Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Perayaan Hari Ibu untuk Anak-anak, Sebuah Refleksi Seorang Ibu.
Mahdi
Rabu, 21 Desember 2022   |   197 kali

Inspirasi Puisi Kahlil Gibran

Teringat sebuat momen empat tahun yang lalu. Saat itu, Penulis sedang berolahraga sore di Taman, saat melintas Penulis melihat seorang ibu memarahi anak sekitaran usia 7 (tujuh) tahun.

Pengen apa nak? Sedari tadi merengek!!!,” teriak sang Ibu.

Balik putaran kedua, Penulis masih melewati Ibu dan Anak itu. Agak berat, “harus nurut apa kata Ibu, kalau kata ibu tidak boleh ya sudah, tidak boleh!!!,” terdengar jelas ucapan itu.

Sementara Sang Anak itu tetap tertunduk sambil segukan nangis, sambil terbata, “Pengen Es Cream itu Ibu,!?” jawab Sang Anak itu.

Melewati jalan itu, penulis merasa seperti iba hati, dan menjadi terngiang,

“apakah Saya juga sama di rumah begitu? Atau bahkan kita hanya peduli apa yang kita inginkan degan memaksakan kepada anak?,” gumam sendiri sambil lengang Jogging.

Olahraga sore hari di taman itu jadi tidak fokus, perasaan menjadi terngiang peristiwa tadi.

“Ngeeng.....” selesai olahraga sore, lalu Penulis pulang, berkendara menuju rumah. Namun tetap saja masih  terekam suasana sang Ibu dan Anak di taman tadi.

“Semoga dengan bekerja, membuka surat-surat disposisi, siapa tahu dapat mendistrack pikiran tadi,” pikir penulis dalam hati sambil membuka laptop. Dan iseng sesekali membuka laman Google searching kata Sang Anak, dan saat membuka laman internet tersebut , penulis terhentak dengan Puisi Sang Anak Kahlil Ghibran. Tentu saja menguatkan pikiran penulis, bahwa perilaku Sang Ibu tadi benar-benar jauh dari makna kehadiran seorang anak.

Penulis terus ulangi membaca pusisi Sang Anak Karya Kahlil Ghibran ini,

“Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah anak kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat dirimu, tetapi bukan darimu.

Mereka tinggal denganmu, tetapi mereka bukan milikmu.

Kau dapat memberikan kasih sayang, tetapi tidak pikiranmu. Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.


Kau dapat memberikan tempat tinggal bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya. Karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.

Rumah yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.

Kau boleh berusaha keras untuk menyerupai mereka, tetapi jangan mencoba untuk membuat mereka menyerupaimu.

Karena kehidupan tidak berjalan mundur, dan juga tidak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dan mereka adalah anak panah yang melesat ke depan. Sang Pemanah telah membidik sasaran keabadian.

Dia merentangkanmu dengan kekuatanNya, hingga anak panah melesat cepat dan jauh.

Gembiralah dengan tarikan tangan Sang Pemanah,

karena Ia mencintai anak-anak panah yang terbang, dan Ia juga menyukai busur yang stabil.”

Bergetar jiwa dan jasad ini, membacanya seolah membuka tabir, anak adalah titipan sebagai    amanat Sang Maha Semesta, dan dia bukanlah asset atau model lingkaran “kehidupan” yang harus diulang dari kehidupan orang tuanya.

 

Berdamai Dengan Diri

Setelah berkali-kali membaca puisi tersebut, dan berupaya menyadari, merefleksi dengan move in, jiwa ini mulai menyadari, pentingnya peran Ibu mengambil hikmah  dan memeraktekan diri seperti ucapan Kahlil Ghibran.

“Lalu, bagaimana peran ibu sekarang bila dikaitkan dengan Puisi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benak pemikiran penulis, hampir di    setiap waktu. Frekuensi fenomena di taman, benar-benar membekas jiwa ini, sehingga jiwa ini harus berdamai dengan diri.

Saya menjadi penasaran, “adakah hubungannya sang anak dengan tanggung jawab terhadap amanat orang tua dan kesemestaan?” Lagi-lagi penulis bertanya.

Saat itu lah, penulis berdiskusi dengan seorang rekan yang juga seorang Kyai yang aktif  di MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat. Kebetulan sewaktu masih di Kantor Lapangan Banteng, sesekali berdiskusi di MUI depan tugu pahlawan terkait tentang Sang Anak ini.

Rekan itu lalu mendeskripsikan peran Ibu dan Bapak sangat penting sebagai model keseimbangan agar anak-anak mampu menjadi penerus kesadaran kesemestaan. “Kenapa Anak harus diajarkan tentang keyakinan dan kesemestaan dalam arti kesadaran?,” tanya Penulis ke sang Kyai.

“Lho, mbak gak tau kah, kenapa anak itu sangat penting posisinya seperti ungkapan Sang Ghibran yang mbak tanyakan tadi?,” ucap Sang Kyai.

Lalu sang Kyai menyebutkan satu ayat dalam Mushaf, QS: Al –A’araf ayat 172;

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

“Ayat ini luar biasa Mbak, dan kalau Mbak mengerti hermaneutika (logika ilmu tafsir), pasti berlinang air mata,” ucap  sang Kyai dengan ingatan penulis yang masih kuat terngiang dibenak ini.

Lalu Sang Kyai menambahkan,

“Mbak, kalau dalam Stilistika bahasa Arab, saat ada pertanyaan ayat tersebut, maka   sebenarnya Rabb menguji kepada Sang JIWA yang mau masuk ke jasad-jasad (sebagai persaksian, Syahadat, jiwa-jiwa anak tersebut) untuk “memilih” inang sang ibu yang dapat membimbing untuk bersaksi,” tukasnya panjang.

Lalu penulis bertanya, “jadi Sang Jiwa anak saat ditanya apakah kamu bersaksi bahwa Saya Rabb kamu, Balaa (benar bahwa Anda Rabb kami) lalu diperbolehkan lah Sang Jiwa masuk jasad inang Ibu Mereka, dan sang anak tersebut sangat jelas di sini memilih Orangtuanya agar bisa mengajarkan Syahadat, Nyakseni, atau Nyaksian nanti di alam dunia?’” tanya penulis panjang.

“Benar seperti itu, dimana Sang Anak pada alam lauh mahfuz itu memilih orang tuanya, agar orang tua itu mengajarkan Syahadat kepada Rabb, Allah Swt.,” tambah Sang Kyai.

Bergetar lah jiwa dan jasad ini, bercampur lemas, seakan-akan adrenalin naik, sekaligus terharu, mendengar penjelasan Sang Kyai. Tidak terasa linangan air mata  menetes jatuh di pipi ini.

“Ya Ampun nak, kalian ternyata memilih ibu jadi inang kalian, dan ternyata kalian ingin diajarkan kebersaksian tentang Rabb, Allah SWT dan Kesemestaan,” gumam penulis dalam hati.

 

Dari National Geographic Hingga Kesadaran in Me”.

Sesekali terendap beberapa kegalauan dan pertanyaan, pertanyan hampir 4 tahun lalu, terjawab saat penulis iseng-iseng menonton National Geographic tentang The Story of God Kreasi Morgan Freeman, yang benar-benar “mencari” tuhan dengan berbagai jelajah perjalanan  yang sangat jauh dan menyita waktu.

Hingga pada satu tema, Morgan Freeman berkesimpulan, The God in Me”.

Wow, bagi Penulis,  sepenggal kata “WA NAHNU INNAHU AQROBU MIN HABLIL WARID  (QS: Qaaf ayat 16)  bahwasannya Rabb lebih dekat dari urat nadi adalah sesuatu yang “In Me”. Diri Nya ada dalam Diri ini. Karena itu lah, sejatinya Penulis berpikir bahwa korelasi ayat dalam Al – A’raf : 172 di atas, adalah tema “perjanjian” dengan Surat Al Qaaf: 16 dan Perjalanan Mencari Tuhannya Morgan Freeman, apakah kita sebagai Ibu atau orang tua mampu mengajarkan Syahadat kepada Sang Anak karena anak lah yang memilih orang tua sebagai inangnya untuk hidup berkembang di dunia ini.

Dari sini, Penulis yang juga orangtua dari anak-anak terharu dan berterima kasih kepada mereka telah “memilih” diri ini agar dapat membimbing dan mendidik mereka.

Saat Penulis pegang dan peluk mereka, penulis menyadari, merekalah nanti yang akan menggantikan tugas para orang tuanya menebar kebaikan di muka bumi.

Karena itu, peran Ibu, selain sebagai inang sang anak, juga media dialektika kesemestaan sang anak di alam dunia ini. Blue print kesadaran kesemestaan semestinya bertransformasi dalam kandungan dimana tentakel-tentakel blue print kesadaran terkoneksi dengan para bayi.

Never last but not least, tidak ada kata terlambat,” semangat Penulis.

“Transformasi kesadaran masih panjang dan banyak waktu, dan saat inilah peran ibu mendapatkan momen yang pas menitikan nilai- nilai kesadaran dan kesemestaan,” tambah penulis dalam hati.

Tidak perlu seperti Morgan Freeman yang harus menjelajah jauh mencari tentang ketuhanan. Justru dalam diri inilah, sang ibu, sebagai inang harus mengcopy paste keyakinan dan kesadaran kepada ankak-anak.

 

Perayaan Hari Ibu Untuk Anak-Anak

Tepat pada Hari Ibu ini, 22 Desember 2022 bertepatan pada 22 Desember hingga 25 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan dan masih bergerak sendiri–sendiri dikumpulkan menjadi satu forum. Kongres Perempuan Indonesia pertama diinisiasi oleh tujuh organisasi perempuan mapan Indonesia. Wanita Utomo, Wanita Taman Siswa, Putri Indonesia, Aisyiyah, Jong Islaminten Bon Bagian Wanita, Wanita Katolik dan Jong Java Bagian.

Pada momen itulah, 22 Desember kemudian dirayakan sebagai Hari Ibu, dimana titik poin yang menjadi acuan saat itu berkorelasi dengan tema yang penulis kedepankan, yaitu terkait persoalan Pendidikan anak-anak.

“Benar, sejarah mencatat, pendidikan kepada anak-anak sangat kurang, bahkan secara peran gender bukan hanya kepada anak laki-laki, akan tetapi anak-anak perempuan,” tukas penulis dalam membaca kutipan-kutipan sejarah Hari Ibu.

Terlepas dari konteks sejarah Hari Ibu, penulis merelaese tulisan ini, dengan harapan agar terbersit tema tulisan di atas ini menggugah kita peran ibu (juga sang bapak) untuk sama-sama berjuang membawa keseimbangan kesadaran kepada anak-anak kita.

Semoga, refleksi diri ini, membuka tabir, dimana momen Hari Ibu sekarang menjadi titik balik kita kembali move in, mendidik anak-anak untuk bebas mencari kesadarannya di muka bumi.

Perayaan Hari Ibu ini juga jadi tolok ukur peran Gender dalam implementasi Pengarusutamaan gender, dimana peran Ibu sama sekali tidak boleh “hilang” memberikan makna kasih sayang dan kesadaran.

Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2022.


Penulis : Rusmawati Damarsari (Kepala Bidang Lelang Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini