A. Latar Belakang
Didorong
oleh perkembangan teknologi dan peningkatan globalisasi, wajah dunia kerja
saat ini telah mengalami perubahan yang bersifat konstan dalam rentang dua
ratus tahun terakhir (Grampp & Zobrist, 2018). Mulai dari ekonomi agraris
menjadi ekonomi industrialis, yang saat ini telah berevolusi kembali menjadi
ekonomi berbasis jasa. Dalam periode ini, keseluruhan sektor perekonomian dan
pekerjaan telah bertransformasi, di mana sebagian pola-pola lama tergerus
digantikan dengan yang lebih dinamis.
Beragam
transformasi terjadi pada dunia kerja saat ini, untuk merespon perkembangan
digitalisasi, yang akan membawa perubahan sangat signifikan. Penggunaan
teknologi digital telah meningkat luar biasa membawa berbagai perubahan yang
sangat prinsipil bagi dunia kerja, mekanisme pelaksanaannya serta
keahlian-keahlian yang melibatkan penggunaan dari teknologi-teknologi dimaksud.
Model
transformasi ini telah banyak bermunculan, salah satunya adalah co-working
space yang ide awalnya dikembangkan sekitar tahun 2007 di Silicon
Valley dan pada akhirnya menuju kepada konsep yang saat ini kita
ketahui (Jackson, 2013). Disisi lain, bentuk transformasi yang juga mulai
banyak diterapkan adalah Flexible Working Space (FWS).
Meskipun sudah mulai merebak sejak abad ke-21 (Omondi & K’Obonyo, 2018),
akan tetapi baru pada beberapa tahun terakhir saja praktik ini dipersepsikan
oleh banyak pihak dapat menguntungkan bagi pihak pekerja dan pemberi kerja
(Clutterbuck, 2003). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kontribusi
positif, meskipun sebagian tidak secara langsung, bagi organisasi yang
mempraktekannya (Morgan, 2009).
Organisasi
dan pihak pekerja telah menyadari potensi keuntungan dari praktek FWS ini,
mulai dari membentuk pekerja yang mampu bekerja secara optimal, peningkatan
kesejahteraan pegawai, pengurangan tingkat kealphaan, pertumbuhan komitmen
kerja pegawai yang lebih kuat, serta menciptakan perilaku organisasi yang lebih
manusiawi (White, Hill, McGovern, Mills & Smeaton, 2003).
Sejalan
dengan hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu unit organisasi
pemerintah, yang membawahi berbagai unit eselon
I, telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 223/KMK.01/2020
tentang Implementasi FWS di Lingkungan Kementerian Keuangan (KM, 2020), yang
memberikan pengaturan pola kerja pegawai yang memberikan fleksibilitas lokasi
bekerja selama periode tertentu dengan memaksimalkan teknologi informasi.
Ketentuan dalam KMK dimaksud mengatur berbagai kriteria yang berlaku umum bagi
seluruh unit eselon I terkait tata cara pelaksanaannya, meliputi kriteria
pekerjaan yang diprioritaskan, kriteria yang harus dipenuhi pegawai, serta
kriteria jumlah pegawai dan lokasi serta batasan waktu menjalankan FWS.
Dari
berbagai kriteria dimaksud, kriteria pekerjaan yang menjadi prioritas merupakan
salah satu yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Jika menilik ketentuan
dalam KMK dimaksud, maka hanya yang memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut yang
mendapat prioritas untuk dapat menjalankan FWS. Pertama, pekerjaan di bidang
perumusan kebijakan atau rekomendasi kebijakan. Kedua, pekerjaan yang tidak
berhubungan secara langsung/tatap muka dengan pengguna layanan baik internal
maupun eksternal Kemenkeu. Terakhir, pekerjaan yang dapat dilakukan dengan
menggunakan fasilitas daring (online).
Secara
umum, tidak seluruh unit layanan di Kementerian Keuangan akan dapat memenuhi
kriteria pekerjaan dimaksud, terutama unit-unit pelayanan vertikal yang merupakan
ujung tombak pelayanan dan harus berinteraksi langsung dengan para stakeholder, salah satunya adalah Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN).
Namun
demikian, ketentuan dimaksud juga mengatur bahwa masing-masing unit eselon I
dapat menetapkan kriteria lainnya setelah mendapatkan rekomendasi dari
Sekretaris Jenderal Kemenkeu. Terkait dengan hal dimaksud, tulisan ini akan
menganalisis kriteria tugas dan fungsi di lingkup KPKNL, DJKN dalam rangka
implementasi FWS tersebut melalui 3 tahapan, dengan mengambil contoh salah satu
tugas dan fungsi (tusi) di KPKNL yaitu kegiatan dari Seksi Pelayanan Penilaian. Pertama,
menjelaskan kondisi normatif atas tusi pelayanan penilaian yang dilaksanakan
KPKNL. Kedua, pola kerja Seksi Pelayanan Penilaian selama masa social
distancing dan pelaksanaan Work From Home (WFH).
Terakhir, penulis akan memberi masukan terkait kriteria pekerjaan dalam lingkup
KPKNL dalam rangka implementasi FWS dimaksud.
B. Pembahasan
Pelayanan
penilaian merupakan salah satu core business yang dilaksanakan
oleh KPKNL, yang sebagian besar adalah pelaksanaan penugasan penilaian dari
pihak yang memberi tugas. Untuk dapat memahami ruang lingkup tusi penilaian,
maka perlu diketahui pengertian dari penilaian itu sendiri. Berdasarkan PMK
Nomor 64/PMK.06/2016 (MK, 2016), penilaian adalah suatu kegiatan untuk
memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu.
Sedangkan menurut Standar Penilaian Indonesia 2015 (KLC, 2020), penilaian
adalah proses pekerjaan seorang penilai dalam memberikan opini tertulis
mengenai nilai ekonomi pada saat tertentu. Seorang Penilai adalah pihak yang
melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Adapun penilai yang bertugas di KPKNL merupakan penilai pemerintah.
Selanjutnya, perlu dipahami terkait proses penilaian yang dilakukan oleh penilai pemerintah pada KPKNL, yaitu sesuai bagan dibawah ini:
Sumber: klc Kemenkeu.go.id
Dari definisi dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sifat dari pelaksanaan penilaian itu membutuhkan kehadiran dan analisis seorang penilai untuk mempertimbangkan seluruh fakta yang tersedia di lapangan (analysis of relevant market information). Oleh karena itu, dari basis keilmuan maka pelaksanaan penilaian belum dimungkinkan untuk melakukan FWS. Namun demikian, hal ini perlu dielaborasi lebih jauh dengan memperhatikan apa yang hendak dicapai oleh tusi pelayanan penilaian, bagaimana cara mencapainya, dan landasan hukumnya.
I. Kondisi
Normatif Tusi Penilaian
Berdasarkan
laporan analisis beban kerja triwulan I tahun 2020 pada Seksi Pelayanan
Penilaian (ABK, 2020), KPKNL, maka produk dan kegiatan yang dilakukan dapat
digolongkan menjadi 3 form, yaitu Form A terdiri atas 41 (empat puluh
satu) output yang menunjukkan berbagai output terkait tusi dari Seksi Pelayanan
Penilaian selama tahun 2020. Selanjutnya adalah form B yang terdiri atas 25 (dua puluh lima) kegiatan menunjukkan
kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh Seksi Pelayanan Penilaian selama
tahun 2020, dan terakhir form lain
terdiri atas 5 (lima) kegiatan menunjukkan kegiatan diluar tusi rutin yang ada.
Apabila
dilakukan klasifikasi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Seksi Pelayanan
Penilaian di atas, maka dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Pekerjaan
yang dilakukan di lingkungan kantor dan memerlukan kegiatan lapangan serta
berinteraksi dengan pihak lain secara langsung/tatap muka.
2. Pekerjaan
yang dilakukan di lingkungan kantor, tanpa kegiatan lapangan dan perlu
berinteraksi dengan pihak lain baik secara langsung/tatap muka ataupun melalui
media.
3. Pekerjaan yang dapat dilakukan di lingkungan kantor atau diluar kantor dan tidak perlu berinteraksi dengan pihak lain baik secara langsung/tatap muka atau dapat melalui media.
Selanjutnya, dari kategori pekerjaan di atas dapat diklasifikasikan lagi menurut jenis input atau sumber pekerjaannya, yaitu:
1. Pekerjaan
yang sudah terjadwal dan diketahui kapan harus dilaksanakan.
2. Pekerjaan
yang berdasarkan permintaan pihak luar yang belum dapat diketahui kapan
datangnya.
Dari
seluruh kegiatan dan produk yang dilakukan oleh Seksi Pelayanan Penilaian di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa secara normatif, mayoritas pekerjaan yang dilakukan
berhubungan secara langsung/tatap muka dengan pengguna layanan baik internal,
maupun eksternal Kementerian Keuangan, meskipun ada beberapa pekerjaan
minoritas terkait rekomendasi kebijakan berupa kajian peraturan dan juga
pekerjaan yang dilakukan menggunakan fasilitas daring (online). Selain
itu, pekerjaan-pekerjaan dimaksud ada yang telah diketahui kapan harus
dilaksanakan, dan ada yang tidak (sesuai permintaan).
Pada kondisi normal, dimana kehadiran pegawai 100% berada di lingkungan kantor dan siap melakukan kegiatan lapangan, maka pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan secara baik, produktivitas stabil dan output pekerjaan berkualitas dapat dihasilkan sesuai target yang ditetapkan. Namun demikian, bagaimanakah pekerjaan yang mayoritas memerlukan interaksi/tatap muka dimaksud pada akhirnya dapat dilakukan dengan mempraktekan prinsip social distancing dan bahkan dilakukan secara WFH? Hal yang sebenarnya sedang dilaksanakan saat ini, dan apakah output serta produktivitas yang dihasilkan menjadi menurun? Hal ini dapat dilihat dari pemaparan pola kerja dibawah ini.
II. Pola
Kerja Selama Social Distancing dan WFH
Berdasarkan
data yang dikompilasi dari Seksi Pelayanan Penilaian, dengan mengambil sampel
dari 2 kegiatan utama Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Gorontalo, maka diketahui
bahwa output kegiatan selama periode 16 Maret s.d. 29 April 2020 (masa social
distancing dan WFH) adalah sebagai berikut. Pertama, tindak lanjut
penyelesaian perbaikan atas sisa obyek revaluasi BMN, tercatat telah tercapai
45,34% dari target Q2 (25%). Jumlah penilaian selesai dimaksud s.d. selesai
cetak dan scan, namun belum dapat dimasukkan di SIP Reval maupun SIMAN.
Hal
ini dapat dilakukan para pegawai dengan mengoptimalkan penggunaan aplikasi
SIAPBANG Web yang disediakan kantor pusat, membawa berkas hardcopy ataupun softcopy,
dan membuat work station di luar lingkungan kantor. Hal ini
sekaligus menunjukkan pola pelaksanaan tugas di lingkungan KPKNL dapat
dilakukan tidak hanya di lingkungan kerja namun juga berpotensi dilakukan
secara FWS, dengan memenuhi kriteria yang ketat serta pengawasan yang memadai,
dalam hal ini dicontohkan melalui desk valuation dengan TIK
yang handal.
Bagaimana dengan produktivitas dan kualitas output pekerjaannya? Jika melihat pola kerja penyelesaian tindak lanjut revaluasi BMN berdasarkan data di bawah ini, diketahui bahwa perkembangannya menunjukkan positif growth bahkan sudah melampaui target yang diberikan dalam kondisi normal. Adapun terkait pengendalian kualitas pekerjaan tetap dilakukan seperti kondisi normal namun diakumulasi dengan penjadwalan pada saat pegawai melaksanakan pekerjaan dari kantor.
Sumber: diolah dari data Seksi
Pelayanan Penilaian, KPKNL Gorontalo
Kedua, laporan
penilaian yang dihasilkan selama masa dimaksud adalah sebanyak dua laporan
penilaian, dengan Deviasi Ketergunaan Hasil Penilaian: 0%. Angka ini sekilas
menunjukkan hampir zero growth, di mana dalam masa satu bulan lebih
hanya mampu menghasilkan dua laporan saja, dibandingan dengan data bulan Februari
2020 (sebelum social distancing dan WFH) yang mencapai 30
laporan. Hal ini berarti produktivitas selama periode 16 Maret s.d. 29 April
dalam pelaksanaan penilaian adalah 4,65%.
Namun
demikian, hal ini merupakan transisi yang wajar mengingat pola kerja baru yang
perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada pengguna layanan. Meskipun
begitu, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penurunan produktivitas
dimaksud dapat menjadi berkelanjutan apabila Kantor Pusat DJKN tidak segera
mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan. Oleh karena itu
dikeluarkan Perdirjen 4/KN/2020 (DJKN, 2020), yang antara lain memberikan
relaksasi berupa:
1. Pemberlakuan
perpanjangan masa berlaku Laporan Penilaian, melebihi yang seharusnya hanya 6 (enam) bulan, untuk laporan yang berakhir di masa tanggap bencana, dan
2. Pelaksanaan
Survei Lapangan oleh petugas dari Pemohon bagi objek penilaian berupa
Non-Tanah & Bangunan.
Selama pemberlakuan social distancing dan
WFH ini juga, pola kerja yang tadinya berfokus kepada pemberian layanan secara
langsung/tatap muka kepada stakeholder dan shareholder,
beralih menjadi daring (online),
antara lain:
1. Koordinasi melalui surat resmi terkait
panduan pemberian layanan penilaian selama masa social distancing kepada
pemohon.
2. Pemenuhan kelengkapan berkas oleh pemohon melalui e-mail.
3. Koordinasi dengan pengguna layanan melalui media WhatsApp.
4. Penggunaan aplikasi Zoom
untuk rapat-rapat internal bersama tim penilai.
5. Komunikasi dengan staf penilaian dengan menggunakan aplikasi
Nadine.
6. Rapat-rapat
pembahasan dengan superintenden dan kantor pusat menggunakan media online.
Kemudian, aktivitas-aktivitas
lainnya masih dapat dilakukan dengan bantuan teknologi digital, di antaranya
kegiatan pendidikan dan pelatihan melalui klc.kemenkeu.go.id.
III. Masukan
Kriteria Pelaksanaan FWS Lingkup KPKNL
Berbagai pola kerja existing pada
saat social distancing dan WFH pada
penjelasan sebelumnya tentu akan berbeda dan belum memadai dengan apa yang
dibutuhkan pada saat FWS. Bagaimana cara membuat implementasi FWS pada sektor
publik dapat berhasil? Beberapa faktor di bawah ini dapat menjadi fator-faktor
yang mendukung ataupun menghalangi kesuksesan implementasi dari FWS (Korunka,
Kubicek & Risak, 2018), yaitu:
1. Kecocokan
antara FWS dan aktivitas kerja;
2. Interaksi
antara rekan kerja dan penggunaan teknologi informasi komunikasi;
3. Kemandirian
dalam melaksanakan tugas;
4. Kecocokan
antara FWS dengan pola kehidupan pribadi;
5. Pengaturan
dan pilihan pelaksanaan pekerjaan oleh pegawai;
6. Pola
pengendalian superintenden bagi pegawai yang melaksanakan FWS;
7. Gaya
kepemimpinan;
8. Budaya
organisasi;
9. Tingkat
kepercayaan;
10. Lingkungan teknis; dan
11. Panduan dan aturan/ketentuan.
Taskin dan Edwards
memberikan pendapat bahwa implementasi dari FWS sebaiknya bukan merupakan uji
coba semata mengingat sudah banyak kasus dilaporkan di mana FWS mengalami
kegagalan (2007). Pembelajaran dari dua unit organisasi pemerintah di Belgia
menunjukkan bahwa faktor-faktor struktural, dukungan strategis, dan perubahan
regulasi memadai merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan dari implementasi
FWS pada unit-unit pemerintah (Taskin & Edwards, 2007).
Terkait faktor-faktor
struktural, maka kecocokan antara karakteristik pekerja, superintenden dan pola
kerja FWS yang baru menjadi penting. Banyaknya pegawai yang berpendidikan dan
bersedia belajar serta pegawai yang mampu bekerja secara bertanggung jawab
tanpa perlu diawasi akan membuat praktik FWS ini menjadi lebih mudah. Lebih
jauh lagi, implementasinya harus dilandasi dengan dukungan strategis, artinya
superintenden harus dapat memaknai FWS sebagai sebuah tujuan penting yang
memberikan keuntungan bagi keseluruhan efektivitas organisasi (Su, Li, &
Curry, 2017; Taskin & Edwards, 2007). Dengan adanya perubahan dalam praktik
kerja, metode baru dalam pengendalian dan komunikasi harus dibuat dan
kepercayaan menjadi semakin penting.
Selanjutnya, sebuah
sistem manajerial berbasis performa akan dibutuhkan dan proses berkolaborasi
harus di re-organisasi (Taskin & Edwards, 2007). Apabila budaya kerja
organisasi tidak koheren dengan norma-norma ini, maka konflik, kekacauan, dan
kegagalan implementasi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu pada saat
menetapkan pola FWS, maka persepsi integral pada unit kerja dan bagaimana
hendak mencapai tujuan menjadi sangat penting.
Di sisi yang lain, ada
beberapa persepsi yang harus ditanamkan dalam memandang FWS, yang dapat
dipergunakan dalam mengimplementasikan FWS sebagai cara baru dalam bekerja
(Korunka, Kubicek & Risak, 2018). Pertama, FWS ini mendukung keahlian yang
dibutuhkan di masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada fasilitas tempat bekerja terus
bertumbuh dan memberikan kesempatan untuk bekerja secara fleksibel, namun juga
berisiko sehingga dapat membuat beberapa pekerja yang tidak mampu mengikuti
perkembangannya menjadi tertinggal (OECD, 2017a).
Untuk diketahui, bahwa
pada tahun 2017, lebih dari separuh populasi manusia usia dewasa di 28 negara
OECD tidak memiliki keahlian mempergunakan TIK atau hanya mampu mengoperasikan
tugas-tugas mendasar, seperti menulis e-mail atau mencari sesuatu di web. Lebih
jauh lagi, keahlian TIK menjadi penting tidak memandang negara dan usianya.
Tidak mengherankan apabila para generasi muda di berbagai negara memiliki
keunggulan dibandingkan orang-orang berusia lanjut dikarenakan mereka telah
mempersiapkan diri lebih baik untuk lingkungan kerja digital (OECD, 2017a).
Kedua, FWS dapat menjadi pola kerja masa depan yang menjanjikan. Pada saat ini, para orang tua bekerja yang memiliki anak usia pra sekolah lebih memilih untuk FWS (OECD, 2017b). Namun demikian, kekhawatiran terkait kualitas pekerjaan terus meningkat mengingat penggunaan FWS dapat menurunkan kualitas hasil pekerjaan disebabkan kemungkinan meningkatnya jam kerja di luar batas yang sewajarnya dan buramnya batas-batas antara kegiatan profesional dan pribadi.
Terakhir, FWS memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan bekerja. Secara umum, tingkat perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dengan menggunakan perangkat TIK diharapkan akan lebih baik dibandingkan bekera di lapangan.
Berdasarkan hal-hal di atas, apabila
dikolaborasikan dengan pola kerja yang saat ini ada di lingkup KPKNL, DJKN,
maka penulis memberikan masukan kriteria-kriteria pelaksanaan FWS sebagai
berikut:
1.
Pekerjaan dengan tingkat pemahaman
pegawai terkait TIK yang memadai.
Penggunaan
TIK yang akan diterapkan selama FWS mengharuskan interaksi pegawai dengan
sesama rekan kerja, pimpinan, dan pihak eskternal. Oleh karena itu, pemahaman
pegawai terhadap TIK ini menjadi penting mengingat setiap jenis pekerjaan
memerlukan penerapan TIK yang berbeda, mulai dari hal mendasar seperti
pembuatan naskah dinas, penggunaan aplikasi pendukung seperti aplikasi
penilaian online, hingga ke beragam
aplikasi lainnya.
2. Pekerjaan yang memiliki kecocokan
dengan aktivitas kerja rutin dan pola kehidupan pribadi.
Pekerjaan yang dilakukan selama FWS akan
dibuktikan dengan output yang
dihasilkan, di mana proses menghasilkannya akan membutuhkan aktivitas kerja
yang berbeda-beda, mulai dari administratif hingga analisis. Terdapat
jenis-jenis pekerjaan yang akan sulit dilakukan di luar lingkungan kerja
kantor, terlebih lagi untuk menghindari gangguan atau hal-hal yang memecah
konsentrasinya apabila pekerjaan tersebut dilakukan di lingkungan rumahnya.
3. Pekerjaan yang dapat dilakukan pola pengendalian atas pelaksanaan tugas pegawai, serta terdapat kemandirian dan kepercayaan terhadap pegawai yang melaksanakan tugas.
FWS membutuhkan pola pengendalian yang memadai terhadap pelaksanaan tugas
pegawai serta pelaporan secara berjenjang ke pimpinan. Kemandirian serta
kepercayaan atas pelaksanaan tugas terindikasi melalui track record pelaksanaan
tugas harian pegawai, yang berarti pegawai diyakini akan mampu menyelesaikan
tugas secara FWS untuk tugas-tugas yang telah menjadi kesehariannya selama
kondisi normal.
4. Pekerjaan yang didukung panduan dan landasan
hukum dari manajemen level atas untuk
perubahan pola pelaksanaan tugas konvensional menjadi daring (online) atau
terdapat pengaturan input pelaksanaan tugas di lingkungan kerja.
Untuk
beberapa pekerjaan konvensional saat ini ada yang dapat dilakukan perubahan
sehingga dapat dilakukan secara daring (online) atau menggunakan perantaraan
pihak lain, misalnya pelaksanaan desk valuation atau survey
lapangan menggunakan perantaraan pemohon untuk penilaian non-tanah bangunan.
Namun
demikian, terdapat beberapa pekerjaan yang apabila dilakukan tidak secara
langsung/tatap muka ataupun dialihkan oleh pihak lain maka kualitas pekerjaan
akan menurun. Untuk tipe-tipe pekerjaan seperti ini maka dapat dilakukan
pengendalian terhadap input
(permohonannya) atau penjadwalan pelaksanaannya sehingga bisa ditentukan
pelaksanaanya hanya pada saat jadwal pegawai berada di kantor. Pengendalian
serta penjadwalan tugas ini dapat diakomodir melalui penerbitan panduan dan
landasan hukum sesuai kebutuhan, hal yang sama telah dilakukan pada masa social
distancing dan WFH, maka seharusnya dapat juga dilakukan pada masa
implementasi FWS.
Meskipun
masih memerlukan kajian lebih lanjut terkait penyesuaian mekanisme dalam aturan
bersifat terobosan, namun perubahan-perubahan peraturan terkait mekanisme kerja
konvensional mencerminkan bahwa sebuah organisasi bersifat dinamis dan terbuka
dengan kemajuan TIK yang sangat luar biasa saat ini. Perubahan di lingkungan
sekitar yang luar biasa tentu harus diimbangi dengan perubahan pola pikir
aparaturnya serta didukung dengan perangkat aturan yang mampu beradaptasi
dengan perubahan tersebut.
Dalam hal persyaratan-persyaratan yang
menyertai kriteria di atas belum dapat dipenuhi, maka penulis berpendapat akan sulit
bagi unit layanan vertikal seperti KPKNL untuk dapat mengimplementasikan FWS
dengan baik dan sesuai harapan.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pola
kerja existing dan hasilnya selama masa social
distancing dan WFH diterapkan oleh KPKNL, serta melihat teori-teori
serta success story implementasi WFH diberbagai tempat, maka
penulis memberikan masukan kriteria-kriteria pelaksanaan FWS sebagai berikut:
1. Pekerjaan
dengan tingkat pemahaman pegawai terkait TIK yang memadai.
Penggunaan
TIK yang akan diterapkan selama FWS mengharuskan interaksi pegawai dengan
sesama rekan kerja, pimpinan, dan pihak eskternal. Oleh karena itu, pemahaman
pegawai terhadap TIK ini menjadi penting mengingat setiap jenis pekerjaan
memerlukan penerapan TIK yang berbeda, mulai dari hal mendasar seperti
pembuatan naskah dinas, penggunaan aplikasi pendukung seperti aplikasi
penilaian online, hingga ke beragam aplikasi lainnya.
2. Pekerjaan
yang memiliki kecocokan dengan aktivitas kerja rutin dan pola kehidupan
pribadi.
Pekerjaan
yang dilakukan selama FWS akan dibuktikan dengan output yang dihasilkan, di mana
proses menghasilkannya akan membutuhkan aktivitas kerja yang berbeda-beda,
mulai dari administratif hingga analisis. Terdapat jenis-jenis pekerjaan yang
akan sulit dilakukan di luar lingkungan kerja kantor, terlebih lagi untuk
menghindari gangguan atau hal-hal yang memecah konsentrasinya apabila pekerjaan
tersebut dilakukan di lingkungan rumahnya.
3. Pekerjaan
yang dapat dilakukan pola pengendalian atas pelaksanaan tugas pegawai, serta
terdapat kemandirian dan kepercayaan terhadap pegawai yang melaksanakan tugas.
Implementasi
FWS membutuhkan pola pengendalian yang memadai terhadap pelaksanaan tugas
pegawai serta pelaporan secara berjenjang ke pimpinan. Kemandirian serta
kepercayaan atas pelaksanaan tugas terindikasi melalui track record pelaksanaan
tugas harian pegawai, yang berarti pegawai diyakini akan mampu menyelesaikan
tugas secara FWS untuk tugas-tugas yang telah menjadi kesehariannya selama
kondisi normal.
4. Pekerjaan
yang didukung panduan dan landasan hukum dari manajemen level atas untuk
perubahan pola pelaksanaan tugas konvensional menjadi daring (online) atau
terdapat pengaturan input pelaksanaan tugas di lingkungan kerja.
Untuk
beberapa pekerjaan konvensional saat ini ada yang dapat dilakukan perubahan
sehingga dapat dilakukan secara daring (online)
atau menggunakan perantaraan pihak lain, misalnya pelaksanaan desk
valuation atau survei lapangan menggunakan perantaraan pemohon untuk
penilaian non-tanah bangunan.
Namun
demikian, terdapat beberapa pekerjaan yang apabila dilakukan tidak secara
langsung/tatap muka ataupun dialihkan oleh pihak lain maka kualitas pekerjaan
akan menurun. Untuk tipe-tipe pekerjaan seperti ini maka dapat dilakukan
pengendalian terhadap input
(permohonannya) atau penjadwalan pelaksanaannya sehingga bisa ditentukan
pelaksanaanya hanya pada saat jadwal pegawai berada di kantor. Pengendalian
serta penjadwalan tugas ini dapat diakomodir melalui penerbitan panduan dan
landasan hukum sesuai kebutuhan, hal yang sama telah dilakukan pada masa social
distancing dan WFH, maka seharusnya dapat juga dilakukan pada masa
implementasi FWS.
Meskipun
masih memerlukan kajian lebih lanjut terkait penyesuaian mekanisme dalam aturan
bersifat terobosan, namun perubahan-perubahan peraturan terkait mekanisme kerja
konvensional mencerminkan bahwa sebuah organisasi bersifat dinamis dan terbuka
dengan kemajuan TIK yang sangat luar biasa saat ini. Perubahan di lingkungan
sekitar yang luar biasa tentu harus diimbangi dengan perubahan pola pikir
aparaturnya serta didukung dengan perangkat aturan yang mampu beradaptasi
dengan perubahan tersebut.
Dalam hal persyaratan-persyaratan yang menyertai kriteria diatas belum dapat dipenuhi, maka penulis berpendapat akan sulit bagi unit layanan vertikal seperti KPKNL untuk dapat mengimplementasikan FWS dengan baik dan sesuai harapan.
Penulis: Meiseno Purnawan – Kepala Seksi
Pelayanan Penilaian KPKNL Gorontalo
Sumber :
ABK, lihat Analisis Beban Kerja
Analisis Beban Kerja, 2020. Analisis Beban Kerja: Seksi
Pelayanan Penilaian, Triwulan I 2020. KPKNL Gorontalo.
Clutterbuck, D., 2003. Managing Work-life Balance: A
guide for HR in achieving organisational and individual change. London: UK
Chartered Institute of Personnel and Development.
DJKN. Lihat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, 2020. Peraturan Direktur
Jenderal Kekayaan Negara Nomor 4/KN/2020 Tentang Panduan Pemberian Layanan
Penilaian Dan Analisis Di Bidang Penilaian Dalam Keadaan Darurat Bencana Wabah
Penyakit Akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Galinsky, E., Bond, J. T., & Hill, E. J., 2004. A Status
Report On Workplace Flexibility: Who Has It? Who Wants It? What Difference Does
It Make?. New York: Families & Work Institute.
Grampp, M., Zobrist, L., 2018. Workplace Transformation In The
Digital Age: Challenges And Success Factors. Deloitte. pp 1-22.
Jackson, K., 2013. Making Space for Others. Dilihat: 10 Mei 2020
(http://www.makingspaceforothers.com/)
Karnowski, S., White, B., 2002. The Role Of Facility Managers In
The Diffusion Of Organizational Telecommuting. Environment and Behavior, vol.
34, pp. 322-334.
KLC. Lihat Kemenkeu Learning Center
Kemenkeu Learning Center, 2020. E-Learning Pengetahuan Dasar
Penilaian.
KM. Lihat Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan, 2016. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
64/PMK.06/2016
----------------------------------, 2020. Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 223/KMK.01/ 2020 Tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat
Bekerja (Flexible Working Space) Di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Korunka, C., Kubicek, B., Risak, M., 2018. New Way of Working in
Public Administration. Austrian Presidency of the Council of the European
Union. Federal Ministry for the Civil Service and Sport DG III – Civil Service
and Administrative Innovation. pp 1-126.
Morgan, L., 2009. The Impact Of Work Life Balance And Family
Friendly Human Resource Policies On Employees Job Satisfaction. London: Oxford
University Press.
OECD. 2017a. OECD employment outlook 2017. Paris: OECD
Publishing. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1787/empl_outlook-2017-en
OECD., 2017b. Going digital: The future of work for women.
Policy brief on the future of work. Paris: OECD Publishing. Diambil dari:
http://www.oecd.org/employment/Going-Digital-the-Future-of-Work-for-Women.pdf
Omondi, A. A., K’Obonyo, P., 2018. Flexible Work Schedules: A Critical Review Of Literature ©Strategic Journals Flexible Work Schedules: A Critical Review Of Literature. Vol. 5, Iss. 4, pp 2069 – 2086.
Taskin, L., & Edwards, P., 2007. The Possibilities And Limits Of Telework In A Bureaucratic Environment: Lessons From The Public Sector. New Technology, Work, and Employment, vol. 22, pp. 195–207.