Perubahan
iklim telah menjadi isu global bagi negara-negara di dunia karena akan
memberikan dampak buruk bagi ekosistem kehidupan, keberagaman hayati sampai keberlangsungan
hidup manusia. Kenaikan suhu udara juga akan berdampak buruk bagi negara-negara
di dunia karena dapat mengakibatkan bencana seperti kebakaran, kekeringan
hingga mencairnya es di kutub. Oleh karena itu, negara-negara di dunia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan United Nations Framework Conventions of
Climate Change sudah membuat perjanjian yang dikenal dengan Paris
Agreement pada tahun 2016. Paris Agreement ditandatangani oleh 195
negara anggota PBB yang mengharuskan anggotanya untuk mengurangi produksi emisi
gas rumah kaca.
Indonesia
yang turut serta menandatangani Paris Agreement telah menyatakan akan
menurunkan emisi gak rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 (sumber: CNBC
Indonesia). Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Paris, Pemerintah telah
meratifikasi Perjanjian Paris dengan menerbitkan Undang-Undang nomor 16 Tahun
2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework
Convetion on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Salah satu upaya
Pemerintah untuk memenuhi komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dengan
mengenakan pajak karbon mulai tahun 2022 guna menekan emisi karbon.
Selain pajak
karbon, Pemerintah telah melakukan perdagangan karbon melalui Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang resmi diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 26
September 2023. Bursa karbon merupakan terobosan dalam upaya menurunkan tingkat
pemanasan global, dimana perdagangan karbon sebagai wadah yang memberikan reward
bagi entitas yang mengahsilkan emisi gas karbon rendah sehingga kuota karbon
yang dimiliki dapat dijual melalui bursa karbon. Hal tersebut yang menjadikan
bursa karbon dianggap sebagai salah satu cara paling jitu untuk mereduksi gas
rumah kaca.
Bursa karbon
merupakan kegiatan perdagangan karbon yaitu pembelian dan penjualan kredit atas
pengeluaran karbondioksida atau gas rumah kaca. Menurut NHKSI Research yang
dirilis oleh investor.id, komoditas yang diperdagangkan di bursa karbon adalah
hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara ton CO2. Sebagai ilustrasi
entitas X adalah perusahaan yang mengahsilan emisi gas karbon rendah sehingga
entitas X dapat mengeluarkan kredit karbon dan bisa menjual karbon. Sedangkan
entitas Y merupakan perusahaan yang mengahsilkan emisi karbon tinggi sehingga
entitas Y harus membeli karbon dari perusahaan yang memiliki kredit karbon
seperti entitas X agar emisi karbon yang dihasilkan dapat terkendali.
Dengan
adanya bursa karbon, membuat perusahaan-perusahaan penghasil karbon
berlomba-lomba untuk melakukan inovasi agar emisi karbonnya rendah dan
menghasilan kredit karbon untuk dapat diperdagangkan pada bursa karbon. Seperti
perusahaan plat merah telah turut serta melakukan pengurangan emisi gas rumah
kaca pada sektor industrinya yaitu PLN yang sudah menjalankan program konversi
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik berbasis Energi
Baru Terbarukan (EBT) (sumber: web.pln.co.id), Pertamina dengan menerapkan sistem
pemulihan gas suar bakar yang merupakan hasil dari kegiatan produksi migas
dimana gas suar bakar dapat diolah kembali dan dijadikan bahan bakar. Pertamina
juga menerapkan efisiensi energi hulu, midream dan hilir serta program gasifikasi
dan aktivitas lainnya di aset panas bumi (sumber: CNBC).
Jika direfleksikan ke DJKN, menurut penulis DJKN dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca diantaranya melalui:
1. Penerapan kebijakan ataupun
regulasi Standar Barang Standar Kebutuhan (SBSK) BMN berupa tanah, dimana
sebagian tanah BMN diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau pada bangunan gedung
kantor ataupun bangunan rumah dinas. Selain itu, dapat juga sebagian tanah BMN
yang idle sebagai ruang terbuka hijau yang diharapkan dapat mengurangi
emisi gas rumah kaca.
2. Memberikan insentif kepada
perusahaan plat merah (BUMN) berupa Penyertaan Modal Pemerintah untuk
pembangunan atau pengembangan usaha yang bertujuan dekarbonisasi.
3. Merekomendasikan konsep green
building bagi BMN berupa bangunan gedung kantor yang salah satu manfaatnya
dapat mengurangi jejak karbon yang berpengaruh besar pada lingkungan
sebagaimana dilansir situs sucofindo.co.id.
4. Melakukan program hemat energi
pada semua instansi DJKN baik kantor pusat DJKN maupun instansi vertikal DJKN
sehingga kelestarian lingkungan terkendali dengan baik.
5. Merekomendasikan penggunaan kendaraan listrik atau kendaraan hybrid sebagai kendaraan dinas.
Menurut
penulis, kontribusi DJKN dalam pengurangan emisi gas rumah kaca apabila
dilakukan secara massif oleh seluruh pengguna barang, dapat dikapitalisasi
sebagai kredit karbon yang nantinya dapat sebagai sumber PNBP baru, tentunya
setelah ada koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta
OJK sebagai otoritas pelaksana bursa karbon. Seandainya pun tidak dapat
dikapitalisasi sebagai kredit karbon dan menghasilkan PNBP, DJKN yang merupakan
manifestasi pemerintah dalam pengelolaan asset telah menunjukkan peran aktifnya
dalam mencegah pemanasan global dan kepeduliannya terhadap kelestarian
lingkungan.
Kontribusi
DJKN dan kita semua sebagai insan DJKN sangat diperlukan dalam mengurangi efek
gas rumah kaca, seperti quote yang disampaikan oleh Bill Gates
“perubahan iklim adalah masalah yang mengerikan dan itu mutlak harus
diselesaikan dan layak menjadi prioritas terbesar”.
Penulis: Budi Hardiansyah – Kasi Penilaian I Kanwil DJKN Sumatera Utara