Insting dan naluri seorang Hakim Konstitusi
senantiasa mengarahkan dan menuntun seorang hakim untuk memiliki pemahaman yang
baik terhadap prinsip-prinsip moral dan kehendak yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar sebagai sebuah volkgeist (jiwa bangsa), sehingga
mereka diberikan kepercayaan penuh untuk melakukan Judicial Review sebagai
bentuk refleksi atas peran Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Konstitusi.
Kesembilan hakim konstitusi terpilih di antara lebih dari 200 juta penduduk
Indonesia ini memiliki hak, kewajiban, dan wewenang untuk menyatakan apa yang
mereka pikirkan serta diinginkan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu,
mereka merupakan orang-orang terbaik yang terpilih untuk mewakili, melindungi,
dan memutuskan perkara yang melibatkan hak konstitusional seseorang yang
terancam dan keputusan mereka akan berdampak pada semua lapisan masyarakat.
Konsep ini membawa kita pada pemahaman bahwa
keputusan yang dihasilkan oleh kesembilan hakim ini mencerminkan kebijaksanaan
kolektif. Oleh karena itu, diperlukan sistem panel yang berkualitas dan
profesional untuk mencapai keputusan yang merangkul setiap aspek masyarakat,.
Salah satu panduan yang dapat digunakan adalah Bangalore Principle Conduct, yang merupakan instrumen hukum
internasional yang memberikan prinsip-prinsip panel yang ideal dan objektif.
Jika kita melihat dengan lebih komprehensif, prinsip-prinsip ini didasarkan
pada tesis Alexander Hamilton dalam karyanya yang berjudul The Judiciary
Department, di mana Hamilton menguraikan tiga hal mendasar yang perlu
diatur dalam pengisian jabatan hakim, yaitu proses pengangkatan hakim, masa
jabatan, dan pembagian kewenangan lembaga peradilan di berbagai pengadilan,
serta hubungan antara lembaga-lembaga tersebut.
Lebih jauh lagi, gagasan Hamilton tersebut
dikembangkan oleh Thomas Ginsburg dan mengidentifikasi pola pengangkatan hakim
ke dalam dua aspek; metode perekrutan hakim dan pelaksanaan perekrutan hakim.
Mengenai metode pertama, terdapat empat konsep, yakni single-body appointment mechanism, professional appointments,
co-operative appointment mechanism, dan representative appointment mechanisms. Sementara itu, terkait
pelaksanaan perekrutan hakim, Ginsburg juga membaginya menjadi empat, yaitu appointment
by political institutions, appointment by the judiciary itself, appointment by a judicial
council (which may include non-judge members), dan selection through an
electoral system.
Jika diterapkan pada konteks pengangkatan hakim
konstitusi di Indonesia, proses perekrutan sebenarnya menggunakan sistem split and quota yang melibatkan tiga
lembaga, yaitu DPR, MA, dan Presiden. Dengan demikian, berdasarkan
pemikiran Thomas Ginsburg, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang menerapkan
pola co-operative appointment mechanism. Namun, pola
yang saat ini ditetapkan dalam konstitusi yang menyerahkan proses perekrutan
hakim konstitusi kepada tiga lembaga negara dilakukan tanpa adanya standar operasional
prosedur yang jelas dan baku. Hal ini menyebabkan pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip lembaga peradilan yang tercermin dari konsep trifurkasi saat
ini. Implikasinya adalah adanya perbedaan dalam kualitas dan integritas dalam
melaksanakan tugas sebagai Hakim Konstitusi.
Melihat ke Negara Inggris dalam hal perekrutan
hakim, mereka menerapkan single body mechanism di mana presiden atau
perdana menteri memimpin proses penunjukan dan pengangkatan calon hakim.
Prosedur ini melibatkan konsultasi
informal dan tidak mengikat secara tertutup, konsultasi formal dengan dewan
penyeleksi yang ditunjuk oleh pemerintah, atau pencalonan oleh komisi
pengangkatan peradilan independen. Inggris menjalankan pengisian jabatan hakim
dengan prosedur yang jelas dan objektif untuk memastikan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan independen.
Di Korea, sistem pengisian jabatan hakim
menerapkan co-operative mechanism. Mahkamah Konstitusi terdiri dari
sembilan hakim yang memenuhi syarat dan diangkat oleh Presiden. Pasal 111 ayat
(3) Konstitusi Korea Selatan menjelaskan bahwa 3 (tiga) hakim konstitusi
dipilih oleh Majelis Nasional, sementara 3 (tiga) lainnya diangkat berdasarkan
calon yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Masa jabatan hakim konstitusi
adalah sembilan tahun dan mereka tidak dapat dipilih kembali.
Sementara itu, di Hungaria, Mahkamah Konstitusi
terdiri dari 15 hakim yang dipilih untuk periode 12 tahun dan tidak boleh
dipilih kembali. Hakim Konstitusi Hungaria dipilih oleh suara 2/3 (dua pertiga)
anggota Majelis Nasional. Salah satu persyaratan untuk menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi
Hungaria adalah tidak boleh berasal dari partai politik atau terlibat dalam
kegiatan politik, sesuai dengan Pasal 24 Paragraf 8 Konstitusi Hungaria tahun
2011 yang Amandemen hingga tahun 2013. Pasal tersebut menyatakan bahwa pada
intinya Mahkamah Konstitusi adalah badan yang terdiri dari lima belas anggota,
masing-masing terpilih selama dua belas tahun dengan suara dua pertiga Anggota
Majelis Nasional. Majelis Nasional akan memilih salah satu anggota Mahkamah
Konstitusi untuk menjabat sebagai Presiden hingga berakhirnya masa jabatannya
sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Anggota Mahkamah Konstitusi tidak boleh
menjadi anggota partai politik atau terlibat dalam kegiatan politik.
Pasal 6 Act CLI of 2011
On the Constitutional Court of Hungary memberikan penjelasan
mengenai persyaratan anggota Mahkamah Konstitusi yang harus independen. Setiap
warga negara Hungaria yang tidak memiliki catatan kriminal memiliki hak untuk
mencalonkan diri sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. Untuk menjadi seorang
Hakim Konstitusi, diperlukan gelar sarjana hukum, usia minimal 45 tahun,
pengalaman sebagai pengacara teoritis dengan pengetahuan luar biasa (profesor
universitas atau doktor dari Hungarian Academy of Sciences), atau
pengalaman kerja profesional minimal 20 tahun di bidang hukum. Selain itu,
anggota Mahkamah Konstitusi tidak boleh berasal dari anggota partai politik.
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) Act CLI of 2011 On
the Constitutional Court of Hungary menjelaskan bahwa anggota Mahkamah
Konstitusi diajukan melalui suatu Komite yang terdiri dari minimal 9 (sembilan)
dan maksimal 15 (lima belas) anggota. Anggota komite ini ditunjuk oleh
fraksi-fraksi partai yang memiliki perwakilan di parlemen. Para calon harus
menyampaikan visi dan misi mereka kepada komite terkait dengan isu-isu
konstitusional. Sementara itu, Pasal 8 (1) UU Mahkamah Konstitusi Hungaria
menjelaskan bahwa anggota Mahkamah Konstitusi akan dipilih oleh parlemen
setelah mendapatkan pendapat dari komite tersebut. Jika parlemen tidak memilih
calon yang diajukan dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak keputusan parlemen
tersebut, Komite Nominasi harus mengusulkan nama-nama calon baru. Parlemen
harus memilih anggota Mahkamah Konstitusi baru kurang dari 90 (sembilan puluh) hari
sebelum berakhirnya masa jabatan anggota sebelumnya.
Melihat pada negara Austria, Austria menjadi
negara pertama di dunia yang memperkenalkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Undang-Undang Dasar Federal Austria 1920 yang telah diamandemen pada tahun
1929. Hal ini membuat Austria disebut sebagai negara pelopor atau penggerak
utama dalam pendirian Mahkamah Konstitusi di Eropa. Menurut Pasal 147 ayat (2)
Konstitusi Austria 1929, Mahkamah Konstitusi Austria terdiri dari Presiden,
Wakil Presiden Mahkamah Konstitusi, 12 Hakim Anggota, dan 6 Hakim Anggota
Pengganti.
Dalam praktik di Austria, Pemerintah Federal
memiliki hak untuk mengajukan calon Presiden, Wakil Presiden, 6 (enam) Hakim
Anggota, dan 3 (tiga) Hakim Anggota Pengganti. Sementara itu, Dewan Nasional
berhak mengajukan 3 (tiga) Hakim Anggota dan 2 (dua) Hakim Anggota Pengganti
yang berasal dari luar Vienna. Dewan Federal mengajukan 3 (tiga) Hakim
Anggota dan 1 (satu) Hakim Anggota Pengganti. Persyaratan untuk menjadi calon
hakim konstitusi diatur dalam Pasal 147 ayat (3) Konstitusi Austria 1920 yang
menyatakan bahwa semua anggota hakim konstitusi harus memiliki latar belakang
pendidikan tinggi dalam hukum dan pengalaman profesional dalam bidang hukum
selama 10 (sepuluh) tahun. Usia pensiun hakim konstitusi adalah 70 tahun.
Presiden Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab atas pengawasan kinerja hakim
konstitusi.
Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip pengisian
jabatan hakim sebenarnya mencerminkan nilai-nilai partisipatif, akuntabilitas,
transparansi, dan objektivitas, dengan tujuan menjadikan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas, dan independen. Hal ini didasarkan pada konsensus
internasional yang tercantum Bangalore
Principle Conduct 2002. Namun, sangat disayangkan bahwa dalam pelaksanaan standar
operasional prosedurnya seringkali terjadi pelanggaran terhadap konsep
trifurkasi dari ketiga lembaga yang mengusulkan, yang pada praktiknya jauh dari
nilai-nilai partisipatif, akuntabilitas, transparansi, dan objektivitas.
Terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang
Mahkamah Konstitusi menunjukan bahwa problematika dalam mekanisme seleksi hakim
konstitusi belum dianggap sebagai hal yang penting sehingga fokus perubahan
aturan hanya pada masa jabatan hakim konstitusi saja. Padahal, proses seleksi
hakim konstitusi merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi
kualitas hakim konstitusi. Para pembuat undang-undang seharusnya mengatur
secara rinci proses dan tata cara pengisian jabatan hakim konstitusi dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yang oleh penulis sekurang-kurangnya
menjadi konsep ideal untuk merumuskan aturan tentang proses dan tata cara
pengisian jabatan hakim konstitusi, yakni adanya asesmen publik, hadirnya
representasi publik, pelibatan organisasi nonpemerintah, partisipasi media
massa, dan konsultasi dengan akademisi.
Selanjutnya, dengan melaksanakan komparasi dengan proses pengisian jabatan hakim konstitusi di berbagai negara di dunia, maka dirasa perlu untuk membentuk pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang lebih mendekati ideal, yang perlu dijelaskan dalam dua kondisi yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu konsep pihak yang melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi dan peraturan teknis dalam pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi. Konsep ini diharapkan dapat memberikan solusi dan upaya untuk menghadirkan hakim yang berkualitas guna memenuhi asas independensi dalam sistem peradilan.