Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
baru saja selesai mengadakan kegiatan Musyawarah Nasional VI Perkumpulan Pejabat Lelang Negara (PPLN) yang
dilaksanakan secara virtual pada tanggal 5-6 Oktober 2020 dengan tajuk penguatan peran PPLN dalam peningkatan profesionalisme pejabat
lelang. Organisasi yang sebelumnya memiliki nama Pengurus Ikatan Pejabat Lelang
Indonesia (IPLI), diinisiasi oleh para pejabat lelang pada tahun 2001 dan terus
disempurnakan hingga saat ini.
Saat ini Perkumpulan Pejabat Lelang
Negara (PPLN) terus berbenah diri agar dapat diakui sebagai suatu organisasi
profesi yang sah di Indonesia. Salah satu tantangan dalam menjalankan setiap
profesi adalah adanya ketidakpuasan pihak lain terhadap hasil kerja seorang
profesional, apalagi jika profesi tersebut berhubungan langsung dengan
kepentingan-kepentingan hukum setiap subjek hukum.
Dalam beberapa kasus gugatan terhadap
pelaksanaan lelang, yang menjadi petitum penggugat adalah Perbuatan Melawan
Hukum (PMH). Gugatan tersebut dilayangkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang (KPKNL) karena penggugat merasa bahwa pelaksanaan lelang tidak
sesuai dengan peraturan atau bertentangan dengan kepatutan dan melanggar hal
milik barang serta bertentangan dengan
kewajiban hukum si penjual untuk mengoptimalkan harga jual lelang.
Lelang sebagai suatu lembaga hukum,
sudah ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan sejak zaman Hindia Belanda. Peraturan tersebut terdapat pada Vendu
Reglement atau VR yang diumumkan pada Staatblad 1908 nomor 189 dan
perubahannya yang masih berlaku hingga saat ini.
Pada gugatan perkara perdata, para pihak
dalam berperkara umumnya terdiri dari penggugat, tergugat dan juga pihak lain
yang ikut ditarik dalam suatu perkara. Dikutip dari website hukumonline.com,
dalam buku berjudul Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktek (Hal. 3)
mengatakan, penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan
menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu
perkara ke depan hakim. Di dalam hukum acara perdata, inisiatif, yaitu ada atau
tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang
yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau
para penggugat.
Disisi
lain, ketika penggugat akan mengajukan gugatannya di Pengadilan, pengadilan akan selalu menerima perkara yang diajukan
oleh siapapun yang merasa kepentingan hukumnya dirugikan selama dokumen
gugatannya telah lengkap sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,
sebagai berikut :
(1) pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”
Pengadilan akan memeriksa, mengadili, dan memutus semua
gugatan yang masuk. Sehingga ketika KPKNL digugat ke pengadilan oleh debitur,
belum tentu KPKNL melanggar peraturan yang berlaku dalam pelaksanaan lelang. KPKNL
harus mengikuti proses berperkara dan membuktikan bahwa pelaksanaan lelang
tidak ada yang melanggar peraturan yang berlaku.
Gugatan
perdata yang biasa dilayangkan kepada pejabat lelang adalah Perbuatan Melawan
Hukum (PMH). Berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang berbunyi, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Dari bunyi pasal
tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH sebagai berikut :
1. Ada
perbuatan melawan hukum;
Perbuatan yang melawan hukum berarti adanya
perbuatan atau tindakan dari pelaku yang melanggar/ melawan hukum.
2. Ada
kesalahan;
Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena
kesengajaan atau karena kealpaan. Kesengajaan maksudnya ada kesadaran yang oleh
orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatan itu akan merugikan orang
lain. Sedangkan kealpaan berarti adanya perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang
mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Namun
demikian adakalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan,
misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak
sehat pikirannya (gila).
3. Ada
hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;
Maksudnya, ada hubungan sebab akibat antara
perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang akan muncul karena kejadian
tersebut. Kerugian tidak akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan
melawan hukum tersebut.
4. Ada
kerugian;
Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian.
Kerugian disini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Materiil (kerugian karena tabrakan
mobil, hilangnya keuntungan, ongkos barang, biaya-biaya dan lain-lain) dan Immateril
(ketakutan, kekecewaan, penyesalan, kehilangan semangat hidup yang pada
prakteknya akan dinilai dalam bentuk uang).
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa setiap orang yang merasa dirugikan akan menggugat ke
pengadilan dan pengadilan akan selalu menerima perkara yang diajukan kepadanya.
Ketika ada pihak yang mempersoalkan pejabat lelang dalam kaitan dengan tugas
profesinya, maka hal yang perlu dilihat adalah apakah pelaksanaan lelang
tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelengkapan
dokumen pelaksanaan lelang mutlak harus dipenuhi, Sepanjang semua aspek telah
dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku yaitu yang pada saat ini masih
berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, maka niat untuk menyulitkan seorang pejabat lelang karena
melaksanakan tugas profesi tidak akan berhasil.
Sumber :
M. Yahya Harahap, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta:
Sinar Grafika.
Penulis : Deni Atif Hidayat