Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
PENSYARATAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN HUKUM BAGI PNS DI LINGKUNGAN DJKN YANG DIUSULKAN SEBAGAI PENERIMA SURAT KUASA KHUSUS (SKU) SEBAGAI SEBUAH WACANA SALAH SATU UPAYA MENINGKATKAN POTENSI PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PERDATA
N/a
Kamis, 19 Juni 2014 pukul 17:27:09   |   2704 kali

PENSYARATAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN HUKUM BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI LINGKUNGAN DJKN YANG DIUSULKAN SEBAGAI PENERIMA SURAT KUASA KHUSUS (SKU) SEBAGAI SEBUAH WACANA SALAH SATU UPAYA MENINGKATKAN POTENSI PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PERDATA PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan sesamanya (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa hidup dalam organisasi antara lain untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi instansi atau kantor tempatnya bekerja, seringkali kantornya mendapatkan gugatan dari pihak lain dengan tuntutan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan/atau tuntutan ganti rugi. Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan, yaitu suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan dan permohonan gugatannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lain dalam hal ini kantor.

Dalam perkara Perdata senantiasa ada Penggugat/Para Penggugat/Pelawan/Para Pelawan dan Tergugat/Tergugat-Tergugat/Terlawan/Para terlawan. Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut Penggugat/Para Penggugat (eiser/plaintiff) yaitu orang atau badan hukum yang memerlukan/berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan langsung/melekat dari si Penggugat. Sedangkan Tergugat (gedagde/dependent) yaitu orang atau badan hukum yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan hak. Tergugat dapat terdiri dari seseorang atau beberapa orang atau 1 (satu) badan hukum atau beberapa badan hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum. Ketentuan Hukum

Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (disingkat R.I.D) yang nama aslinya adalah Herziene Indonesisch Reglement (disingkat H.I.R) merupakan salah satu undang-undang peninggalan zaman Hindia Belanda yang masih berlaku berkat Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan memuat baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata di muka PN. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa-Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (disingkat R.B.G) yang pada dasarnya sama dengan R.I.D atau H.I.R, sedangkan untuk daerah di luar Jawa-Madura berlaku Reglemen Daerah Seberang (disingkat R.D.S). Ciri-ciri H.I.R yaitu: a. Pengajuan gugat dilakukan dalam bentuk surat permohonan (introductief request) dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan gugat itu secara lisan; b. Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam hukum; c. Adanya kewajiban bagi hakim untuk sebelum mulai memeriksa perkaranya, mengusahakan dicapainya suatu perdamaian; d. Hakim mendengar langsung para pihak sendiri; e. Keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka sidang.

Pasal 118 H.I.R selain mengatur tentang cara mengajukan gugatan dan kekuasaan relatif PN juga telah mengatur mengenai kewenangan para pihak dalam perkara yaitu harus dilakukan oleh seorang kuasa yang secara khusus yaitu berdasarkan pada Surat Kuasa Khusus, yang menyebutkan dengan kongkret yang menjadi perselisihan atau persengketaan antara kedua belah pihak yang berperkara dan dengan kuasa itu pula dalam perkara tersebut dapat mengajukan permohonan banding dan kasasi.

Seorang pembela perkara (advocaat) adalah seorang pembela dan penasihat, sedangkan seorang pengacara (procureur) adalah seorang ahli dalam hukum acara (perdata), yang memberikan jasa-jasanya dalam mengajukan perkara-perkara kepada pengadilan dan mewakili orang-orang yang berperkara di muka pengadilan. Kedudukan dan pekerjaan advocaat dan procureur telah diatur dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie disingkat R.O., yaitu suatu Koninklijk Besluit (Firman Raja) yang diundangkan dalam Staatsblad tahun 1847 No. 23 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. R.O. tersebut terutama mengatur tentang dasar-dasar peradilan dan tentang susunan dan kekuasaan badan-badan pengadilan di Indonesia pada zaman kolonial Belanda yaitu hal-hal yang sekarang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman. Pasal 186 R.O. menentukan bahwa yang dapat diangkat menjadi advocaat dan procureur hanyalah: a. Warga negara; b. Mereka yang telah memperoleh gelar doktor dalam ilmu hukum atau sarjana hukum. Sebelum tahun 1935, Pasal 186 R.O. memperkenankan untuk diangkat menjadi procureur saja (tidak merangkap sebagai advocaat) yaitu mereka yang bukan sarjana hukum, tetapi telah lulus dari ujian procureur yang pada waktu-waktu tertentu diadakan oleh Raad van Justitie, yaitu pengadilan untuk golongan Eropa di mana mereka nantinya melakukan praktek mereka sebagai procureur itu. Sehingga sejak tahun 1935 hanyalah orang yang bergelar sarjana hukum sajalah yang dapat diangkat sebagai advocaat dan procureur.

Dewasa ini dengan telah makin banyaknya sarjana hukum dan telah makin banyaknya pula fakultas hukum di tiap ibu kota propinsi maka perlu diwacanakan pemikiran untuk mensyaratkan/mewajibkan mewakilkan beracara perdata di muka sidang dengan manfaat-manfaat antara lain: a. Perkara akan cepat selesai; b. Oleh karena cepat selesai, biaya perkara lebih ringan; c. membantu perkembangan hukum.

PENANGANAN PERKARA GUGATAN PERDATA DI LINGKUNGAN DJKN

Sehubungan dengan tugas dan fungsi DJKN dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Esselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014, kebanyakan materi gugatan dalam perkara perdata adalah terkait harta bersama, harta warisan, jaminan milik pihak ketiga, pengikatan / perjanjian yang cacat / tidak sah, jumlah hutang yang tidak pasti, Surat Paksa/Penyitaan/SP3N/Pemblokiran, Pelelangan, harga lelang, pengosongan, hak tanggungan dan lain-lain (misal: mempertahankan hak milik).

Di antara unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara merupakan salah satu unit eselon I dengan jumlah perkara yang ditangani sangat tinggi. Data sampai dengan akhir tri wulan III menunjukkan bahwa perkara yang ditangani berjumlah 2562 perkara dengan rincian peradilan umum 2373 perkara dan peradilan TUN 199 perkara. Sedangkan menurut data dalam SIBANKUM, perkara gugatan perdata yang ditangani oleh KPKNL Padang sebanyak 22 perkara aktif. Ketentuan yang mengatur tentang penerbitan Surat Kuasa Khusus (SKU) itu terdapat pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 139/KMK.08/2001 tentang Penunjukan Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan Untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan

Menandatangani Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Guna Menghadap di Muka Umum Peradilan Umum. Pada Pasal 2 PMK dimaksud telah dinyatakan bahwa menunjuk Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan untuk menandatangani SKU Menteri Keuangan Kepada Pejabat DJPLN selaku kuasa penangan perkara gugatan perdata yang bersifat rutin/biasa serta tidak mengandung tuntutan ganti rugi yang diajukan terhadap unit kerja DJPLN pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Selain itu ketentuan yang mengatur tentang penerbitan SKU terdapat pula di Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) Nomor SE-08/PL/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Penanganan Perkara Perdata di Lingkungan DJPLN/PUPN. Surat Edaran dimaksud antara lain mengatur bahwa untuk perkara perdata yang tidak mengandung tuntutan ganti rugi ditandatangani oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, walaupun dalam gugatannya dicantumkan tuntutan berupa uang paksa (dwangsoom).

Perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi namun tuntutan ganti ruginya tidak ditujukan kepada Kanwil DJPLN/KP2LN tetapi kepada pihak lain, tetap ditangani oleh DJPLN. SKU penanganan perkara perdatanya diterbitkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Ketua PUPN Pusat. SKU penangan perkara yang diterbitkan dapat dikuasakan dengan hak substitusi ke petugas penanganan perkara. Kedua ketentuan yang mengatur penerbitan SKU di atas belum mensyaratkan atau sekurang-kurangnya himbauan untuk mengutamakan pejabat/pegawai dengan latar belakang pendidikan hukum dalam pengusulan nama-nama pejabat/pegawai di dalam surat permohonan penerbitan SKU dalam perkara gugatan perdata. Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai profesi berlandaskan prinsip-prinsip: a. Nilai dasar; b. Kode etik dan perilaku; c. Komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik; d. Kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. Kualifikasi akademik; f. Jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan g. Profesionalitas jabatan.

Berdasarkan KMK Nomor 312/KMK.01/2011, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan telah didefinisikan secara jelas disertai dengan 10 (sepuluh) Perilaku Utama supaya dapat memberikan petunjuk yang nyata dalam kehidupan setiap Pegawai baik secara individu maupun unit organisasi. Nilai-nilai Kementerian Keuangan terdiri dari Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan. Dari 10 (sepuluh) Perilaku Utama Kementerian Keuangan maka nampak jelas bahwa seorang Pegawai DJKN antara lain pegawai DJKN penerima SKU harus menjunjung tinggi Nilai-nilai Kementerian Keuangan terutama Integritas, Profesionalisme dan Kesempurnaan tanpa mengabaikan Nilai-nilai lainnya.

Sesuai dengan amanat Pasal 3 UU RI Nomor 5 Tahun 2014 maka seorang Pegawai Kementerian Keuangan yang pada dasarnya juga merupakan ASN harus seorang yang berkompeten pada bidang tugasnya, berkualifikasi akademik yang dibutuhkan dan profesional dalam jabatannya. Begitu juga sesuai dengan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan maka Pegawai Kementerian Keuangan harus Profesional. Perilaku Utama dalam Nilai Profesionalisme antara lain mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas. Pengalaman Penulis yang pernah menjabat selaku Kepala Seksi HI di KPKNL Padang sejak bulan Mei 2010 sampai dengan bulan Maret 2012 tanpa latar belakang pendidikan hukum begitu juga dengan para staf di seksi HI kala itu tidak ada yang berlatar belakang hukum untuk beberapa saat cukup keteteran menangani perkara-perkara gugatan perdata yang masuk.

Namun seperti kata-kata bijak the show must go on. Kondisi tersebut lalu Penulis jadikan chalange dan dorongan untuk dapat menangani perkara gugatan perdata plus dorongan dari dalam sendiri di mana Penulis berasal dari keluarga berlatar belakang hukum maka Penulis melanjutkan pendidikan hukum di salah satu universitas di Kota Padang sambil mempelajari buku-buku praktik dan praktis hukum beracara perdata di pengadilan serta berkesempatan mengikuti DTSS Beracara Di Pengadilan yang diselenggarakan oleh DJKN bekerja sama dengan BPPK pada akhir tahun 2011 yang amat berguna dalam bekal praktek di pengadilan. Peribahasa mengatakan “alah bisa karena biasa”.

Akhirnya lambat laun Penulis terbiasa menyusun Jawaban gugatan, Duplik, menyusun dan menyampaikan Alat bukti, Kesimpulan serta terbiasa beracara di pengadilan lainnya seperti pendaftaran SKU di kepaniteraan pengadilan, menyerahkan asli SKU kepada majelis hakim di muka sidang, mediasi, pemeriksaan saksi-saksi dan sebagainya. Secara bertahap staf pelaksana kemudian dilatih dan ditugasi untuk beracara/menghadiri sidang di pengadilan untuk menyampaikan Jawaban gugatan, Duplik, penyampaian Alat-alat bukti dan Kesimpulan yang telah disiapkan sebelumnya.

Namun untuk agenda sidang berupa Mediasi dan pemeriksaan saksi-saksi masih mengalami kendala apabila pegawai yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum ditugaskan menghadiri agenda sidang tersebut karena saat Mediasi dan pemeriksaan saksi-saksi ada tanya jawab langsung dengan pihak Penggugat dan saksi-saksi sehingga dituntut keaktifan dan kemahiran serta pengetahuan hukum pada para petugas penerima SKU. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 7 ayat (3) Peraturan MA dimaksud menyatakan bahwa Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kemudian pada Peraturan MA dimaksud menyebutkan Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Tidak ditempuhnya prosedur mediasi maka merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan/atau Pasal 154 RBG yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Sejak terbitnya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advocat maka Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya yang sebelumnya telah mengatur tentang kedudukan dan pekerjaan advocaat dan proceure telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advocat dinyatakan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

Kemudian sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 telah dinyatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 mengatur mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Advocat antara lain tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Pasal 1 angka (2) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 menyatakan mengenai Jasa Hukum yang diberikan oleh seorang Advocat yaitu jasa yang diberikan berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Pegawai DJKN penerima SKU dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penerima SKU untuk beracara di muka sidang pada dasarnya bertindak layaknya seorang Advocat karena ia menjalankan kuasa, mewakili, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum DJKN namun ia bukanlah Advocat karena seorang PNS tidak bisa diangkat sebagai Advocat. Adanya pensyaratan atau sekurang-kurangnya himbauan untuk mengutamakan pejabat/pegawai dengan latar belakang pendidikan hukum dalam surat pengusulan penerbitan SKU oleh KPKNL yang menerima gugatan perdata bertujuan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan potensi penyelesaian perkara gugatan perdata di pengadilan, upaya mengalokasikan penempatan pegawai baru DJKN berlatar belakang pendidikan hukum secara merata untuk tiap KPKNL, peningkatan frekuensi dan quota pegawai untuk mengikuti DTSS Beracara Di Pengadilan atas kerja sama DJKN dengan BPPK baik yang sudah maupun belum/tidak punya latar belakang pendidikan hukum, kebijakan/politik recruitment pegawai baru dengan concern pada penanganan perkara gugatan hukum serta membantu perkembangan hukum melalui dasar-dasar hukum yang tepat dikemukakan secara berganti oleh masing-masing pihak berperkara, sehingga hakim memperoleh gambaran secara lebih jelas mengenai duduk perkara yang sangat berguna bagi hakim mempertimbangkan putusan, adanya perkembangan hukum dalam masyarakat yang disampaikan oleh pihak Penggugat dan Tergugat antara lain dari pegawai DJKN penerima SKU.

Namun apabila pensyaratan tersebut belum dapat dilakukan saat ini karena berbagai kendala maka sekurang-kurangnya menurut hemat Penulis bisa menjadi wacana ke depan dalam surat usulan penerbitan SKU. (T.S. Arya P – Kepala Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Padang/d.h. Kepala Seksi HI KPKNL Padang Tahun 2010 s.d. 2012)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini