Inspirasi Puisi Kahlil Gibran
Teringat
sebuat momen empat tahun yang lalu. Saat itu, Penulis sedang berolahraga sore
di Taman, saat melintas Penulis melihat seorang
ibu memarahi anak sekitaran
usia 7 (tujuh) tahun.
“Pengen apa nak?
Sedari tadi merengek!!!,” teriak sang Ibu.
Balik
putaran kedua, Penulis masih melewati Ibu dan Anak itu. Agak berat, “harus
nurut apa kata Ibu, kalau kata ibu tidak boleh ya sudah, tidak boleh!!!,” terdengar jelas ucapan itu.
Sementara
Sang Anak itu tetap tertunduk sambil segukan nangis, sambil terbata,
“Pengen Es Cream itu Ibu,!?” jawab Sang Anak itu.
Melewati
jalan itu, penulis merasa seperti iba hati, dan menjadi terngiang,
“apakah
Saya juga sama di rumah begitu? Atau bahkan kita hanya peduli apa yang kita
inginkan degan memaksakan kepada anak?,”
gumam sendiri sambil lengang Jogging.
Olahraga sore hari di taman itu jadi tidak fokus,
perasaan menjadi terngiang peristiwa tadi.
“Ngeeng.....” selesai olahraga sore, lalu Penulis
pulang, berkendara menuju rumah. Namun tetap saja masih terekam suasana
sang Ibu dan Anak di taman
tadi.
“Semoga
dengan bekerja, membuka surat-surat disposisi, siapa tahu dapat mendistrack
pikiran tadi,” pikir penulis dalam
hati sambil membuka laptop. Dan iseng sesekali membuka laman Google searching kata Sang Anak, dan saat
membuka laman internet tersebut , penulis terhentak dengan Puisi Sang Anak Kahlil Ghibran.
Tentu saja menguatkan pikiran penulis, bahwa perilaku Sang Ibu tadi benar-benar jauh dari
makna kehadiran seorang
anak.
Penulis terus ulangi membaca pusisi Sang Anak Karya Kahlil Ghibran ini,
“Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak kehidupan yang rindu pada dirinya
sendiri.
Mereka lahir lewat dirimu,
tetapi bukan darimu.
Mereka tinggal denganmu,
tetapi mereka bukan milikmu.
Kau dapat memberikan kasih
sayang, tetapi tidak pikiranmu. Karena mereka mempunyai pemikiran
sendiri.
Kau dapat memberikan tempat
tinggal bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya.
Karena jiwa mereka adalah penghuni
rumah masa depan.
Rumah yang tidak dapat
kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Kau boleh berusaha keras untuk
menyerupai mereka, tetapi jangan mencoba untuk
membuat mereka menyerupaimu.
Karena kehidupan tidak berjalan mundur,
dan juga tidak tinggal di masa lalu.
Kau adalah busur dan mereka adalah anak panah yang melesat ke depan. Sang Pemanah telah membidik sasaran keabadian.
Dia merentangkanmu dengan
kekuatanNya, hingga anak panah melesat cepat dan jauh.
Gembiralah dengan tarikan tangan Sang Pemanah,
karena Ia mencintai anak-anak panah yang
terbang, dan Ia juga
menyukai busur yang stabil.”
Bergetar jiwa dan jasad ini, membacanya seolah membuka
tabir, anak adalah titipan sebagai amanat Sang Maha Semesta, dan dia bukanlah
asset atau model lingkaran
“kehidupan” yang harus diulang dari kehidupan orang tuanya.
Berdamai Dengan
Diri
Setelah berkali-kali membaca puisi
tersebut, dan berupaya menyadari, merefleksi
dengan move in, jiwa ini mulai
menyadari, pentingnya peran Ibu mengambil hikmah dan memeraktekan diri seperti ucapan Kahlil Ghibran.
“Lalu, bagaimana peran ibu sekarang bila
dikaitkan dengan Puisi tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus
menghantui benak pemikiran penulis, hampir di
setiap waktu. Frekuensi fenomena
di taman, benar-benar membekas jiwa ini, sehingga
jiwa ini harus berdamai dengan diri.
Saya menjadi penasaran, “adakah
hubungannya sang anak dengan tanggung jawab terhadap amanat orang tua
dan kesemestaan?” Lagi-lagi penulis bertanya.
Saat itu lah, penulis berdiskusi dengan
seorang rekan yang juga seorang Kyai yang aktif di MUI (Majelis
Ulama Indonesia) Pusat. Kebetulan sewaktu masih di Kantor Lapangan Banteng, sesekali berdiskusi di MUI depan tugu pahlawan
terkait tentang Sang Anak
ini.
Rekan itu lalu mendeskripsikan peran Ibu
dan Bapak sangat penting sebagai model keseimbangan
agar anak-anak mampu menjadi penerus kesadaran kesemestaan. “Kenapa Anak harus diajarkan tentang keyakinan
dan kesemestaan dalam arti kesadaran?,” tanya Penulis ke sang Kyai.
“Lho,
mbak gak tau kah, kenapa
anak itu sangat penting
posisinya seperti ungkapan
Sang Ghibran yang mbak tanyakan tadi?,” ucap Sang Kyai.
Lalu sang Kyai menyebutkan satu ayat dalam Mushaf, QS: Al –A’araf ayat 172;
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan).
“Ayat
ini luar biasa Mbak, dan kalau Mbak
mengerti hermaneutika (logika ilmu tafsir), pasti berlinang air mata,” ucap sang Kyai dengan ingatan penulis yang masih kuat terngiang
dibenak ini.
Lalu Sang Kyai menambahkan,
“Mbak, kalau dalam Stilistika bahasa Arab, saat ada pertanyaan ayat tersebut,
maka sebenarnya Rabb menguji kepada Sang JIWA yang mau masuk ke jasad-jasad (sebagai persaksian, Syahadat,
jiwa-jiwa anak tersebut) untuk “memilih” inang
sang ibu yang dapat membimbing untuk bersaksi,” tukasnya panjang.
Lalu penulis bertanya,
“jadi Sang Jiwa anak
saat ditanya apakah kamu bersaksi
bahwa Saya Rabb kamu, Balaa
(benar bahwa Anda Rabb kami) lalu
diperbolehkan lah Sang Jiwa masuk jasad inang Ibu Mereka, dan sang anak tersebut sangat jelas di sini memilih
Orangtuanya agar bisa mengajarkan Syahadat, Nyakseni, atau Nyaksian
nanti di alam dunia?’” tanya penulis panjang.
“Benar seperti itu, dimana Sang Anak
pada alam lauh mahfuz itu memilih orang tuanya, agar orang
tua itu mengajarkan Syahadat kepada Rabb,
Allah Swt.,” tambah Sang Kyai.
Bergetar lah jiwa dan jasad ini, bercampur lemas, seakan-akan adrenalin naik, sekaligus
terharu, mendengar penjelasan Sang Kyai. Tidak terasa linangan air mata menetes jatuh
di pipi ini.
“Ya Ampun nak, kalian ternyata
memilih ibu jadi inang kalian, dan ternyata kalian ingin diajarkan kebersaksian
tentang Rabb, Allah SWT dan
Kesemestaan,” gumam penulis dalam hati.
Dari National
Geographic Hingga Kesadaran
“in Me”.
Sesekali
terendap beberapa kegalauan dan pertanyaan, pertanyan hampir 4 tahun lalu, terjawab saat penulis iseng-iseng
menonton National Geographic tentang The
Story of God Kreasi Morgan Freeman,
yang benar-benar “mencari” tuhan dengan berbagai jelajah perjalanan yang
sangat jauh dan menyita waktu.
Hingga pada satu tema, Morgan Freeman
berkesimpulan, “The God in Me”.
Wow,
bagi Penulis, sepenggal kata “WA NAHNU INNAHU AQROBU MIN HABLIL WARID”
(QS: Qaaf ayat 16) bahwasannya Rabb lebih dekat dari urat nadi
adalah sesuatu yang “In Me”. Diri Nya
ada dalam Diri ini. Karena itu lah, sejatinya Penulis berpikir bahwa korelasi
ayat dalam Al – A’raf : 172 di atas, adalah tema “perjanjian” dengan Surat Al
Qaaf: 16 dan Perjalanan Mencari Tuhannya Morgan Freeman, apakah kita sebagai
Ibu atau orang tua mampu mengajarkan Syahadat kepada Sang Anak karena anak lah
yang memilih orang tua sebagai inangnya untuk hidup berkembang di dunia ini.
Dari
sini, Penulis yang juga orangtua dari anak-anak terharu dan berterima kasih
kepada mereka telah “memilih” diri ini agar dapat membimbing dan mendidik mereka.
Saat Penulis
pegang dan peluk mereka, penulis menyadari, merekalah nanti yang akan
menggantikan tugas para orang tuanya menebar kebaikan
di muka bumi.
Karena
itu, peran Ibu, selain sebagai inang sang anak, juga media dialektika
kesemestaan sang anak di alam dunia ini. Blue
print kesadaran kesemestaan semestinya bertransformasi dalam kandungan
dimana tentakel-tentakel blue print
kesadaran terkoneksi dengan para bayi.
“Never last but not least, tidak ada kata
terlambat,” semangat Penulis.
“Transformasi
kesadaran masih panjang dan banyak
waktu, dan saat inilah peran ibu mendapatkan momen yang pas menitikan nilai- nilai
kesadaran dan kesemestaan,” tambah penulis dalam hati.
Tidak
perlu seperti Morgan Freeman yang harus menjelajah jauh mencari tentang
ketuhanan. Justru dalam diri
inilah, sang ibu, sebagai inang harus mengcopy
paste keyakinan dan kesadaran kepada ankak-anak.
Perayaan Hari Ibu Untuk Anak-Anak
Tepat
pada Hari Ibu ini, 22 Desember 2022 bertepatan pada 22 Desember hingga 25 Desember 1928 diadakan Kongres
Perempuan Indonesia (KPI). Organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan dan masih bergerak sendiri–sendiri
dikumpulkan menjadi satu forum. Kongres Perempuan
Indonesia pertama diinisiasi oleh tujuh organisasi perempuan mapan Indonesia. Wanita Utomo, Wanita Taman Siswa, Putri
Indonesia, Aisyiyah, Jong Islaminten Bon Bagian Wanita, Wanita Katolik
dan Jong Java Bagian.
Pada
momen itulah, 22 Desember kemudian dirayakan sebagai Hari Ibu, dimana titik
poin yang menjadi acuan saat itu berkorelasi dengan tema yang penulis
kedepankan, yaitu terkait persoalan Pendidikan anak-anak.
“Benar,
sejarah mencatat, pendidikan kepada anak-anak sangat kurang, bahkan secara
peran gender bukan hanya kepada anak laki-laki, akan tetapi anak-anak
perempuan,” tukas penulis dalam membaca kutipan-kutipan sejarah Hari Ibu.
Terlepas
dari konteks sejarah Hari Ibu, penulis merelaese
tulisan ini, dengan harapan agar terbersit tema tulisan di atas ini menggugah
kita peran ibu (juga sang bapak) untuk sama-sama berjuang membawa keseimbangan
kesadaran kepada anak-anak kita.
Semoga,
refleksi diri ini, membuka tabir, dimana momen Hari Ibu sekarang menjadi titik
balik kita kembali move in, mendidik anak-anak untuk bebas mencari
kesadarannya di muka bumi.
Perayaan
Hari Ibu ini juga jadi tolok ukur peran Gender dalam implementasi
Pengarusutamaan gender, dimana peran Ibu sama sekali tidak boleh “hilang”
memberikan makna kasih sayang dan kesadaran.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2022.
Penulis : Rusmawati Damarsari (Kepala Bidang Lelang Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)