Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bandung > Artikel
Selamat Hari Kartini
Dwi Nugrohandhini
Senin, 24 April 2017   |   605 kali

RA. Kartini, nama ini mulai saya kenal sejak saya di bangku Taman kanak-kanak. Saat itu saya diminta memakai kebaya atau pakaian tradisional daerah Indonesia. Saat itu saya belum mampu memaknai hari Kartini sama sekali.

Saat saya sekolah di sekoalah dasar, mulai mengetahui sosok seorang kartini. Guru di sekolah menggambarkan Kartini sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan. Dikatakan Kartini memperjuangkan hak seorang perempuan yang dahulu tidak boleh bersekolah agar dapat mengenyam pendidikan. Pengertian saya ini bertahan sampai saya berada si Sekolah Menengah Atas.

Kemudian saya mengenal pemahaman Kartini memperjuangan agar hak perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan mendapat hak untuk sekolah tinggi, berkarir apa saja dan berpendapat sama. Intinya perempuan mempunyai hak untuk menentukan langkahnya sendiri dalam kehidupan ini.

Terusik dengan keingintahuan saya tentang sosok RA Kartini, saya pun membaca Buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang berisi kumpulan surat-surat RA Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang berwarga negara Belanda.

RA Kartini lahir 21 April 1879,   merupakan anak  dari Bupati Jepara R.M Adipati Ario Sosroningrat, Keluarga ningrat Jawa yang berpikiran maju dan memberikan pendidikan barat kepada putra-putrinya. Ya, Kartini sempat bersekolah sampai dengan umur 12 tahun sebelum mengalami masa “dipingit”. Pada masa dipingit inilah suara-sura Kartini tentang perjuangan hak perempuan mulai dia tuliskan.

“Kembali ke lingkunganku yang lama tiada aku dapat, maju lagi, masuk dunia baru tiada pula dapat, ribuan tali mengikat aku erat-erat kepada duniaku yang lama” katanya dalam suratnya tanggal 6 November 1899 kepada Nona Zeehandelaar. Segala bimbang !.

Kutipan di atas memberikan gambaran rasa terkekang oleh adat istiadat yang ada saat itu. Kartini sangat ingin bisa seperti teman-teman Belanndanya, tetapi dia sangat menyadari batasan-batasan yang dia miliki sebagai seorang wanita pribumi. Adat sitiadat saat itu sangat membatasi sikap seorang wanita, dari cara berpakaian, cara berbicara, cara menetukan keputusan untuk dirinya sendiri, dan sebagainya.

Kartini sangat ingin mendobrak kebiasaan yang telah lama berlaku, tetapi Kartini sangat mencintai ayahnya yang seorang Jawa nigrat, takut melukai dan mambuat malu hati orang tua yang sangat dicintainya itu. Sehingga kesedihan hatinya dicurahkan dalam surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabanta. Bersamaan dengan itu di daerah lain, seperti Jawa Barat, seorang pejuang emansipasi juga berjuang dengan mendirikan sekolah untuk kaum perempua, yaitu Dewi Sartika. Tetapi perjuangan Kartini tidak seluas seorang Dewi Sartika,  saat  Kartini baru merintis mendirikan sekolah buat perempuan dilingkungan rumahnya, Kartini meninggal dunia, yaitu empat hari setelah dia melahirkan anak pertamanya.

Selang waktu berjalan kemudian, cita-cita Kartini akhirnya pun terwujud , setelah diteruskan oleh para pejuang emansipasi perempuan setelahnya. Fakta sekarang, saya dapat sekolah, dapat menyampaikan pendapat dengan bebas, dapat menentukan jodoh saya sendiri. Tapi apa arti emansipasi yang ada dibenak Kartini sama dengan “Bebas sebebas-bebasnya”.

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang dikatakan “...kartini tiada sama sekali melarang perempuan untuk menikah, karena menikah merupakan pelabuhan paling bahagia untuk seorang  wanita. Jadi belajar itu agar jangan dipaksa dengan orang yang tidak disukainya, dan juga jangan merasa wajib takluk kepada suaminya. Jika perempuan itu belajar, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya”.  Jelas tujua cita-cita Kartini bukan sekedar kebebasan buat perempuan tapi berujung kepada kemajuan bangsa Indonesia. Kartini berharap Indonesia (pribumi) tidak direndahkan oleh Belanda, dan berharap perempuanlah salah satu faktor utama yang mendukung kemajuan bangsa Indonesia.

Kartini tidak hanya sekedar mencurahkan isi hatinya dalam surat,  tetapi seorang Kartini sudah dapat memperkirakan dimasa yang akan datang, seorang perempuan harus mempunyai fungsi utama dalam sebuah kemjuan bangsa. Saya sangat bersyukur  terlahir pada masa hak seorang wanita untuk maju sudah sama dengan laki-laki, tetapi pun saya menyadari sebagai seorang perempuan masih terdapat batasan-batasan dalam menjalankan keinginan saya.

Sekarang saya  hanya bisa berharap dapat menjadi seorang “Kartini’ yang benar-benar berguna memajukan bangsa ini. Mungkin sosok Kartini hanya mampu menuangkan cita-citanya, tetapi kitalah yang bertugas menjalankan cita-citanya.”Selamat hari Kartini”

 

Penulis: Dwi Nugrohandhini, Kepala  Seksi Hukum dan Informasi KPKNL  Bandung

Sumber: 

Buku Habis Gelap terbitlah Terang, RA Kartini, terjemahan Armijn Pane, cetakan 21, Jakarta-Balai Pustaka, 2009

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini