Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Peningkatan Kualitas DKPB Menuju Eksistensi Mantap Internal dan Eksternal
N/a
Rabu, 12 Februari 2014 pukul 10:26:30   |   3890 kali

Oleh: Wahidin

Kasi Penilai II Kanwil DJKN Papua dan Maluku

Daftar Komponen Penilaian Bangunan (DKPB) merupakan alat bantu penilaian bangunan, yang berisikan database harga per-meter bangunan berdasarkan perbedaan jenis struktur dan material bangunan dan dipergunakan secara internal pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan RI.

Dengan disahkannya DKPB Tahun 2014, berarti DKPB telah siap digunakan mulai awal Januari 2014 ini oleh penilai internal DJKN. Penyusunan DKPB sendiri dimulai pada tahun 2006 saat pemerintah mulai berupaya mengkoreksi neraca awal untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004. DJKN yang saat itu sebagai pelaksana Inventarisasi dan Penilaian Barang Milik Negara (IP BMN) memerlukan alat bantu penilaian bangunan yang dipergunakan secara seragam, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

DKPB sudah sangat familiar di kalangan penilai internal DJKN, pertama karena penilai internal adalah pengguna utama DKPB, kedua proses penyusunan itu dilaksanakan tiap tahun (mengingat masa berlaku DKPB hanya satu tahun), dan ketiga setiap penyusunannya banyak melibatkan mereka terutama dalam hal survei lapangan harga bangunan. Diibaratkan kalau belum kenal DKPB berati belum jadi penilai internal DJKN. Proses penyusunan setiap tahun dilakukan semenjak pertengahan semester kedua hingga akhir tahun.

Namun sebenarnya proses penyusunan dan perkembangan DKPB telah berlangsung cukup lama. Hal ini terkait dengan tugas dan fungsi (tusi) penilaian yang ada pada unit organisasi yang juga telah berlangsung cukup lama. Sebutlah dengan berdirinya unit organisasi cikal bakal DJKN yang dimulai dengan berdirinya Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) pada tahun 1976, lalu berubah menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) pada tahun 1991, berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) pada tahun 2001 dan pada akhirnya menjadi DJKN sejak tahun 2006 hingga saat ini, maka sepanjang waktu itu pula terdapat proses terbentuknya alat bantu penilaian yang saat ini disebut sebagai DKPB. Tentunya bentuk alat bantu penilaian dimaksud berbeda dari awal hingga sekarang menyesuaikan tuntutan kebutuhan penilaian yang juga semakin berkembang.

DKPB sebagai alat bantu penilaian menjadi sesuatu yang penting dan memiliki posisi strategis dalam menghasilkan suatu nilai terutama nilai bangunan atau gedung. DKPB seperti darah dalam setiap penilaian properti tersebut. Memang diakui, DKPB bukanlah satu-satunya alat bantu, namun sulit rasanya menilai bangunan tanpa menggunakan DKPB apalagi tidak ditemukan data pembuatan baru bangunan.  Pemerintah, dalam hal selaku pengelola BMN, menggunakan nilai yang dihasilkan dari proses penggunaan DKPB untuk berbagai keperluan seperti Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), pemanfaatan gedung, atau pemindahtanganan. Kontribusi DKPB ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata.

Contoh lain keterlibatan DKPB adalah dalam mengestimasi nilai bangunan yang berhubungan dengan pihak ketiga seperti perbankan (yang telah lalu), debitur eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)/ Perusahaan Pengelola Aset (PPA)/ Bank Dalam Likuidasi (BDL). Bahkan dengan peraturan terbaru Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 2 Tahun 2014, dimana penilaian diperluas untuk aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan sitaan pajak/Kejaksaan/Kepolisian/Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan semakin meningkatkan eksistensi fungsi DKPB. Menjadi pertanyaan adalah, sudah siapkah alat bantu penilaian ini mengakomodir kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders)? Sudah siapkah DKPB menjadi acuan alat bantu penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diakui oleh masyarakat?

Stakeholders DKPB

Di permukaan, fungsi DKPB tidak banyak diketahui. Nilai gedung kementerian, penjualan aset sitaan eks jaminan dan pemasukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)-nya, penyusunan LKPP, dan lain-lain yang berhubungan dengan menilai gedung atau bangunan pastinya melibatkan banyak pihak dan banyak kepentingan.

Pemilik DKPB

Siapa sebenarnya pemilik DKPB ini? Menjawab pertanyaan ‘sebagai pemilik’ tentu tidak lepas dari siapa yang membuat dan apa yang menjadi kewenangan pembuat terhadapnya. DJKN dengan Surat Edaran Nomor SE-01/KN/2009 tentang DKPB 2009, melegalisasi penggunaan DKPB dalam penilaian yang memakai metode Pendekatan Kalkulasi Biaya.  Bahkan dalam edaran tersebut dinyatakan bahwa DKPB 2009 dimaksud merupakan pengembangan dari DKPB tahun tahun sebelumnya. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Kantor Pusat DJKN berperan sebagai leader dalam terbentuknya DKPB, dengan surveyor yang dilaksanakan oleh kantor operasional (KPKNL) di masing-masing wilayah kerjanya. Diperjelas lagi, bahwa pelaksaan survei dilaksanakan dengan berpedoman pada Buku Pedoman Survei yang disusun Kantor Pusat DJKN. Maka jelas bahwa DJKN (kantor pusat) adalah pemilik sekaligus selaku pengelola DKPB sehingga sudah menjadi kewenangannya untuk mengadakan/menyusun, mengembangkan, memperbarui, menetapkan penggunaan berlakunya dan berakhirnya DKPB. Dalam perkembangannya, kewenangan untuk menetapkan DKPB tersebut dilimpahkan kepada kantor wilayah sebagaimana Keputusan Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor : Kep-75/KN/2012.    

Penilai internal/Pengguna DKPB

Penilai internal/pengguna DKPB adalah penilai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan DJKN yang diangkat oleh kuasa Menteri yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian secara independen1). Penilai internal adalah garda terdepan pengguna DKPB. Hal ini karena DKPB digunakan secara internal di lingkungan DJKN yang melibatkan penilai internal dalam setiap pelaksanaan penilaian. Di samping sebagai pengguna, penilai internal banyak dilibatkan dalam penyusunan DKPB pada KPKNL terutama pada kegiatan survei bahan bangunan, upah tenaga kerja dan sewa peralatan. Oleh sebab itu, sudah semestinya hasil survei yang dilakukan dapat menjamin kualitas DKPB mengingat pada akhirnya siapa pengguna DKPB dan bagaimana nilai yang dihasilkan akan kembali juga pada Penilai internal dimaksud.

Pemohon Penilaian

Pemohon penilaian, tidak bersinggungan langsung dengan DKPB, karena DKPB hanya digunakan seorang penilai internal dalam melaksanakan penilaian untuk menghasil suatu nilai yang dimintanya. Namun, sebagai seorang penilai yang terikat dengan Kode Etik, dan Standar Penilaian, ia harus mampu menghasilkan nilai yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum, pemohon penilaian di lingkungan DJKN adalah para satuan kerja (satker) yang bertindak sebagai pengguna barang yang keberadaanya tersebar di seluruh kementerian dan lembaga pengguna dana APBN baik satker vertikal maupun di daerah (pemda). Itu dengan catatan adanya belanja modal berupa aset tetap dan ada permohonan untuk dilakukan penilaian. Ke depan tantangan bagi seorang penilai internal semakin meningkat dengan bertambahnya calon “pemohon penilaian” sebagaimana tersebut dalam PMK Nomor 2 Tahun 2014 antara lain :

  1. Pajak, dalam hal penilaian sitaan pajak untuk dilelang;
  2. Bea Cukai, dalam hal penilaian barang-barang eks tegahan kepabeanan dan cukai untuk dilelang;
  3. Pemerintah daerah, dalam hal penilaian keperluan pengelolaan BMD dan/atau kekayaan daerah;
  4. Badan Usaha Milik Negara;
  5. Badan Usaha Milik Daerah;
  6. Kejaksaan, keperluan pengelolaan aset sitaan;
  7. Kepolisian Negara, dan
  8. Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Pemakai Nilai

Pemakai nilai yang dihasilkan oleh penilai internal identik dengan pemberi tugas penilaian, namun pemakai nilai dapat lebih luas dari itu. Seorang pelaku bisnis properti, atau masyarakat luas dapat dikategorikan sebagai pemakai nilai. Secara empiris, pelaku bisnis properti akan mengkaji perkembangan nilai harga apartemen, hotel, rumah hunian, dan sebagainya yang berhubungan dengan nilai bangunan atau gedung. Seorang developer bangunan sangat membutuhkan indeks harga bangunan untuk merencanakan keuangan dan kelayakan proyeknya. Masyarakat juga dapat melakukan hal yang sama untuk kepentingan yang berhubungan dengan properti tersebut. Kebutuhan mereka akan sebuah alat untuk mengestimasi nilai bangunan bisa terjawab manakala DKPB dihadirkan untuk memproses sebuah nilai. Namun sekali lagi, keterbatasan penggunaan DKPB tidak memungkinkan penggunaan diluar ketentuan.

Debitor

Penilaian yang dilakukan DJKN diantaranya adalah menilai dalam rangka penjualan melalui lelang aset debitor eks. BDL, eks. BPPN, yang dulu dijadikan jaminan hutang oleh debitor. Aset tersebut tentu sangat berkaitan dengan pemilik jaminan ataupun pemilik hutang (keduanya bisa sebagai debitor). Pengurusan aset tersebut, sebagaimana pengurusan piutang negara sebelumnya, sangat rawan dengan gugatan dan masalah komplek lainnya. Tidak jarang proses peradilan kemudian melibatkan penilai apabila materi gugatan berkenaan dengan ketidakpuasan nilai aset yang telah dilakukan eksekusi lelang. Di sini penilai harus mampu membentengi diri dengan argumen penilaian secara ilmiah dan sesuai standar penilaian yang berlaku termasuk dalam hal survei, dan penggunaan DKPB.      

Pihak Objek Survei (Responden)

Penyusunan DKPB dimulai dengan survei yang dilakukan kantor operasional/KPKNL di seluruh wilayah Indonesia. Sesuai panduan survei yang dibuat Kantor Pusat DJKN, Survei harus dilakukan di setiap kota/kabupaten yang ada di wilayah kerja KPKNL termasuk kota/kabupaten hasil pemekaran wilayah dengan ketentuan data survei yang diambil untuk setiap kota/kabupaten minimal tiga responden. Jika dihitung berdasarkan jumlah kota/kabupaten di seluruh Indonesia sebanyak 4092), maka akan ada 1.470 responden. Responden tersebut dapat dikelompokkan dalam responden primer dan responden sekunder. Responden primer antara lain, pedagang kecil, toko atau pengecer, dan kontraktor untuk data upah tenaga kerja. Sedangkan responden sekunder meliputi pihak lain yang terkait data harga bangunan antara lain Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perdagangan/UKM, atau Badan Pusat Statistik ditempat survei dilakukan. Cara pemilihan dan komunikasi dengan  responden di setiap pelaksanaan survei menjadi kunci kesuksesan memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan.   

Analisis SWOT

Pentingnya DKPB sebagai alat bantu penilaian yang banyak bersinggungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) telah disebutkan di atas. Tanpa adanya jaminan mutu,  DKPB akan menghasilkan produk sampah, mengecewakan banyak pihak, dan bahkan menjadi bumerang bagi pemilik/pengelola dan penilai internal. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya DKPB diimprovisasi sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan penilaian yang berkualitas dan akuntabel. Tidak sebatas itu, DKPB  mampu menjadi icon alat bantu yang menjadi andalan dan kebanggan DJKN (internal) yang teruji dan eksitensinya diakui oleh masyarakat (eksternal). Penulis mencoba membuat analisis SWOT sederhana tentang peluang mewujudkan eksistensi DKPB yang “mantap” baik internal maupun eksternal.        

Strength

DKPB dibentuk dan disusun oleh DJKN, suatu unit eselon I Kementerian Keuangan yang memiliki kantor operasional sebanyak 703)  dan Sumber Daya Manusia (SDM) sebanyak 3.451 pegawai. Keberadaan kantor tersebut yang tersebar di seluruh provinsi dan beberapa kota/ kabupaten di Indonesia mampu menjangkau kegiatan hingga ke pelosok nusantara. Ini menjadi kekuatan tersendiri yang tidak dimiliki pihak lain yang berkecimpung dalam dunia penilaian. Lebih spesifik lagi, DKPB disusun per kabupaten/kota di tiap kantor operasional di Indonesia dan diperbaharui setiap tahun, sehingga mampu menghasilkan perhitungan nilai yang update, dan relevan dengan kondisi daerah. 

Performance DJKN selaku pengelola DKPB tidak diragukan,  dengan pengalaman selama 38 tahun mengurus aset dari aset piutang negara hingga aset BMN mampu membuktikan DJKN eksis dan terus berkembang menjadi organisasi besar. Di unit eselon I inilah sedikit demi sedikit kekayaan negara mulai tertata, nilai kekayaan negara yang selama ini masih kabur mulai “terkuak”. DJKN mampu memenuhi amanat sebagai pengelola BMN dengan meliputi kewenangan yang besar sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006. Di samping kemampuan, sebagai unit penyelenggara pemerintahan dukungan sarana dan prasarana yang disediakan cukup menjamin kegiatan dapat berlangsung sepanjang tahun.

Faktor kekuatan lain adalah sejak tahun 2012 DKPB sudah mengggunakan teknik Analisis Harga Satuan (AHS) pekerjaan bangunan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian, harga satuan DKPB yang terbentuk akan semakin valid.

Weakness

Survei adalah ujung tombak kualitas DKPB. Baik hasil survei, baik pula DKPB yang dihasilkan dan demikian pula sebaliknya. Faktor utama kesuksesan survei terdapat pada Sumber Daya Manusia (SDM) atau surveyor. Sayangnya tidak semua SDM memahami/ melaksanakan teknik survei yang baik  sehingga data yang dihasilkan tidak memenuhi syarat sebagaimana panduan yang telah dibuat. Selain itu, sebagai alat bantu yang mempunyai keunggulan jangkauan wilayah paling luas, semestinya DKPB mulai diperkenalkan/eksternalisasi dimasyarakat. Mereka harus menyadari bahwa penilaian yang dilakukan telah memenuhi prosedur  dan berstandar nasional sehingga keraguan akan kualitas Penilai internal di masyarakat (baca: Industri Penilaian) dapat direduksi. Kelemahan lain terkait sebaran wilayah yang luas dengan waktu, dana, dan jumlah personil yang kurang memadai di wilayah tertentu. Di sisi lain mereka harus mendapatkan data harga bangunan, sehingga seorang surveyor lebih mengandalkan responden sekunder atau data yang telah tersedia tanpa analisis lebih lanjut.

Opportunities

DKPB sampai dengan saat ini menjadi andalan utama dalam proses perhitungan bangunan bagi Penilai internal di lingkungan DJKN. Terbukanya cakupan penilaian sebagaimana tertuang dalam KMK Nomor:2/KMK.06/2014 memberikan peluang DKPB dapat diperkenalkan secara luas pada pihak eksternal. Kesempatan ini boleh dijadikan ajang pembuktian bahwa DKPB adalah alat yang kredibel, ilmiah, akuntabel, dan responsibel yang pada akhirnya DKPB mampu menjadi icon alat bantu yang dibutuhkan penilai baik Internal maupun eksternal. Kemampuan sebuah icon untuk mendominasi/menjadi satu satunya “best mark” memberi keuntungan yang luas. Setidaknya kredibilitas pengelola diakui secara luas dan lebih khusus icon akan dijadikan rujukan dalam setiap keperluan penilaian bangunan. Contoh penggunaan yang lebih luas adalah penggunaan DKPB untuk menilai aset pemda. Sepanjang ini pemda belum memiliki alat bantu seperti DKPB sehingga mereka akan kesulitan dalam melakukan penilaian bangunan dengan jumlah banyak. Sementara DKPB belum maksimal dimanfaatkan untuk ikut menunjang pengelolaan aset pemda yang akuntabel. Disisi lain pemda tidak bisa semena mena menggunakan DKPB tanpa keterlibatan penilai internal yang berhak untuk menggunakan DKPB secara sah.

Pihak swasta semisal penilai eksternal dan kantor jasa penilai juga berpotensi sebagai pemakai DKPB. Seperti diketahui, sebaran wilayah Indonesia yang sangat luas membuat tidak semua pihak mampu menjangkau berbagai kepentingan sampai di wilayah terpencil. Kendala biaya dan SDM merupakan faktor dominan. DKPB dengan survei sampai ke pelosok nusantara menjadi pilihan  tepat untuk keperluan mereka.  

Satu satunya swasta yang saat ini berkepentingan mengembangkan alat bantu serupa adalah MAPPI dengan Sistem BTB-nya (Biaya Teknis Bangunan). BTB mulai dikembangkan dilatarbelakangi kebutuhan agar pelaksanaan penilaian (yang dilakukan penilai di bawah naungan MAPPI) dapat lebih seragam, sederhana, cepat, dan efisien sehingga perhitungan  biaya reproduksi baru suatu bangunan dapat terjaga keakurasiannya. Dengan  Keputusan Raker MAPPI tahun 2011 dan tahun 2012, serta Keputusan Munas MAPPI tahun 2012, akhirnya lahir BTB tahun 2013. Sayangnya BTB hanya mampu menjangkau untuk daerah di ibukota provinsi.  

Treath

Secara khusus DKPB tidak mengalami ancaman, namun ekses dari nilai yang bersinggungan dengan kepentingan pihak lain dapat me-reduksi kepercayaan DKPB dan bumerang bagi penilai dan institusi. DKPB juga rawan disalahgunakan apabila penggunaan tidak melibatkan penilai internal. 

Formulasi Pokok Masalah dan Alternatif Pemecahan

Kesimpulan analisis SWOT dapat dijelaskan sebagai berikut. DKPB sebagai alat bantu penilaian bangunan memiliki peran penting terlebih dengan diterbitkannya PMK nomor :2/PMK.06/2014 yang memperluas cakupan penilaian bagi Penilai internal. Keberadaanya yang tersebar diseluruh kabupaten/kota menjadi alat bantu penilaian yang unggul dan relevan untuk memenuhi permintaan penilaian di seluruh Indonesia. Sayangnya survei yang dilakukan dalam proses pembentukan DKPB masih belum optimal karena kendala-kendala tertentu. Secara eksternal DKPB juga belum banyak dikenal dan belum banyak dipergunakan untuk penilaian. Padahal alat bantu ini sangat diperlukan bagi penilai dan dapat dijadikan acuan harga bangunan di wilayah terpencil sekalipun. Di sisi lain, ketidakpuasan pihak ketiga atas hasil penilaian menjadi ancaman yang dapat mereduksi kepercayaan terhadap kredibilitas Penilai internal maupun DKPB itu sendiri.     

Paparan tersebut menjadi tolak pikir bagaimana seharusnya DKPB disikapi. Semakin luasnya tugas fungsi DJKN dalam menilai aset seperti saat ini, menuntut DKPB dihadirkan semakin berkualitas. Oleh sebab itu, langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perlu segera dilakukan. Langkah intensifikasi sebagai upaya perbaikan dari dalam antar lain dengan melakukan tiga hal berikut, yaitu ;

  1. Penjaminan mutu survei oleh surveyor;
  2. Penajaman evaluasi di tingkat evaluator; dan
  3. Pengembangan dan standarisasi penyusunan sesuai SNI.

Tiga langkah tersebut mencerminkan langkah sinergis mulai dari tingkat operasional, supervisor, hingga regulator. Sesuai dengan porsinya, penulis hanya akan mengupas poin b, penajaman evaluasi di tingkat evaluator.

Data survei DKPB yang terdiri atas data  kualitatif dan data kuantitatif, wajib dilakukan verifikasi oleh evaluator dalam hal ini adalah Kanwil DJKN. Data kualitatif terdiri atas jumlah responden, sumber data, dan spesifikasi material, sedangkan data kuantitatif berupa Isian Bahan Survei (IBS). IBS merupakan rekapitulasi survei atas tiga komponen, yang terdiri atas daftar harga bahan bangunan, daftar harga upah kerja, dan daftar harga sewa.        

Ada beberapa teknik sederhana untuk melakukan verifikasi sekaligus menguji apakah data kuantitatif (IBS) tersebut logis ataukah tidak. Pertama, (teknik tren harga) yang diperoleh dari harga survei setidaknya lima tahun ke belakang. Dengan harga tersebut dibuat suatu formulasi sehingga harga tahun berjalan dapat diketahui. Setelah harga diketahui kemudian dibandingkan dengan harga hasil suvei di IBS. Bentuk sederhana dari teknik ini adalah dengan membandingkan IBS tahun berjalan dengan IBS tahun lalu. Apabila terjadi perbedaan harga yang sangat mencolok perlu dikonfirmasi pada surveyor di tingkat opersional.

Teknik kedua, (teknik rata-rata) adalah menggunakan rata-rata semua IBS tahun berjalan dalam lingkup yang luas semisal dalam satu kanwil. Sebagai contoh, pada Kanwil Papua dan Maluku terdapat 41 kota/kabupaten yang dilakukan survei. Dengan mencari rata-rata dari setiap item bahan bangunan IBS, maka dapat diketahui kota/kabupaten mana yang mempunyai harga IBS diatas atau di bawah rata-rata secara ekstrim. Harga yang ekstrim tersebut kemudian sebagai bahan konfirmasi pada surveyor.

Teknik ketiga, (teknik indeks kemahalan kontruksi) adalah teknik menentukan harga estimasi dengan memanfaatkan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik setempat. Sebagaimana diketahui IKK telah dikembangkan BPS sejak tahun 2004, merupakan angka indeks yang menggambarkan perbandingan tingkat kemahalan konstruksi suatu kabupaten/kota atau provinsi dengan IKK kabupaten/kota atau provinsi lain. IKK cukup relevan dengan DKPB mengingat bahan kontruksi yang digunakan dalam perhitungan IKK juga mencakup bahan bangunan utama dan sewa alat. IKK efektif untuk mengestimasi harga bahan bangunan di daerah yang sangat terpencil dan sulit dijangkau dengan kendaraan biasa.

Formulasi antara IBS dengan IKK dapat menghitung berapa harga bahan bangunan di suatu daerah. Sebagai contoh: berapa harga Semen PC di Kabupaten Tolikara Papua, sementara harga semen di ibukota Provinsi Papua (Jayapura) berdasarkan hasil survei di IBS Rp 83.000.-  (IKK Tolikara = 302, IKK Jayapura = 131)

Perhitungannya sebagai berikut :

Persentase Perbedaan IKK Tolikara dengan IKK Jayapura

= (302-131)/131 x 100%

= 130,5 %

Jadi Harga Semen di Kabupaten Tolikara adalah

= 130,5 %  x  Rp 83.000

= Rp 108.315

Jika harga estimasi sudah diperoleh dengan formulasi IKK tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi data di IBS Kab. Tolikara untuk bahan bangunan Semen PC. Apabila terdapat perbedaan ekstrim, harus dikonfirmasi pada surveyor kantor operasional. Pelaksanaan verifikasi hasil survey secara ketat diharapkan menghasilkan DKPB yang akuntabel sehingga menimbulkan kepercayaan diri dan kebanggaan bagi Penilai internal.

Memperkenalkan DKPB sebagai alat bantu penilaian adalah upaya mewujudkan eksistensi unit/organisasi penilaian yang lebih luas di masyarakat. Semakin kuat eksistensinya semakin tinggi tingkat keandalan DKPB di Masyarakat yang pada akhirnya DKPB menjadi rujukan utama dalam berbagai kepentingan penilaian bangunan. Dampak positifnya adalah ketidakpuasan pihak ketiga atas hasil penilaian dapat direduksi.  Dua langkah ekstensifikasi DKPB yang dapat dilakukan meliputi;    

  1. Eksternalisasi fungsi penilaian dalam rangka penunjang pengelolaan BMD;
  2. Penumbuhan penilai internal;

Eksternalisasi fungsi penilaian terutama dilakukan di pemda mempunyai kontribusi yang sangat signifikan. Menurut data BPK RI dalam siaran pers tanggal 12 November 2013, terdapat 302 LKPD dari 415 LKPD atau 72,8 % masih dalam catatan WDP, TW, dan TMP. Sisanya sebanyak 113 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) telah dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pengeloaan dan pelaporan aset BMD yang buruk boleh jadi salah satu penyumbang catatan tersebut. Oleh sebab itu, Penilai internal dengan kewenangan yang ada dapat berkontribusi mewujudkan LKPD berpredikat WTP.

Semakin banyak pemda menggunakan penilai internal menunjukan eksternalisasi fungsi penilaian berjalan dengan baik. Kedepan tidak hanya pemda yang akan menggunakan penilai internal tetapi juga instansi lain seperti BUMN dan BUMD. Konsekuensinya makin banyak dibutuhkan penilai internal. Kebutuhan tersebut agaknya mulai disikapi oleh pihak terkait untuk mengadakan sendiri penilainya terlepas dari penilai sebagaimana dimaksud dalam PMK nomor 2/PNK.06/2014. Sebagai contoh di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah ada penilai untuk menilai bidang tanah dan menilai tanah kawasan. Bukan mustahil dengan dilimpahkannya pengelolaan pajak bumi dan bangunan, BPN menjadi pionir utama pemda untuk melakukan kegiatan penilaian tidak hanya tanah tetapi juga bangunan di wilayahnya.

Peluang yang terbuka lebar, perlu diantisipasi dengan cepat. Penumbuhan penilai internal dipercepat dan direncanakan sefektif mungkin. Wacana penumbuhan penilai internal  (di pemerintahan) sebenarnya telah dimulai beberapa waktu lalu dengan adanya Munas Ikatan Penilai Pemerintah Indonesia. Diharapkan penilai internal nantinya tersebar diseluruh instansi pemerintah dan saling sinergi menjawab kebutuhan yang ada. Penumbuhan dimaksud makin baik bila diikuti peningkatan pendidikan dan pelatihan dengan melibatkan kerjasama pemda setempat yang saat ini sangat membutuhkan penilai internal.

Kesimpulan

Peningkatan kualitas DKPB menuju eksistensi “mantap” internal dan eksternal merupakan konsekuensi logis dengan makin berkembangnya peluang penilaian sebagaimana disebut dalam PMK Nomor :2/KMK.06/2014 tentang Penilai internal. Upaya mewujudkan hal tersebut dapat dilakukan secara intensif dan ekstensif sehingga dengan kemampuan yang ada DKPB menjadi alat bantu penilaian yang andal dan dibanggakan oleh penilai internal selaku pengguna, dikenal masyarakat, dan berkontribusi positif terhadap pengelolaan aset negara. (Teks Wahidin HP. 0853-79022075 e-mail :wahidgusdun@gmail.com)

Sumber Data:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 2/PMK.06/2014
  2. “Daftar Jumlah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Se-Indonesia”  www.otda.kemendagri.go.id
  3. Profil DJKN – Unit Kerja Vertikal, www.djkn.kemenkeu.go.id
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini