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan efektivitasnya. Urgensi peningkatan efektifitas kebijakan arestasi kewenangan khususnya di lingkungan Kementerian Pertahanan/Tentara Nasional Indonesia, juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam penataan pemanfaatan BMN di lingkungan TNI sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis Tentara Nasional Indonesia serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.06/2015 tentang Penataan Pemanfaatan Barang Milik Negara di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Jika dilihat dari potensi penerimaan negara dari pemanfaatan BMN TNI terlanjur yang juga cukup besar, maka dengan peningkatan efektifitas kebijakan arestasi kewenangan pengelolaan BMN tersebut akan dapat mendorong peningkatan/optimalisasi PNBP dari pemanfaatan BMN.

Permasalahan dan kendala lain juga timbul dari Kementerian Lembaga lainnya, khususnya untuk Kementerian Lembaga dengan jumlah Satuan Kerja (Satker) yang banyak dengan wilayah kerja yang tersebar. Dalam beberapa kasus usulan permohonan sewa BMN yang merupakan kewenangan KPKNL tidak dapat langsung diajukan permohonan nya oleh Satker karena terkendala arestasi kewenangan yang ada pada Kementerian Lembaga bersangkutan. Proses permohonan harus dilakukan secara berjenjang sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini akan menimbulkan kerugian berupa opportunity cost dari pemanfaatan sewa BMN. Proses permohonan sewa yang panjang akan berdampak tidak optimalnya pencapaian tujuan dari pemanfaatan/sewa BMN itu sendiri.  

Untuk meminimalisir dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan harmonisasi kebijakan antara kebijakan arestasi kewenangan pengelolaan BMN pada Pengelola Barang dan Pengguna Barang. Pengelola Barang perlu melakukan forum diskusi ataupun himbauan kepada seluruh Kementerian Lembaga selaku Pengguna Barang untuk melakukan harmonisasi kebijakan terkait ketentuan arestasi kewenangan dalam pengelolaan BMN yang telah ditetapkan. Selain itu, Pengelola Barang juga dapat melakukan pendampingan kepada Pengguna Barang dalam proses penyusunan kebijakan terkait arestasi kewenangan pengelolaan BMN di lingkup Kementerian Lembaga masing-masing agar efektifitasnya dapat tercapai untuk mendukung optimalisasi pengelolaan BMN.    

2. Peningkatan Peran Kementerian Lembaga Selaku Pengguna Barang Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara.

Ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan pengelolaan BMN dari Pengelola Barang kepada Pengguna Barang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.06/2015 tentang Pendelegasian Kewenangan dan Tanggung Jawab Tertentu dari Pengelola Barang Kepada Pengguna Barang. Dalam ketentuan tersebut diatur kewenangan-kewenangan tertentu dalam persetujuan pengelolaan BMN yang dapat dilaksanakan oleh Pengguna Barang antara lain kewenangan pengelolaan BMN dalam bentuk penggunaan, pemindahtanganan, pemusnahan, dan penghapusan. Pengguna Barang memiliki kewenangan untuk menetapkan status penggunaan BMN dan memberikan persetujuan penggunaan sementara BMN untuk BMN selain tanah dan/atau bangunan yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rp100.000.000,00. Sebagaimana kita ketahui dalam siklus pengelolaan BMN sebelumnya bahwa proses penetapan status penggunaan BMN merupakan proses pengelolaan BMN pertama kali yang dilakukan setelah BMN tersebut diperoleh dan merupakan prasyarat dalam proses pengelolaan BMN berikutnya. Untuk itu, efektivitas pengelolaan BMN dalam bentuk penetapan status BMN perlu ditingkatkan agar optimalisasi pengelolaan BMN secara keseluruhan dapat tercapai. Mengingat perkembangan BMN yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, baik dari sisi nilai maupun kompleksitas jenis BMN maka dirasa sudah saatnya untuk memberikan kepercayaan dan kewenangan yang lebih kepada Pengguna Barang dalam pengelolaan BMN itu sendiri. Pada dasarnya, Pengguna Barang merupakan pihak yang paling mengetahui karakteristik dan kondisi terkini dari BMN yang berada dalam penguasaannya. Pengguna Barang yang paling mengetahui jenis-jenis BMN yang ada pada penguasaannya, kegunaan/penggunaan yang paling tepat untuk BMN tertentu/khusus,  dan pihak yang paling mengetahui unit organisasi mana yang layak/tepat untuk me-utilisasi dan mengoptimalkan penggunaan BMN bersangkutan. Untuk itu, sudah seharusnya Pengguna Barang diberikan kewenangan yang lebih dalam menetapkan status penggunaan terhadap aset-aset tertentu. Kewenangan yang lebih juga dapat diberikan dalam bentuk peningkatan arestasi nilai kewenangan yang dapat didelegasikan kepada Pengguna Barang mengingat adanya peningkatan yang signifikan terhadap nilai BMN dari tahun ke tahun. Reformasi dibidang keuangan negara dan perbendaharaan negara sebagaimana Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004, pada dasarnya dilandaskan semangat “Let The Managers Manage” yang dikendalikan dengan” Check And Balance Mechanism”. Untuk itu, agar pengelolaan BMN lebih efektif, maka Pengguna Barang dapat diberikan peranan yang lebih, tentunya dengan diikuti mekanisme check and balance yang memadai.

Sejalan dengan kewenangan penetapan status penggunaan BMN, peran yang lebih kepada Pengguna Barang juga dapat diberikan untuk persetujuan penjualan Barang Milik Negara. Sama halnya dengan kewenangan penetapan status penggunaan BMN, sesuai dengan ketentuan PMK 4/PMK.06/2015, Pengguna Barang memiliki kewenangan menerbitkan persetujuan penjualan terhadap BMN selain tanah dan/atau bangunan yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rp100.000.000,00. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa Pengguna Barang merupakan pihak yang paling mengetahui karakteristik dan kondisi atas BMN yang ada dalam penguasaannya terlebih terhadap BMN yang memiliki karakteristik khusus, maka Pengguna Barang dapat diberikan kewenangan atas persetujuan penjualan BMN dengan karakteristik khusus tersebut, yang mungkin memiliki nilai perolehan diatas Rp100.000.000,00.      

Pada akhirnya, dengan adanya percepatan proses pengelolaan BMN melalui peningkatan peran Pengguna Barang dan mekanisme check and balance yang memadai, diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi pengelolaan BMN.

3. Pengembangan Terobosan dan Inovasi Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara.

Perkembangan BMN terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun baik dari sisi jumlah maupun nilai. Nilai Barang Milik Negara pada tahun 2020 sesuai dengan LBMN Audited Tahun 2020 mencapai Rp6.587,86 triliun meningkat sebesar 2,31 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp6.438,85 triliun. Dengan potensi nilai BMN besar tersebut, tentunya memberikan tantangan tersendiri dalam proses pengelolaannya. Dibutuhkan cara yang tidak biasa untuk menghadapi berbagai tantangan dan permasalah yang ada. Untuk itu, terobosan-terobosan maupun inovasi-inovasi dalam proses pengelolaan BMN sangat diperlukan.

Terobosan dan inovasi merupakan ide dan kreatifitas sebagai respon cepat dan bertanggung jawab atas berbagai permasalahan dan kendala yang ada. Dengan perkembangan pengelolaan BMN yang semakin pesat, tentunya terdapat berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peraturan eksisting terkait pemanfaatan BMN telah memberikan pengaturan atas berbagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan dan kendala-kendala dalam implementasi di lapangan. Namun demikian, hal tersebut saja tidak cukup untuk dapat mendukung peningkatan/optimalisasi PNBP dari pengelolaan BMN. Dengan adanya inovasi-inovasi dalam pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN diharapkan peningkatan PNBP dari pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN dapat dioptimalkan. Berikut beberapa inovasi dan terobosan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

a. Optimalisasi Pemanfaatan Barang Milik Negara Melalui Penguatan Mekanisme Lelang Sewa Barang Milik Negara.

Ketentuan terkait sewa BMN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara. Dalam peraturan tersebut sudah mengakomodir beberapa simplifikasi dan fleksibilitas dalam pemanfaatan BMN khususnya sewa antara lain fleksibilitas pembayaran PNBP dari sewa BMN yang dapat dilakukan secara bertahap, relaksasi sewa BMN dalam bentuk faktor penyesuai (pengurang) besaran sewa untuk jenis kegiatan dan bentuk kelembagaan tertentu, serta relaksasi sewa BMN dalam keadaan tertentu. Simplifikasi dan fleksibilitas tersebut tentunya dapat mendorong meningkatkan PNBP dari sewa BMN mengingat bernagai keterbatasan dan kendala dalam praktek/implementasi pemanfaatan/sewa BMN berdasarkan ketentuan sebelumnya telah diminimalisir.

Sebagaimana kita ketahui selama ini bahwa mekanisme sewa BMN yang ada saat ini cenderung merupakan pemanfaatan/sewa BMN yang pasif, dimana Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang menjadi pihak yang pasif dengan menunggu permohonan sewa dari pihak mitra/calon penyewa. Untuk dapat meningkatkan optimalisasi dalam sewa BMN sudah saatnya diperlukan suatu terobosan dalam sewa BMN. Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang dapat lebih aktif dalam pelaksanaan sewa BMN. Dalam ketentuan Pasal 12 PMK No. 115/PMK.06/2020 dimungkinkan bagi Pengelola Barang dan Pengguna Barang untuk menawarkan objek sewa melalui media pemasaran. Untuk itu, ruang tersebut seyogyanya dapat dioptimalkan oleh Pengelola Barang dan Pengguna Barang untuk meningkatkan optimalisasi sewa BMN.  

Mekanisme penawaran objek sewa dapat diterapkan dengan mengacu ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor PER-5/KN/2018 tentang Tata Cara Permohonan Dan Dokumen Persyaratan Lelang Dengan Objek Berupa Hak Menikmati Barang. Hak menikmati barang merupakan hak yang memberi wewenang untuk menikmati atau memanfaatkan barang milik pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang. Sedangkan lingkup barang yang dapat dilelang melalui mekanisme ini cukup luas termasuk juga BMN. Sehingga dengan terlebih dahulu dilakukan identifikasi BMN yang potensial sebagai objek sewa, serta penentuan nilai wajar sewa atas objek sewa sebagai nilai limit, maka lelang hak menikmati barang (dhi. objek sewa) dapat dilakukan. Tentunya dengan adanya peran aktif Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang dalam pemasaran objek sewa tersebut optimalisasi pemanfaatan/sewa BMN dapat tercapai. 

Lebih jauh, pelaksanaan pemasaran objek sewa melalui lelang tersebut secara tidak langsung dapat mendukung pemulihan ekonomi pada masa pandemi covid-19. Sebagaimana diketahui bahwa UMKM merupakan sektor usaha yang paling majemuk di Indonesia dan merupakan sektor yang paling terdampak terhadap pandemi covid-19, maka upaya pemulihan ekonomi terhadap sektor UMKM tersebut menjadi prioritas. Tidak menutup kemungkinan bahwa, sebagian objek sewa BMN merupakan ruang/tempat usaha sektor UMKM, sehingga dengan pemasaran objek sewa melalui lelang dapat membuka akses bagi UMKM dalam pengembangan usaha. Hal ini juga dapat menjadi sarana pembelajaran/informasi kepada sektor UMKM bahwa sarana pemasaran produk UMKM pun dapat dilakukan melalui lelang, sehingga dapat meningkatkan pemasaran bagi UMKM. Sebagaimana diketahui bahwa Lelang.go.id pada portal DJKN merupakan sarana jual beli yang dapat digunakan sebagai wadah bagi UMKM untuk memasarkan produknnya. Bahkan dengan adanya mekanisme lelang online, masyarakat luas dapat mengakses produk-produk UMKM secara lebih cepat.     

b. Integrasi Permohonan Penjualan Barang Milik Negara dengan Permohonan Lelang Barang Milik Negara.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penjualan merupakan salah satu bentuk pemindahtanganan BMN yang berpotensi menghasilkan PNBP. Dalam prakteknya, penjualan BMN dilakukan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang. Adapun mengingat BMN merupakan objek lelang non eksekusi wajib, permohonan penjualan melalui lelang atas BMN disampaikan kepada KPKNL. Terdapat redudansi permohonan yang dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dalam pelaksanaan penjualan BMN, yaitu permohonan persetujuan penjualan dan permohonan penjualan melalui lelang kepada KPKNL. Simplifikasi proses penjualan BMN seharusnya dapat dilakukan dengan mengintegrasikan permohonan penjualan BMN dan permohonan lelang BMN tersebut, khususnya untuk persetujuan penjualan BMN yang merupakan kewenangan KPKNL sehingga proses lelang dapat segera dilakukan.

Inovasi dalam pelaksanaan penjualan BMN tersebut tentunya memerlukan payung hukum yang memadai serta kajian yang komprehensif untuk menyusun aturan terkait. Namun dengan mempertimbangkan substansi bahwa penjualan BMN merupakan objek lelang non eksekusi wajib (bahwa penjualan BMN harus dilakukan melalui mekanisme lelang kecuali dalam hal tertentu), yang mana klausul mengenai hal tersebut wajib dicantumkan dalam persetujuan penjualan BMN, maka penjualan melalui lelang terhadap BMN yang telah mendapat persetujuan Pengelola Barang tersebut menjadi sesuatu yang wajib dilakukan. Untuk itu, integrasi permohonan penjualan BMN dan permohonan lelangnya seyogyanya dapat dilakukan untuk mendukung  simplifikasi dalam pengelolaan BMN yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan PNBP.         

C. Kesimpulan dan Rekomendasi

Meskipun pengaturan terkait pemanfaatan BMN dan Pemindahtanganan BMN telah cukup mengakomodir berbagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan dan kendala-kendala dalam implementasi di lapangan. Namun optimalisasi pengelolaan BMN khususnya dalam bentuk pemanfaatan dan pemindahtanganan masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan kontribusi penerimaan negara dari hasil pemanfaatan BMN dan Pemindahtanganan BMN yang minim. Untuk itu, dalam rangka optimalisasi pengelolaan BMN khususnya pemanfaatan dan pemindahtanganan perlu dilakukan berbagai upaya yang salah satunya dapat dilakukan melalui simplifikasi proses pengelolaan BMN. Sebagaimana hasil pembahasan yang dilakukan, simplifikasi proses pengelolaan BMN dapat dilakukan antara lain dengan upaya-upaya sebagai berikut:

  1. Peningkatan efektivitas implementasi ketentuan mengenai arestasi kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara yang telah ada;

  2. Peningkatan peran Kementerian Lembaga selaku Pengguna Barang dalam pengelolaan Barang Milik Negara; serta

  3. Pengembangan terobosan-terobosan dan inovasi-inovasi dalam pengelolaan BMN, khususnya dalam pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN, antara lain melalui: 

    1. Optimalisasi pemanfaatan BMN (dalam bentuk sewa) melalui penguatan mekanisme lelang sewa BMN; dan

    2. Integrasi permohonan penjualan BMN dengan permohonan Lelang BMN.

 

DAFTAR PUSTAKA

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 781/KMK.01/2019 tentang Pelimpahan Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Bentuk Mandat Kepada Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor PER-5/KN/2018 tentang Tata Cara Permohonan Dan Dokumen Persyaratan Lelang Dengan Objek Berupa Hak Menikmati Barang.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Audited Tahun 2020.

Laporan Barang Milik Negara Audited Tahun 2020. 

Penulis: Bambang Sriwiyono (Kepala Seksi Piutang Negara)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini