Pandemi
Covid-19 telah melanda hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia.
Terdapat lebih dari 4 juta jiwa orang yang terinfeksi positif corona, dengan
korban meninggal lebih dari tiga ratus ribu jiwa. Untuk mengurangi dampak covid-19
lebih luas lagi, banyak negara di dunia menerapkan social distancing,atau secara ekstrim menerapkan lockdown. Indonesia sendiri lebih
memilih menerapkan karantina wilayah atau disebut dengan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) bagi daerah-dareah yang terdampak penyebaran covid-19.
Adanya
pemberlakuan social distancing, lockdown, atau bahkan PSBB yang dilakukan
oleh banyak negara untuk menekan lajunya penyebaran covid-19 ini, pastinya akan
berdampak terhadap perekonomian dunia. Pembatasan-pembatasan ini, memaksa dunia
usaha mengurangi jumlah pegawai yang melakukan proses produksi pada usaha
mereka. Work From Home atau kerja
dari rumah merupakan salah satu langkah yang wajib diterapkan. Lebih dari itu,
gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan mulai merebak disana
sini akibat tidak adanya pendapatan, sementara biaya terus membengkak. Jika
tidak mau disebut PHK, merumahkan pegawai merupakan langkah yang dilakukan
untuk memangkas biaya produksi guna mengimbangi adanya penurunan pendapatan
yang drastis. Hal ini jelas memukul perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2020 hanya mencapai 2,9%, padahal secara
year on year (yoy) telah mencapai
5,07 % pada kuartal I tahun 2019.
Sungguh hal yang di luar dugaan karena PSBB baru mulai diberlakukan di akhir
kuartal I tahun 2020, itu pun hanya di Jakarta. Bisa dibayangkan pertumbuhan
ekonomi setelah kuartal I tahun 2020 kemungkinan akan terus merosot masuk menuju angka
negatif. Jurang resesi akan semakin terbuka lebar apabila pertumbuhan dan stabilitas ekonomi terus menuju
ke angka negatif selama minimal dua kuartal berturut-turut.
Gambaran kondisi
di atas merupakan hal yang harus segera disikapi dan perlu segera diambil
langkah-langkah strategis guna mengantisipasi timbulnya resesi ekonomi
Indonesia, disamping juga berupaya menekan lajunya penyebaran pandemi ini. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, melalui PERPPU Nomor 1 tahun 2020, pemerintah
menyiapkan langkah-langkah luar biasa (extraordinary)
terkait Kebijakan Keuangan Negara guna mengantisipasi dampak covid-19 dan
penangannya. Koordinasi antara pemerintah dengan Bank Indonesia pun disiapkan.
Pemerintah
menyiapkan stimulus-stimulus di bidang kesehatan, jaring pengaman sosial
(bantuan sosial, pembebasan tarif listrik, kartu pra-kerja), dukungan industri
(subsidi PPh Pasal 21 dan PPN, Bea masuk dan stimulus KUR), dan program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sementara itu, Bank Indonesia mengeluarkan
langkah Quantitatve Easing dengan
cara membeli obligasi pemerintah dan swasta, menurunkan giro wajib minimum
perbankan, dan rencana membentuk bank jangkar (anchor bank). Langkah ini
dianggap sama dengan printing money
tanpa mencetak fisik uang.
Melalui PERPPU
Nomor 1 tahun 2020, pemerintah juga menyatakan diri telah siap untuk menghadapi
pandemi ini sehingga masyarakat tidak perlu panik. Respon masyarakat dan dunia
usaha untuk tidak panik dalam kondisi ini sangat diperlukan agar masalah ini
dapat segera dihadapi.
Dengan kondisi
pandemi seperti ini, apakah kita dapat melakukan investasi? Lalu investasi
seperti apa yang dianggap tepat dalam situasi seperti ini? Apakah investasi
saham, property, emas, atau obligasi pemerintah. Hal ini seperti terasa sulit
karena adanya pengurangan pendapatan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja
masih dianggap sulit, apalagi untuk investasi. Bagi sebagian orang yang
memiliki cadangan uang selama ini, apakah harus menyimpan uangnya? Hal yang
perlu diingat, bahwa dalam keadaan normal ‘Cash
is King’ dapat berubah menjadi ‘Cash
is Trash’ dalam kondisi krisis.
Investasi yang
paling tepat dilakukan di kala pandemi adalah investasi terhadap diri kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk investasi terhadap diri kita, seperti
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan di luar yang selama ini kita punya. Selama
kondisi pandemi, pegawai (ASN) diberi kesempatan untuk work from home (WFH). Selama di rumah kita pasti memiliki waktu
lebih luang di luar jam kerja. Kelebihan dan kelonggaran waktu ini harus dimanfaatkan untuk
mempelajari ilmu dan kemampuan yang lain seperti, mempelajari cara memasak
resep yang baru, mempelajari teknik berkebun hidroponik, disamping mempelajari
instrumen investasi saham, property, emas, atau obligasi pemerintah. Hal ini
diperlukan karena ketika perekonomian sudah mulai membaik, kita dapat
menghindari resiko yang muncul akibat investasi tersebut (semua investasi
memiliki resiko baik jangka pendek maupun jangka panjang).
Selain
investasi terhadap diri kita melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan,
investasi juga dapat dilakukan dengan meningkatkan imunitas diri kita. Biaya
yang selama ini kita cadangkan untuk berwisata mungkin dapat dialihkan untuk
membeli tambahan suplemen maupun vitamin.
Setelah
kondisi ekonomi mulai pulih, itulah saat yang tepat untuk mulai menjalankan instrumen
investasi atau bahkan memulai usaha dari hal yang sudah kita pelajari. Sikap
untuk tidak panik (tetap tenang) juga diperlukan dalam situasi seperti ini.
Biasa dalam kondisi seperti ini muncul kondisi psikologis Fear Of Missing Out (FOMO) atau kondisi takut melewatkan sesuatu
momen yang berharga, atau tidak ikut dalam tren peningkatan aktivitas ekonomi.
Kesimpulan
yang ingin saya sampaikan adalah perilaku tidak panik atau tetap tenang dalam
situasi krisis akibat pandemi maupun kondisi peningkatan ekonomi akibat
pemulihan sangat diperlukan. Hal yang perlu kita ingat bersama adalah setiap
badai akan menghasilkan orang yang kuat atau orang yang sudah kesakitan dalam
menghadapi badai. Tergantung kita memilih, apakah kita mau menjadi semakin kuat
setelah badai ini.
(Penulis : Efraim Prananta, Seksi
Kepatuhan Internal, Bidang KIHI)