Rapat Kerja Nasional DJKN Tahun 2018 di Provinsi Lampung
dimulai pada Rabu, 18 Juli 2018. Seusai agenda rapat pada siang hari yang melelahkan, pada sesi malam nya agenda yang dilaksanakan
yaitu sambutan dari tuan rumah. Acara yang dikemas dalam bentuk perpaduan local
wisdom dan seni itu berlangsung santai. Kepala Kanwil DJKN Lampung dan
Bengkulu, Ekka S. Sukadana menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang telah
diberikan kepada Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu untuk menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Rakernas Tahun 2018. “Jajaran DJKN Lampung dan Bengkulu telah
berupaya dengan sugguh-sungguh dan maksimal untuk membantu Panitia Pusat dalam
rangka menyukseskan Rakernas DJKN 2018 di Bandar Lampung ini,” ujar Ekka dalam
sambutannya.
Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dengan budayawan
Lampung yang dimoderatori oleh Kepala KPKNL Ternate, Arif Setyawantika. Dalam
bincang santai tersebut, Arif mengenalkan Tadjuddin Nur, budayawan Lampung yang
bergelar Suttan Sang Bimojagat Rasobayo. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua
II Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) ini menyambut kedatangan Direktur
Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata, Seketaris Ditjen Kekayaan Negara,
Dodi Iskandar, Kepala Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu, serta para pejabat DJKN
seluruh Indonesia yang menghadiri bincang tersebut.
Dijelaskannya, bahwa Provinsi Lampung merupakan pecahan dari
wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel). Pada tahun 1964, Provinsi Lampung
lahir memiliki 4 kabupaten dan 1 kotamadya. Berbeda dengan dahulu, kini Provisi
Lampung mempunyai 15 Kota/Kabupaten.
Masyarakat Lampung terdiri dari dua corak masyarakat, yaitu
masyarakat Pepadun dan Saibatin. Kedua corak masyarakat adat Lampung inilah
yang memprakarsai semboyan provinsi Lampung, yaitu Sang Bumi Ruwa Jurai (Se-Bumi
Dua Cabang). Keduanya mempunyai ragam budaya yang tidak serupa, misalnya dalam hal bahasa, pakaian adat, dan sistem penentuan garis kepala adat. Meskipun
demikian, Tadjuddin mengatakan semua perbedaan yang ada merupakan bagian dari
aset Negara yang harus selalu dijaga.
“Seperti peribahasa Lampung , dikedow
biduk teninding, biduk tenimbo. Dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung”, jelasnya.
Saat ini, provinsi Lampung terdiri dari banyak suku dan ras.
Hal ini tidak terlepas dari Lampung yang telah menjadi tanah transmigrasi sejak
lama. Penduduk Lampung sangat menyambut pendatang dengan tangan terbuka.
Filosofinya, apabila suatu bumi ingin maju, maka harus menerima pendatang di
luar dirinya.
Penjelasan Tadjuddin Nur mendapat sambutan positif dari para peserta. Kepala
Kanwil DJKN Papua, Papua Barat dan Maluku, A. Y. Dhaniarto menanyakan mengenai arti
dari beragam motif dan model tapis Lampung (kain khas Lampung), misalnya motif
dan model yang digunakan dalam kopiah khas Lampung. Tadjuddin Nur menjelaskan
bahwa terdapat banyak motif tapis lampung yang sarat filosofi dan makna. Pucuk
rebung (pucuk bambu) misalnya, melambangkan hubungan kekeluargaan yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Ia mencontohkan lagi, motif burung
berarti kebebasan. Maksudnya, bebas di dalam menentukan pilihan asalakan tidak
bertentangan dengan adat istiadat. Direktur Penilaian, Meirizal Nur menanyakan
tentang bahasa khas suku Lampung yang tidak seperti bahasa Melayu dan sulit
dipahami orang awam. Tadjuddin Nur menjelaskan bahwa Lampung termasuk ke dalam
Ras Proto Malayan (Melayu Tua), yang dari segi bahasa memiliki banyak kesamaan
dengan suku batak, bugis, dan Toraja. Hal ini berbeda dengan suku Aceh, Padang,
dan Palembang.
Kepala Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu, Ekka S. Sukadana
juga mempunyai pertanyaan untuk diajukan kepada Tadjuddin Nur. Pria yang telah
berada di Lampung sejak Maret 2017 tersebut menanyakan arti Tabik Puun yang
biasa digunakan oleh di Lampung ketika memulai suatu acara. Tadjuddin Nur
menjelaskan bahwa Tabik Pun bermakna salam penghormatan kepada para tamu, sama seperti horas, kulonuwun, dan
sampurasun yang juga lazim digunakan
di berbagai daerah. Hal ini merupakan bentuk penghargaan kepada para tamu yang
telah hadir.
Acara dilanjutkan dengan suguhan musik tradisional Lampung
dengan menggunakan Cetik, yakni alat musik pukul yang terbuat dari bambu dan dilanjutkan tarian khas Lampung, tari Bedana. Di
akhir acara, para penari mengajak peserta untuk menari bersama. (Teks:
Robby/Teri. Foto: Adruriawan)