Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bengkulu > Artikel
Perbandingan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia dan di Luar Negara
Lailatul Laraswati Mukharromah
Selasa, 31 Oktober 2023   |   2066 kali

Insting dan naluri seorang Hakim Konstitusi senantiasa mengarahkan dan menuntun seorang hakim untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap prinsip-prinsip moral dan kehendak yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar sebagai sebuah volkgeist (jiwa bangsa), sehingga mereka diberikan kepercayaan penuh untuk melakukan Judicial Review sebagai bentuk refleksi atas peran Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Konstitusi. Kesembilan hakim konstitusi terpilih di antara lebih dari 200 juta penduduk Indonesia ini memiliki hak, kewajiban, dan wewenang untuk menyatakan apa yang mereka pikirkan serta diinginkan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, mereka merupakan orang-orang terbaik yang terpilih untuk mewakili, melindungi, dan memutuskan perkara yang melibatkan hak konstitusional seseorang yang terancam dan keputusan mereka akan berdampak pada semua lapisan masyarakat.

Konsep ini membawa kita pada pemahaman bahwa keputusan yang dihasilkan oleh kesembilan hakim ini mencerminkan kebijaksanaan kolektif. Oleh karena itu, diperlukan sistem panel yang berkualitas dan profesional untuk mencapai keputusan yang merangkul setiap aspek masyarakat,. Salah satu panduan yang dapat digunakan adalah Bangalore Principle Conduct, yang merupakan instrumen hukum internasional yang memberikan prinsip-prinsip panel yang ideal dan objektif. Jika kita melihat dengan lebih komprehensif, prinsip-prinsip ini didasarkan pada tesis Alexander Hamilton dalam karyanya yang berjudul The Judiciary Department, di mana Hamilton menguraikan tiga hal mendasar yang perlu diatur dalam pengisian jabatan hakim, yaitu proses pengangkatan hakim, masa jabatan, dan pembagian kewenangan lembaga peradilan di berbagai pengadilan, serta hubungan antara lembaga-lembaga tersebut.

Lebih jauh lagi, gagasan Hamilton tersebut dikembangkan oleh Thomas Ginsburg dan mengidentifikasi pola pengangkatan hakim ke dalam dua aspek; metode perekrutan hakim dan pelaksanaan perekrutan hakim. Mengenai metode pertama, terdapat empat konsep, yakni single-body appointment mechanism, professional appointments, co-operative appointment mechanism, dan representative appointment mechanisms. Sementara itu, terkait pelaksanaan perekrutan hakim, Ginsburg juga membaginya menjadi empat, yaitu appointment by political institutions, appointment by the judiciary itself, appointment by a judicial council (which may include non-judge members), dan selection through an electoral system.

Jika diterapkan pada konteks pengangkatan hakim konstitusi di Indonesia, proses perekrutan sebenarnya menggunakan sistem split and quota yang melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MA, dan Presiden. Dengan demikian, berdasarkan pemikiran Thomas Ginsburg, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang menerapkan pola co-operative appointment mechanism. Namun, pola yang saat ini ditetapkan dalam konstitusi yang menyerahkan proses perekrutan hakim konstitusi kepada tiga lembaga negara dilakukan tanpa adanya standar operasional prosedur yang jelas dan baku. Hal ini menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip lembaga peradilan yang tercermin dari konsep trifurkasi saat ini. Implikasinya adalah adanya perbedaan dalam kualitas dan integritas dalam melaksanakan tugas sebagai Hakim Konstitusi.

Melihat ke Negara Inggris dalam hal perekrutan hakim, mereka menerapkan single body mechanism di mana presiden atau perdana menteri memimpin proses penunjukan dan pengangkatan calon hakim. Prosedur ini melibatkan  konsultasi informal dan tidak mengikat secara tertutup, konsultasi formal dengan dewan penyeleksi yang ditunjuk oleh pemerintah, atau pencalonan oleh komisi pengangkatan peradilan independen. Inggris menjalankan pengisian jabatan hakim dengan prosedur yang jelas dan objektif untuk memastikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen.

Di Korea, sistem pengisian jabatan hakim menerapkan co-operative mechanism. Mahkamah Konstitusi terdiri dari sembilan hakim yang memenuhi syarat dan diangkat oleh Presiden. Pasal 111 ayat (3) Konstitusi Korea Selatan menjelaskan bahwa 3 (tiga) hakim konstitusi dipilih oleh Majelis Nasional, sementara 3 (tiga) lainnya diangkat berdasarkan calon yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Masa jabatan hakim konstitusi adalah sembilan tahun dan mereka tidak dapat dipilih kembali.

Sementara itu, di Hungaria, Mahkamah Konstitusi terdiri dari 15 hakim yang dipilih untuk periode 12 tahun dan tidak boleh dipilih kembali. Hakim Konstitusi Hungaria dipilih oleh suara 2/3 (dua pertiga) anggota Majelis Nasional. Salah satu persyaratan untuk menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi Hungaria adalah tidak boleh berasal dari partai politik atau terlibat dalam kegiatan politik, sesuai dengan Pasal 24 Paragraf 8 Konstitusi Hungaria tahun 2011 yang Amandemen hingga tahun 2013. Pasal tersebut menyatakan bahwa pada intinya Mahkamah Konstitusi adalah badan yang terdiri dari lima belas anggota, masing-masing terpilih selama dua belas tahun dengan suara dua pertiga Anggota Majelis Nasional. Majelis Nasional akan memilih salah satu anggota Mahkamah Konstitusi untuk menjabat sebagai Presiden hingga berakhirnya masa jabatannya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Anggota Mahkamah Konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik atau terlibat dalam kegiatan politik.

Pasal 6 Act CLI of 2011 On the Constitutional Court of Hungary memberikan penjelasan mengenai persyaratan anggota Mahkamah Konstitusi yang harus independen. Setiap warga negara Hungaria yang tidak memiliki catatan kriminal memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. Untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi, diperlukan gelar sarjana hukum, usia minimal 45 tahun, pengalaman sebagai pengacara teoritis dengan pengetahuan luar biasa (profesor universitas atau doktor dari Hungarian Academy of Sciences), atau pengalaman kerja profesional minimal 20 tahun di bidang hukum. Selain itu, anggota Mahkamah Konstitusi tidak boleh berasal dari anggota partai politik.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) Act CLI of 2011 On the Constitutional Court of Hungary menjelaskan bahwa anggota Mahkamah Konstitusi diajukan melalui suatu Komite yang terdiri dari minimal 9 (sembilan) dan maksimal 15 (lima belas) anggota. Anggota komite ini ditunjuk oleh fraksi-fraksi partai yang memiliki perwakilan di parlemen. Para calon harus menyampaikan visi dan misi mereka kepada komite terkait dengan isu-isu konstitusional. Sementara itu, Pasal 8 (1) UU Mahkamah Konstitusi Hungaria menjelaskan bahwa anggota Mahkamah Konstitusi akan dipilih oleh parlemen setelah mendapatkan pendapat dari komite tersebut. Jika parlemen tidak memilih calon yang diajukan dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak keputusan parlemen tersebut, Komite Nominasi harus mengusulkan nama-nama calon baru. Parlemen harus memilih anggota Mahkamah Konstitusi baru kurang dari 90 (sembilan puluh) hari sebelum berakhirnya masa jabatan anggota sebelumnya.

Melihat pada negara Austria, Austria menjadi negara pertama di dunia yang memperkenalkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar Federal Austria 1920 yang telah diamandemen pada tahun 1929. Hal ini membuat Austria disebut sebagai negara pelopor atau penggerak utama dalam pendirian Mahkamah Konstitusi di Eropa. Menurut Pasal 147 ayat (2) Konstitusi Austria 1929, Mahkamah Konstitusi Austria terdiri dari Presiden, Wakil Presiden Mahkamah Konstitusi, 12 Hakim Anggota, dan 6 Hakim Anggota Pengganti.

Dalam praktik di Austria, Pemerintah Federal memiliki hak untuk mengajukan calon Presiden, Wakil Presiden, 6 (enam) Hakim Anggota, dan 3 (tiga) Hakim Anggota Pengganti. Sementara itu, Dewan Nasional berhak mengajukan 3 (tiga) Hakim Anggota dan 2 (dua) Hakim Anggota Pengganti yang berasal dari luar Vienna. Dewan Federal mengajukan 3 (tiga) Hakim Anggota dan 1 (satu) Hakim Anggota Pengganti. Persyaratan untuk menjadi calon hakim konstitusi diatur dalam Pasal 147 ayat (3) Konstitusi Austria 1920 yang menyatakan bahwa semua anggota hakim konstitusi harus memiliki latar belakang pendidikan tinggi dalam hukum dan pengalaman profesional dalam bidang hukum selama 10 (sepuluh) tahun. Usia pensiun hakim konstitusi adalah 70 tahun. Presiden Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab atas pengawasan kinerja hakim konstitusi.

Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip pengisian jabatan hakim sebenarnya mencerminkan nilai-nilai partisipatif, akuntabilitas, transparansi, dan objektivitas, dengan tujuan menjadikan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan independen. Hal ini didasarkan pada konsensus internasional yang tercantum Bangalore Principle Conduct 2002. Namun, sangat disayangkan bahwa dalam pelaksanaan standar operasional prosedurnya seringkali terjadi pelanggaran terhadap konsep trifurkasi dari ketiga lembaga yang mengusulkan, yang pada praktiknya jauh dari nilai-nilai partisipatif, akuntabilitas, transparansi, dan objektivitas.

Terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukan bahwa problematika dalam mekanisme seleksi hakim konstitusi belum dianggap sebagai hal yang penting sehingga fokus perubahan aturan hanya pada masa jabatan hakim konstitusi saja. Padahal, proses seleksi hakim konstitusi merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kualitas hakim konstitusi. Para pembuat undang-undang seharusnya mengatur secara rinci proses dan tata cara pengisian jabatan hakim konstitusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yang oleh penulis sekurang-kurangnya menjadi konsep ideal untuk merumuskan aturan tentang proses dan tata cara pengisian jabatan hakim konstitusi, yakni adanya asesmen publik, hadirnya representasi publik, pelibatan organisasi nonpemerintah, partisipasi media massa, dan konsultasi dengan akademisi.

Selanjutnya, dengan melaksanakan komparasi dengan proses pengisian jabatan hakim konstitusi di berbagai negara di dunia, maka dirasa perlu untuk membentuk pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang lebih mendekati ideal, yang perlu dijelaskan dalam dua kondisi yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu konsep pihak yang melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi dan peraturan teknis dalam pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi. Konsep ini diharapkan dapat memberikan solusi dan upaya untuk menghadirkan hakim yang berkualitas guna memenuhi asas independensi dalam sistem peradilan. 



Penulis: Abdul Gofur (Penilai Pemerintah Ahli Pratama KPKNL Bengkulu)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini