Oleh: Rusmawati Damarsari
Idul Fitri Tafsir Budaya Baru.
“Wah, Idul Fitri sebentar lagi, bagaimana dengan baju baru!?”
“Duh, kok mukena saya sudah usang, harus beli yang baru”.
“Belum lagi THR, buat ponakan, sanak keluarga di Kampung, cukup
gak ya?”
“Kapan mudik, kapan berangkat, dapat cuti kah?”.
Setidaknya itulah tafsir budaya masyarakat kita tentang Idul
Fitri. Sebuah peran semangat diri. Hanya, cukupkah semua itu dalam data Simbol
baru? Apakah semua yang dikenakan baru ini sebagai perwujudan manifestasi diri
dengan Sang Maha Semesta? Dan bagaimana esensi Ramadhan itu sendiri?
Sedikit-sedikit, beberapa pertanyaan diri di atas, terkait
fenomena budaya Ramadhan sedang mencoba menemukan puzzle, apa sesungguhnya arti
Ramadhan dengan Idul Fitri. Apa sebenarnya esensi Ramadhan, kenapa harus
berakhir menjadi Fitri (Suci).
Lalu, kenapa dalam tafsir budaya menjadi Lebaran, dan bermakna
melebarkan, meleburkan diri? Dan kenapa harus dibarengi dengan penyucian diri
dengan Zakat Fitrah dsb?
Sedikit benak ini mencoba menganalisa, dan ternyata Idul Fitri
adalah rangkaian pemahaman, aksi dan amal Sholeh Puasa sedari awal hingga Akhir
Ramadhan.
Memang, sekilas dulu, penulis pernah mengutarakan tentang Ramadhan
dan Lailatul Qadar, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12825/Memahami-Makna-Iqra-Lailatul-Qadar-Membangun-Semangat-Kesetaraan.html
di laman web DJKN ini. Dan tulisan tersebut sebenarnya terdapat rangkaian
korelasi dalam melengkapi tulisan yang dulu, dimana Ramadhan sedari awal akan
menemukan momentum Lailatul Qadar.
Dan semoga, tulisan kali ini, menemukan pula rangkaian awal menuju
akhir makna KESUCIAN, FITRI.
Ramadhan dalam perspektif membersihkan Diri
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ ».
Dari Abu Dzar , ia berkata, Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa
sallam— bersabda kepadaku: “Takwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu
berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan Kebaikan yang menghapusnya, dan
jadilah Mahluk (KHAALIQ) dengan Mahluk (buatan) yang baik.” (HR At-Tirmidzi).
Jelas, pencarian penulis menemukan momentum, bahwa Pahala,
kebaikan juga dosa, kejelekan selalu terkait dengan KHAA LIQ artinya ciptaan, jasad,
diri, yang diterjemahkan sekarang disebut AKHLAQ.
Lalu, bagaimana arti RAMADHAN dengan penyucian DIRI? Di sinilah
terdapat benang merah.
Ramadhan dalam arti gramatikal Arab, secara etimologi berasal dari
kata Romadho Yarmudhu, berarti membakar. Kaitan dengan Ramadhan ini, berarti
membakar jasad, dari hambatan (dosa) yang eksisting dalam jasad.
Dan, karena inilah, Mushaf menyebutkan dalam Surat Al Baqoroh,
ayat 183.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Dimana Kanjeng Rosul menyarankan saat Bulan Membakar Dosa, Ramadhan
tersebut dengan melakukan Shaum, Sham, atau Puasa, Upavasa, dengan tujuan agar
Jasad bersih dari dosa, virus, yang nemplok dalam darah atau Jasad agar bersih
dan suci.
Lalu, apa arti Shaum, Sham atau Puasa itu sendiri dalam tradisi
sebenarnya?
Ternyata tidak dalam makna menahan, tetapi dalam makna hening,
menTulikan diri, Karena dalam istilah lain, Shaum, Sham itu diambil dari kata
Shumm, bermakna tuli, hening, diam.
Namun Shaum, Sham puasa ini saat hening dan diam bukan berarti
stuck, tidak bergerak, tetapi Menngamati, mengendalikan, mengontrol, memanage
diri, Nafs jiwa agar sinkron dan harmoni dengan Jasad.
Mengamati, bagaimana rasa lapar dan haus, Jasad tidak diberi
asupan? Lalu dikontrol, dikendalikan hingga berbuka, dan amati pula, bagaimana
bila Air minum masuk ke tubuh? Bagaimana tubuh bekerja? Bagaimana H2O menjadi
booster metabolisme tubuh? Lalu, bagaimana bila karbohidrat, Lemak, atau
Protein masuk? Bagaimana reaksi lambung? Bagaimana Gerakan usus? Bagaimana
pangkreas dan insulin bekerja? Bagaimana liver melembutkan glucose atau lemak
menjadi energi?
Semua itu diperoleh dengan pengamatan dalam diri. Melakukan proses
hening, diam, bagaimana tubuh diamati dan bekerja saat Shaum, Sham, puasa.
Lalu, penulis membandingkan, bagaimana bila makna tersebut
menahan, dan tidak terbayang konsep menahan lapar dan haus, karena setelah
dilihat perilaku puasa saat berbuka sudah tidak terkontrol, semua makanan dan
minuman masuk tidak terkendali.
Dari Ramadhan Menuju Jasad Yang Fitri
Tidak mudah memang menjalani Ramadhan yang benar tersebut, karena
sedari awal, perintah untuk Shaum, Sham, Puasa hanya diperuntukan untuk orang
Beriman, artinya orang-orang yang meyakini makna Kesadaran atas pencarian dari
dalam diri. Sebuah proses pencarian kebenaran mandiri, dan hal ini butuh waktu
untuk memperolehnya.
Dari fenomena pencarian jati diri inilah, penulis tergugah membuka
cakrawala tentang Ramadhan dengan tema di atas.
Adapun istilah kata MANIFESTASI yang penulis unggah tersebut
merupakan perwujudan suatu pernyataan perasaan atau pendapat; perwujudan atau
bentuk dari sesuatu yang tidak kelihatan. Atau sebuah bentuk proyeksi hal dari
dunia pengalaman metafisik ke dunia fisik.
Bisa juga penulis memaknai sebuah cara pandang atau cara berpikir
yang membuat kita menganggap suatu hal yang berada di dunia pikir akan muncul
di dunia nyata. Secara sederhana, adalah suatu perwujudan emosi dari alam pikir
menuju dunia nyata.
Karena itulah, judul tulisan di atas sengaja dibuat Ramadhan
Hingga Idul Fitri Sebuah Manifestasi Diri tentang Alam Semesta adalah
perwujudan pengalaman diri dimana pemahaman Ramadhan saat ini mengalami
pergeseran tafsir yang keluar dari makna sesungguhnya.
Padahal, dalam beberapa referensi mushaf dan hadits dalam ajaran
Islam sudah menjelaskan secara detail bagaimana Ramadhan menuju FITRI adalah
rangkaian dari awal hingga akhir Ramadhan untuk memperbaiki diri, membersihkan
jasad agar akhirnya pada 1 SYAWAL diharapkan menjadi bersih, suci.
Namun, kenyataan aktifitas orang-orang melakukan Puasa yang
harusnya banyak melakukan Move In, Instropeksi Jasad, Evaluasi Diri atau
setidaknya beramal kebaikan dengan ikhlas (NETRAL), atau Shaum, Sham melakukan
proses hening menjadi terganggu, sehingga ruang melakukan resetting program
dalam JASAD menjadi terganggu.
Walhasil, tanpa disadari, saat Ramadhan hingga IDUL FITRI ini bila
dilakukan dengan IKHLAS, atau move in ke dalam diri dengan seksama, maka
alangkah besar takjub diri ini dan mensyukuri karunia Sang Maha Pencipta, Allah
SWT, dimana perjalanan diri ini ternyata sebuah DIALEKTIKA alam semesta.
Fenomena Ramadhan yang sudah diprogram (KUTIBA) oleh Sang Maha
Semesta, dimana terjadi mekanisme evolusi bumi kepada RHA (matahari), dimana
juga rambatan cahaya matahari menjadi MEDIA energy spektrum nya agar
dimanfaatkan diri untuk membersihkan JASAD dari hambatan dengan melakukan
Shaum, Sham, puasa adalah sesuatu fenomena yang mesti dibuktikan sendiri.
Karena itu, perjalanan Awal Ramadhan hingga Menjadi FITRI adalah
manifestasi diri mensyukuri anugerah Sang Maha Menjadikan tentang Alam Semesta
ini.
Selamat Hari Raya Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin. 1 SYAWAL 1444
H. Semoga 1 SYAWAL ini benar-benar menjadi AWAL diri menjalani kehidupan dalam
keadaan SUCI.
WallohualamBishawab
Penulis: Rusmawati Damarsari, Kepala Bidang Lelang Kanwil DJKN
Kalimantan Timur dan Utara