Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai
Robby Hendrian
Jum'at, 20 Juli 2018   |   2329 kali

Rapat Kerja Nasional DJKN Tahun 2018 di Provinsi Lampung dimulai pada Rabu, 18 Juli 2018. Seusai agenda rapat pada siang hari yang melelahkan, pada sesi malam nya agenda yang dilaksanakan yaitu sambutan dari tuan rumah. Acara yang dikemas dalam bentuk perpaduan local wisdom dan seni itu berlangsung santai. Kepala Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu, Ekka S. Sukadana menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Rakernas Tahun 2018. “Jajaran DJKN Lampung dan Bengkulu telah berupaya dengan sugguh-sungguh dan maksimal untuk membantu Panitia Pusat dalam rangka menyukseskan Rakernas DJKN 2018 di Bandar Lampung ini,” ujar Ekka dalam sambutannya.

Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dengan budayawan Lampung yang dimoderatori oleh Kepala KPKNL Ternate, Arif Setyawantika. Dalam bincang santai tersebut, Arif mengenalkan Tadjuddin Nur, budayawan Lampung yang bergelar Suttan Sang Bimojagat Rasobayo. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua II Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) ini menyambut kedatangan Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata, Seketaris Ditjen Kekayaan Negara, Dodi Iskandar, Kepala Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu, serta para pejabat DJKN seluruh Indonesia yang menghadiri bincang tersebut.  

Dijelaskannya, bahwa Provinsi Lampung merupakan pecahan dari wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel). Pada tahun 1964, Provinsi Lampung lahir memiliki 4 kabupaten dan 1 kotamadya. Berbeda dengan dahulu, kini Provisi Lampung mempunyai 15 Kota/Kabupaten.

Masyarakat Lampung terdiri dari dua corak masyarakat, yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Kedua corak masyarakat adat Lampung inilah yang memprakarsai semboyan provinsi Lampung, yaitu Sang Bumi Ruwa Jurai (Se-Bumi Dua Cabang). Keduanya mempunyai ragam budaya yang tidak serupa, misalnya dalam hal bahasa, pakaian adat, dan sistem penentuan garis kepala adat. Meskipun demikian, Tadjuddin mengatakan semua perbedaan yang ada merupakan bagian dari aset Negara  yang harus selalu dijaga. “Seperti peribahasa Lampung , dikedow biduk teninding, biduk tenimbo. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, jelasnya.

Saat ini, provinsi Lampung terdiri dari banyak suku dan ras. Hal ini tidak terlepas dari Lampung yang telah menjadi tanah transmigrasi sejak lama. Penduduk Lampung sangat menyambut pendatang dengan tangan terbuka. Filosofinya, apabila suatu bumi ingin maju, maka harus menerima pendatang di luar dirinya.

Penjelasan Tadjuddin Nur mendapat  sambutan positif dari para peserta. Kepala Kanwil DJKN Papua, Papua Barat dan Maluku, A. Y. Dhaniarto menanyakan mengenai arti dari beragam motif dan model tapis Lampung (kain khas Lampung), misalnya motif dan model yang digunakan dalam kopiah khas Lampung. Tadjuddin Nur menjelaskan bahwa terdapat banyak motif tapis lampung yang sarat filosofi dan makna. Pucuk rebung (pucuk bambu) misalnya, melambangkan hubungan kekeluargaan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Ia mencontohkan lagi, motif burung berarti kebebasan. Maksudnya, bebas di dalam menentukan pilihan asalakan tidak bertentangan dengan adat istiadat. Direktur Penilaian, Meirizal Nur menanyakan tentang bahasa khas suku Lampung yang tidak seperti bahasa Melayu dan sulit dipahami orang awam. Tadjuddin Nur menjelaskan bahwa Lampung termasuk ke dalam Ras Proto Malayan (Melayu Tua), yang dari segi bahasa memiliki banyak kesamaan dengan suku batak, bugis, dan Toraja. Hal ini berbeda dengan suku Aceh, Padang, dan Palembang.

Kepala Kanwil DJKN Lampung dan Bengkulu, Ekka S. Sukadana juga mempunyai pertanyaan untuk diajukan kepada Tadjuddin Nur. Pria yang telah berada di Lampung sejak Maret 2017 tersebut menanyakan arti Tabik Puun yang biasa digunakan oleh di Lampung ketika memulai suatu acara. Tadjuddin Nur menjelaskan bahwa Tabik Pun bermakna salam penghormatan kepada para tamu, sama seperti horas, kulonuwun, dan sampurasun yang juga lazim digunakan di berbagai daerah. Hal ini merupakan bentuk penghargaan kepada para tamu yang telah hadir.

Acara dilanjutkan dengan suguhan musik tradisional Lampung dengan menggunakan Cetik, yakni alat musik pukul yang terbuat dari bambu dan dilanjutkan tarian khas Lampung, tari Bedana. Di akhir acara, para penari mengajak peserta untuk menari bersama. (Teks: Robby/Teri. Foto: Adruriawan)

Foto Terkait Kilas Peristiwa
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini