Perubahan iklim telah
menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia saat ini, dan
kota-kota pesisir seperti Jakarta sangat rentan terhadap dampaknya. Sebagai ibu
kota Indonesia yang terletak di pesisir pantai, Jakarta menghadapi ancaman yang
nyata dari efek perubahan iklim. Kota Jakarta terancam tenggelam akibat
kombinasi dari peningkatan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah.
Diperkirakan sekitar seperempat wilayah Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050.
Dengan tingkat kerentanannya yang semakin meningkat, masalah ini menjadi
perhatian utama pemerintah, masyarakat internasional, dan para ahli yang
bekerja sama untuk mencari solusi dan strategi adaptasi yang efektif. Salah
satu upaya mitigasi risiko untuk mengurangi beban Jakarta adalah dengan
memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Nusantara.
Dalam rencana induk
pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tercantum dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, disebutkan bahwa prinsip dasar
pengembangan Kawasan IKN adalah pembangunan yang berorientasi pada alam,
teknologi, dan keberlanjutan lingkungan. Pembangunan IKN juga berdasarkan pada
mitigasi risiiko akibat perubahan iklim dan dampak urbanisasi seperti bencana
banjir dan kekeringan. Salah satu prinsip dasar pengembangan Kawasan IKN adalah
pengembangan berdasarkan konsep kota spons (sponge city). Konsep sponge
city yang diterapkan dalam pengembangan Kawasan IKN bertujuan untuk
mengembalikan siklus alami air yang berubah karena perubahan tata guna lahan
akibat pembangunan.
Konsep sponge city
diperkenalkan pada tahun 2000 oleh arsitek Tiongkok yang bernama Kongjian
Yu. Sponge city adalah konsep pengelolaan air perkotaan yang inovatif
dan berkelanjutan. Ide dasarnya adalah mengubah kota menjadi seperti spons yang
mampu menyerap, menyimpan, dan mengelola air hujan secara efektif. Konsep ini
menjadi sangat penting di era perubahan iklim karena meningkatnya risiko banjir
dan kekurangan air bersih. Sponge City bertujuan untuk mengurangi risiko
banjir, meningkatkan kualitas air, dan mempromosikan penggunaan sumber daya air
yang bijaksana dalam lingkungan perkotaan.
Sponge city memiliki beberapa komponen utama yang mencakup
infrastruktur hijau seperti taman kota, atap hijau, dan lahan basah. Selain
itu, peningkatan sistem drainase perkotaan juga diperlukan dengan penggunaan
kolam retensi, jaringan pipa, dan penggunaan teknologi canggih untuk
mengumpulkan, menyaring, dan memanfaatkan air hujan. Dalam pengembangan sponge
city, penting untuk mempertimbangkan faktor ekologi, estetika, dan
keberlanjutan dalam mengintegrasikan solusi infrastruktur yang ramah
lingkungan. Beberapa kota yang telah dirancang dan beradaptasi dengan sebagian
infrastruktur sebagai sponge city misalnya, di Tiongkok, kota-kota
seperti Baicheng, Qian’an, Jiann, Xixian, Shanghai, dan Shenzhen. Negara Tiongkok
telah menetapkan tujuan untuk memiliki area-area perkotaan yang mampu menyerap sebagian
besar air hujan pada tahun 2030. Di luar Tiongkok, ada juga beberapa contoh sponge
city. Misalnya, Auckland sebagai kota paling “spongy” dari tujuh
kota global lainnya, termasuk Nairobi, Singapura, Mumbai, New York City,
Shanghai dan London. Philadelphia adalah salah satu kota pertama di AS yang
mengatasi masalah manajemen air perkotaan dengan mengambil langkah-langkah
signifikan sesuai konsep sponge city.
Konsep sponge city
yang mengubah kota layaknya spons yang mampu menahan air hujan diterapkan
dalam pengembangan Kawasan IKN. Pembangunan Kawasan IKN yang berdasarkan konsep
sponge city diwujudkan dalam perencanaan kawasan yang memiliki ruang
terbuka hijau dan biru yang tersebar luas dan tersambung dalam satu-kesatuan
tata hidrologis. Desain fasilitas perkotaan yang mampu menahan dan menyerapkan
air hujan dengan cepat melalui pembangunan atap hijau pada bangunan gedung,
pembangunan jalan dan trotoar berpori, dan pembangunan sistem bioretensi. Prinsip
penerapan sponge city di wilayah IKN adalah mengurangi limpasan
permukaan, memaksimalkan peresapan air hujan, dan pemanenan air hujan. Pengembangan
kawasan IKN sebagai sponge city memiliki tiga tujuan yaitu:
1. Kota Nusantara (Archipelago city)
Integrasi daerah detensi (koridor
hijau dan biru) untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menunjang
ketersediaan air bersih. Ruang terbuka hijau dan badan air menjadi fondasi
struktur pembentuk kota.
2. Kota Penyerap (Absorbent city)
Limpasan air hujan yang
mengalir akan diarahkan untuk dikumpulkan di taman kota. Taman kota berfungsi
sebagai ruang terbuka hijau yang dinamis dan bersifat seperti spons yang
menyerap air limpasan. Koridor hijau dan biru berfungsi sebagai penangkap
limpasan kota dan menjadi koridor fauna sekunder.
3. Kota Terpadu (Integrated city)
Elemen-elemen fasilitas
perkotaan di skala blok diintegrasikan sebagai elemen yang mampu mengumpulkan
air hujan dan meningkatkan daya serap tanah sehingga dapat berkontribusi dalam
perbaikan lingkungan habitat.
Pengembangan kawasan
IKN sebagai sponge city tidak dapat dilepaskan dari wilayah sekitar IKN.
Keberhasilan pengembangan kawasan IKN sebagai kota berkelanjutan tergantung
dari dukungan wilayah sekitar. Sehingga penerapan sponge city perlu
kerja sama yang harmonis dengan wilayah mitra sekitar. Secara administratif,
wilayah IKN terletak di antara dua kabupaten, yaitu Kabupaten Penajam Paser
Utara (Kecamatan Penajam dan Sepaku) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan
Loa Kulu, Loa Janan, Muara Jawa,dan Samboja). Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU)
sebagai salah satu yang berbatasan dengan Wilayah IKN telah memiliki peraturan
mengenai rencana tata ruang wilayah. Peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 3 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013-2033. Dalam peraturan rencana
tata ruang tersebut, Kecamatan Sepaku merupakan wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan taman hutan raya dan kawasan hutan produksi. Selain itu, Kecamatan
Sepaku juga akan dikembangkan sebagai pusat kawasan industri berbasis sumber
daya alam dan kawasan pariwisata alam. Sehingga secara tata ruang wilayah,
daerah di sekitar IKN telah mendukung pengembangan kawasan IKN sebagai sponge
city.
Meskipun sponge
city menawarkan banyak manfaat, hanya saja penerapannya dihadapkan pada
beberapa tantangan, seperti biaya investasi awal yang tinggi dan pengelolaan
jangka panjang yang kompleks. Selain itu, tantangan lainnya termasuk
ketidakpastian mengenai kondisi hidrologi masa depan yang terkait dengan
proyeksi perubahan iklim, yang mempersulit perencanaan perkotaan dan merancang
infrastruktur yang akan sesuai dengan tujuan. Namun demikian, dengan
meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan dampaknya terhadap kota, konsep
sponge city diperkirakan akan terus berkembang dan menjadi solusi yang
lebih umum di seluruh dunia. Dengan inovasi terus-menerus dalam teknologi dan
perencanaan perkotaan, harapannya lebih banyak kota akan mengadopsi konsep sponge
city untuk mencapai lingkungan perkotaan yang lebih aman, bersih, dan
berkelanjutan. Sehingga visi untuk mewujudkan pembangunan Ibu Kota Nusantara
sebagai kota berkelanjutan di dunia dapat tercapai melalui konsep sponge
city.
Sumber:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 3
Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara
Tahun 2013-2033.
3. https://tomorrow.city/a/sponge-city, diakses pada tanggal
13 September 2023.
4. https://www.ikn.go.id/, diakses pada tanggal 13 September
2023.
5. https://www.globalcitizen.org/en/content/jakarta-sinking-climate-change-nashin-mahtani/,
diakses pada tanggal 13 September 2023.
6. https://www.bbc.com/future/article/20220823-how-auckland-worlds-most-spongy-city-tackles-floods,
diakses pada tanggal 13 September 2023.
7. https://www.mdpi.com/2073-4441/12/10/2788, diakses pada
tanggal 13 September 2023.