RA. Kartini, nama ini mulai saya
kenal sejak saya di bangku Taman kanak-kanak. Saat itu saya diminta memakai
kebaya atau pakaian tradisional daerah Indonesia. Saat itu saya belum mampu
memaknai hari Kartini sama sekali.
Saat saya sekolah di sekoalah
dasar, mulai mengetahui sosok seorang kartini. Guru di sekolah menggambarkan
Kartini sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan. Dikatakan Kartini
memperjuangkan hak seorang perempuan yang dahulu tidak boleh bersekolah agar
dapat mengenyam pendidikan. Pengertian saya ini bertahan sampai saya berada si
Sekolah Menengah Atas.
Kemudian saya mengenal pemahaman
Kartini memperjuangan agar hak perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan
mendapat hak untuk sekolah tinggi, berkarir apa saja dan berpendapat sama.
Intinya perempuan mempunyai hak untuk menentukan langkahnya sendiri dalam
kehidupan ini.
Terusik dengan keingintahuan saya
tentang sosok RA Kartini, saya pun membaca Buku Habis Gelap Terbitlah Terang,
yang berisi kumpulan surat-surat RA Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang berwarga
negara Belanda.
RA Kartini lahir 21 April 1879, merupakan anak
dari Bupati Jepara R.M Adipati Ario Sosroningrat, Keluarga ningrat Jawa
yang berpikiran maju dan memberikan pendidikan barat kepada putra-putrinya. Ya,
Kartini sempat bersekolah sampai dengan umur 12 tahun sebelum mengalami masa
“dipingit”. Pada masa dipingit inilah suara-sura Kartini tentang perjuangan hak
perempuan mulai dia tuliskan.
“Kembali ke lingkunganku yang
lama tiada aku dapat, maju lagi, masuk dunia baru tiada pula dapat, ribuan tali
mengikat aku erat-erat kepada duniaku yang lama” katanya dalam suratnya tanggal
6 November 1899 kepada Nona Zeehandelaar. Segala bimbang !.
Kutipan di atas memberikan
gambaran rasa terkekang oleh adat istiadat yang ada saat itu. Kartini sangat
ingin bisa seperti teman-teman Belanndanya, tetapi dia sangat menyadari batasan-batasan
yang dia miliki sebagai seorang wanita pribumi. Adat sitiadat saat itu sangat
membatasi sikap seorang wanita, dari cara berpakaian, cara berbicara, cara
menetukan keputusan untuk dirinya sendiri, dan sebagainya.
Kartini sangat ingin mendobrak
kebiasaan yang telah lama berlaku, tetapi Kartini sangat mencintai ayahnya yang
seorang Jawa nigrat, takut melukai dan mambuat malu hati orang tua yang sangat
dicintainya itu. Sehingga kesedihan hatinya dicurahkan dalam surat-surat
Kartini kepada sahabat-sahabanta. Bersamaan dengan itu di daerah lain, seperti
Jawa Barat, seorang pejuang emansipasi juga berjuang dengan mendirikan sekolah
untuk kaum perempua, yaitu Dewi Sartika. Tetapi perjuangan Kartini tidak seluas
seorang Dewi Sartika, saat Kartini baru merintis mendirikan sekolah buat
perempuan dilingkungan rumahnya, Kartini meninggal dunia, yaitu empat hari
setelah dia melahirkan anak pertamanya.
Selang waktu berjalan kemudian, cita-cita
Kartini akhirnya pun terwujud , setelah diteruskan oleh para pejuang emansipasi
perempuan setelahnya. Fakta sekarang, saya dapat sekolah, dapat menyampaikan
pendapat dengan bebas, dapat menentukan jodoh saya sendiri. Tapi apa arti
emansipasi yang ada dibenak Kartini sama dengan “Bebas sebebas-bebasnya”.
Dalam buku Habis Gelap Terbitlah
Terang dikatakan “...kartini tiada sama sekali melarang perempuan untuk
menikah, karena menikah merupakan pelabuhan paling bahagia untuk seorang wanita. Jadi belajar itu agar jangan dipaksa
dengan orang yang tidak disukainya, dan juga jangan merasa wajib takluk kepada
suaminya. Jika perempuan itu belajar, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan
lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya”. Jelas tujua cita-cita Kartini bukan sekedar
kebebasan buat perempuan tapi berujung kepada kemajuan bangsa Indonesia.
Kartini berharap Indonesia (pribumi) tidak direndahkan oleh Belanda, dan
berharap perempuanlah salah satu faktor utama yang mendukung kemajuan bangsa
Indonesia.
Kartini tidak hanya sekedar mencurahkan
isi hatinya dalam surat, tetapi seorang
Kartini sudah dapat memperkirakan dimasa yang akan datang, seorang perempuan
harus mempunyai fungsi utama dalam sebuah kemjuan bangsa. Saya sangat bersyukur
terlahir pada masa hak seorang wanita
untuk maju sudah sama dengan laki-laki, tetapi pun saya menyadari sebagai
seorang perempuan masih terdapat batasan-batasan dalam menjalankan keinginan
saya.
Sekarang saya hanya bisa berharap dapat menjadi seorang “Kartini’
yang benar-benar berguna memajukan bangsa ini. Mungkin sosok Kartini hanya
mampu menuangkan cita-citanya, tetapi kitalah yang bertugas menjalankan
cita-citanya.”Selamat hari Kartini”
Penulis: Dwi
Nugrohandhini, Kepala Seksi Hukum dan
Informasi KPKNL Bandung
Sumber:
Buku Habis Gelap
terbitlah Terang, RA Kartini, terjemahan Armijn Pane, cetakan 21, Jakarta-Balai
Pustaka, 2009