Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Seksinya Penilai DJKN
N/a
Selasa, 24 Februari 2015 pukul 09:40:52   |   5465 kali

Pelayanan Penilaian sebagai salah satu tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) merupakan ujung tombak dari pelaksanaan misi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)  dalam mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar  dan dapat dijadikan acuan dalam berbagai keperluan. Tugas dan fungsi yang lahir bersamaan dengan lahirnya DJKN ini sepenuhnya tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) karena pada siklus pengelolaan tersebut penilaian menjadi salah satu segmen yang berperan cukup signifikan. Jika dilihat lebih lanjut peran ini juga termaktub dalam salah satu azas pengelolaan BMN/D, yaitu azas kepastian nilai dimana pengelolaan BMN/D harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D serta penyusunan neraca pemerintah.

Secara teknis penilaian adalah gabungan antara ilmu pengetahuan dan seni dalam mengestimasi nilai dari sebuah kepentingan yang terdapat dalam suatu properti bagi tujuan tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan serta dengan mempertimbangkan segala karakteristik yang ada pada properti tersebut termasuk jenis-jenis investasi yang ada di pasaran.  Pelaksanaan penilaian dilakukan oleh tim  penilai yang berjumlah ganjil. Pada implementasinya pelaksanaan penilaian mulai dilakukan pada tahun 2007. Kegiatan awal penilaian yang dilaksanakan secara nasional dan serentak didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 dalam rangka Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN dengan tujuan koreksi saldo awal Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Mengikuti perkembangan proses penilaian yang dilakukan DJKN khususnya terhadap BMN, telah terjadi perubahan angka pada neraca aset pada pelaporan LKPP 2007 sampai dengan LKPP 2010 dimana kegiatan IP BMN masih dilaksanakan. Grafik perubahan nilai BMN  tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Kenaikan nilai BMN sangat signifikan pada tahun keempat penyelesaian IP BMN. Kenaikan sebesar 227% tersebut memberikan gambaran yang lebih wajar dalam LKPP sehingga opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tadinya disclaimer berubah menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan meningkat menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) DPP pada tahun 2012 dan 2013 dan puncaknya WTP di tahun 2014. Saat ini, untuk nilai aset pada neraca pemerintah pusat hampir seluruhnya telah disajikan dengan nilai wajar, sehingga permintaan penilaian dalam rangka koreksi nilai LKPP juga sudah jauh berkurang.

Dalam perkembangannya, pengelolaan BMN/D telah mengalami kompleksitas perubahan sehingga perlu disesuaikan. Perubahan ini diakomodir dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor  27 Tahun 2014 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Beberapa perubahan yang terjadi juga menyinggung tentang Penilaian BMN/D serta personel yang melakukan penilaian tersebut. Jika pada PP 6 / 2006 penilai dikenal dengan sebutan penilai eksternal dan penilai internal, pada PP 27/2014 sebutan tersebut berubah menjadi penilai pemerintah dan penilai publik. 

Penilaian yang dilakukan penilai melahirkan nilai wajar/nilai pasar. Kamus Webster menyatakan  nilai pasar yaitu a price at which both buyer and sellers are willing to do business atau suatu harga di mana baik pembeli maupun penjual berkehendak melakukan transaksi. Nilai wajar atau nilai pasar atas BMN/D yang diperoleh dari penilaian ini merupakan unsur penting tidak hanya dalam  rangka penyusunan neraca pemerintah namun juga ditekankan untuk kegiatan  pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Sebagai  pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya penilai dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap nilai wajar yang dikeluarkannya. Kondisi ini tentunya menuntut Penilai untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas yang dimiliki. Pada PP 27 Tahun 2014 Pasal 51 Ayat (4)jelas dinyatakan  “Dalam hal penilaian BMN selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh pengguna barang tanpa melibatkan penilai, maka hasil penilaian BMN/D hanya merupakan nilai taksiran”. Jika kita cermati lebih lanjut nilai yang digunakan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan hanyalah nilai wajar yang merupakan produk dari penilai, sehingga dalam proses penetapan nilai untuk pemanfaatan maupun pemindahtanganan, baik tanah dan/atau  bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan penilai memiliki peran krusial dalam proses tersebut.

           

Mencoba memahami hal tersebut, dengan paradigma baru pada PP 27/2014 tidak dapat dipungkiri Penilaian dan Penilai  menjadi sebuah kegiatan dan peran yang “seksi” dalam pengelolaan BMN/D. Apalagi jika ditelisik lebih jauh, sebagai penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diangkat oleh kuasa Menteri Keuangan serta diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian, peran itu baru dimiliki oleh para penilai di DJKN. Sebuah keseksian yang tidak dapat dihindari. Hal yang seksi tentulah menarik untuk didekati dan paling sering dibicarakan. Keseksian akan menjadi trending topic dalam setiap lingkup pembicaraan, dan keseksian penilai dan penilaian akan menjadi sorotan dalam proses pengelolaan BMN/D. Lalu bagaimana penilai DJKN menikmati sorotan tersebut. Layaknya peragawati yang berjalan di atas catwalk, “seluruh sorot mata mengarah padanya”. Dengan kondisi ini maka akan mudah mendapatkan kritikan daripada pujian, karena melaksanakan peran dengan  benar itu suatu keharusan sedangkan jika berbuat kesalahan tidak ada toleransi untuk itu. Sekecil apapun kesalahan tersebut dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang dengan sejumlah komentator yang membawa preferensinya masing-masing. Sehingga sebuah keseksian tidak dapat menerima kesalahan. Apalagi jika dikembalikan pada penjelasan pada PP 27/2014 yang secara nyata menyebutkan  nilai wajar yang diperoleh dari hasil Penilaian menjadi tanggung jawab Penilai.

Nilai wajar atau nilai pasar yang menjadi tanggung jawab penilai dapat muncul dari berbagai pendekatan penilaian, baik pendekatan data pasar, pendekatan biaya maupun pendekatan pendapatan. Pada prosesnya penilai DJKN  telah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan sampai Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayan Negara  yang menjadi pedoman pelaksanaan penilaian di lapangan. Sampai saat ini tuntutan kesempurnaan tetap diberikan kepada para Penilai DJKN. Kegiatan quality assurance, peer review dan kaji ulang laporan penilaian menunjukkan gerakan yang tiada henti untuk mempertahankan keseksian penilaian dan penilainya. Secara personel tentunya penilai DJKN perlu terus menerus menjaga “performance”. Ibarat peragawati yang begitu care dengan bentuk tubuh dan cara jalannya, maka Penilai DJKN harus peduli dengan kemampuannya menggunakan pendekatan penilaian dan mempertahankan hasil kerjanya  yang independen.

Independensi yang dimiliki penilai terus menerus digaung-gaungkan, karena semua unsur menyadari menjadi independen di tengah sistem dengan tingkat subyektivitas tinggi bukanlah hal mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang independen dapat diartikan  bahwa penilai dalam kerjanya haruslah netral dan tidak memihak, juga tidak dalam kondisi melaksanakan keinginan pihak tertentu. Dalam konteks ini sudah sewajarnya seorang penilai DJKN dalam melaksanaan penilaian harus objektif, bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya, jujur dan apa adanya serta konsisten dalam tindakannya. Tampilan perilaku ini telah memastikan penilai DJKN memiliki integritas tinggi, sehingga dapat dipastikan mampu menjaga kode etik dan prinsip-prinsip moralnya. Selain mengimplementasikan nilai integritas, Penilai DJKN sepenuhnya juga harus bekerja Profesional, menciptakan sinergi, mengutamakan pelayanan dan meningkatkan diri menuju kesempurnaan.

Pada masa datang cukup banyak peran besar yang menuntut kemampuan penilai DJKN, dan sebagai salah satu bentuk penugasan yang bersifat khusus menjadikan penilai DJKN sebagai sebuah jabatan fungsional bukanlah hal yang mustahil. Apabila hal ini dapat terwujud, pemikiran tentang kode etik Penilai menjadi sebuah keniscayaan.

Penilai DJKN, profesional dan terpercaya.

(Maulina Fahmilita, Kepala Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Pekanbaru)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini