Dalam menjalankan roda pemerintahan, beberapa
tugas dan fungsi perlu mendapatkan perhatian terutama yang berkaitan dengan pelayanan
kepada stakeholders, yang berpotensi terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan aturan dan ketentuan. Karena kondisi tersebut, pada
Kementerian Keuangan terdapat konsep three
lines of defenses (tiga lini pertahanan) berdasarkan Keputusan Kementerian
Keuangan Nomor KMK-32/KMK.01/2013 tentang Kerangka
Kerja Penerapan Pengendalian Intern dan Pedoman Teknis
Pemantauan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan yang menjadi
pedoman bagi seluruh pegawai Kementerian Keuangan. Sistem ini terdiri dari lini
pertahanan pertama (first line of defence)
dimana role modelnya adalah manajemen
dan pegawai itu sendiri, kemudian lini pertahanan kedua (second line of defence) yang dilaksanakan oleh unit kepatuhan
internal serta lini pertahanan ketiga (third
line of defence) yang dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah
(APIP).
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN), melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-170/PMK.01/2012 tanggal 6
November 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, maka implementasi konsep tiga lini pertahanan pada
struktur organisasi DJKN dengan dibentuknya seksi KI (Kepatuhan Internal) di Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Bidang Kepatuhan Internal, Hukum
dan Informasi (KIHI) di Kantor Wilayah dan Bagian Organisasi dan Kepatuhan
Internal (OKI) di Kantor Pusat DJKN.
Dalam kurun waktu delapan tahun, kinerja
dan proses bisnis dalam bidang kepatuhan internal terus mengalami penyempurnaan
diantaranya sistem Rencana Pemantauan Terpadu (RPT). RPT merupakan
kegiatan-kegiatan pemantauan yang saling berkaitan dan berkesinambungan
sehingga dapat memberikan keyakinan yang memadai atas kegiatan organisasi. Sistem
RPT ini memfasilitasi kegiatan pemantauan pelaksanaan atas layanan unggulan di
unit vertikal, perangkat Review implementasi
gerakan efisiensi anggaran untuk melakukan pemantauan aprepriasi dan kewajaran atas
kemampuan masing-masing bagian pada suatu unit kerja dalam pelaksanaan anggaran
yang telah disediakan serta kegiatan pendukungnya, perangkat pemantauan Kode
Etik dan Area Pelayanan Terpadu (APT) yang berfungsi membantu operator
melakukan observasi terhadap perilaku dan kode etik dalam menjalankan layanan
langsung kepada stakeholders sesuai
aturan dan SOP yang berlaku, serta perangkat pemantauan pelaksanaan penilaian
kembali BMN yang berfungsi memberikan upaya terwujudnya hasil penilaian kembali
BMN yang akuntabel dan wajar.
Selain perangkat pemantauan di atas,
terdapat perangkat pemantauan layanan utama yang menjadi pokok utama dari
sistem RPT yang biasa disebut Laporan Hasil Pemantauan Pelayanan Utama (LHPPU).
LHPPU ini berisi fasilitas pembantu pemantauan untuk objek pemantauan layanan
utama dan unggulan yang diberikan oleh DJKN beserta unit-unit vertikal di bawahnya. Perangkat yang memfasilitasi kegiatan
observasi, pengecekan Dokumen Pengendalian Utama (DUPU) sampai tahapan
pengecekan ulang atau re-performance
kegiatan layanan utama seperti pelaksanaan lelang, Persetujuan Status
Penggunaan, Sewa dan Pemindatanganan BMN dan lain sebagainya.
Sejauh ini dengan perkembangan dan pembenahan
yang dilakukan melalui kebijakan kegiatan pemantauan layanan utama telah cukup optimal
pada elemen-elemen yang dijadikan bahan observasi oleh pemantau pada kepatuhan
internal. Namun demikian, kegiatan pemantauan dimaksud masih memerlukan
beberapa pembenahan, antara lain, pada tahun 2018 perangkat pemantauan layanan
utama memiliki elemen observasi berupa kegiatan ‘Penetapan Status Penggunaan
Barang Milik Negara Berupa Tanah dan/atau Bangunan’, dan pada tahun 2020,
kegiatan tersebut ‘diganti’ dan/atau belum ‘ditambahkan’ dengan kegiatan
‘Persetujuan/Penolakan Permohonan Sewa BMN berupa Tanah dan/atau Bangunan’. Kemudian
pada kegiatan pemantauan lainnya, pada tahun 2018 sampai dengan 2019, kegiatan
‘Pelayanan Pengembalian Uang Jaminan Penawaran Lelang’ termasuk elemen
observasi yang dilakukan oleh operator kepatuhan internal, dan mulai tahun 2020
kegiatan tersebut tidak lagi menjadi bagian dari elemen observasi.
Dari uraian diatas, maka untuk kegiatan dimaksud
agar tetap menjadi objek kegiatan pemantauan, karena sampai saat ini merupakan target
Indikator Kinerja Utama DJKN dalam rangka utilisasi BMN dan menjadi ukuran tingkat
kepuasan layanan bagi para pengguna layanan DJKN. Oleh karena itu peninjauan
kembali terhadap kebijakan kegiatan pemantauan perlu dipertimbangkan agar hasil
kegiatan pemantauan makin optimal, wajar, handal, dan akuntabel untuk mendukung
lini pertahanan (line of defence).
Oleh Ibung Prasetiya Utama dan Syamsa Ainurochim