Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Signifikansi Reward System dan Efektivitas Penerapan Indikator Kinerja Utama
N/a
Rabu, 13 November 2013 pukul 18:50:10   |   2211 kali

Sejak tahun 2009, Kementerian Keuangan RI telah menerapkan sistem pengelolaan kinerja pegawai berbasis Balance Scorecard (BSC). Terlepas dari segala kekurangannya, penerapan sistem BSC yang di lingkungan Kementerian Keuangan RI direalisasikan dalam bentuk Kontrak Kinerja yang mencantumkan butir-butir Indikator Kinerja Utama (IKU) ini dapat dibilang cukup berhasil. Secara garis besar, IKU berfungsi memotret kinerja pegawai secara individu guna menentukan prestasi pegawai yang bersangkutan. Selain itu, IKU juga berfungsi sebagai “cambuk” yang memaksa pegawai yang telah diikat dengan Kontrak Kinerja untuk melaksanakan tugasnya. Jika pegawai yang bersangkutan tidak memenuhi target yang tercantum dalam Kontrak Kinerja, berarti terdapat dua kemungkinan, yaitu pegawai tersebut belum maksimal dalam berusaha memenuhi target, atau memang penetapan targetnya yang sejak awal terlalu tinggi.

Idealnya pimpinan unit yang memastikan perihal “bersih-tidaknya” Laporan Capaian Kinerja dari kantornya masing-masing. Namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa tanpa pengawasan yang ketat, tentunya masing-masing pimpinan tidak ingin capaian unit yang dipimpinnya buruk, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadinya IKU gaming. Solusi pragmatis yang menurut saya sedikit banyak akan efektif adalah dilakukannya sistem pengawasan dan pengendalian terhadap proses pembuatan laporan IKU dan Capaian Kinerja Pegawai (CKP) dari pihak eksternal unit yang bersangkutan, misalnya dari Inspektorat Jenderal atau dari Direktorat Kepatuhan Internal. Audit terhadap laporan keuangan itu sudah biasa dan semua orang mengerti akan pentingnya hal ini, tetapi audit terhadap BSC di DJKN sampai saat ini belum dilaksanakan, padahal hal ini, terutama jika reward system berjalan, sama pentingnya.

Ada juga kritikan terhadap validitas IKU dalam memotret kinerja pegawai. Menurut saya jika memang ingin meningkatkan validitas tentunya sistem pengawasannya harus berjalan. Dan secara hipotesis, kalaupun sistem pengawasan itu berjalan dan CKP sudah berhasil mencerminkan kinerja pegawai dengan tingkat akurasi 100%, toh dalam birokrasi di negara kita ekspektasi minimal terhadap kinerja masing-masing pegawai tidak ditentukan secara tegas. Walaupun ada Uraian Jabatan, tetap saja pimpinan tiap unit mempunyai kewenangan dalam menetapkan butir-butir IKU pegawainya, terutama untuk level Kepala Seksi dan Pelaksana yang KK nya hanya bersifat template. Intinya? Bahkan pegawai yang paling tidak kompeten  sekalipun akan bisa secara “sah dan meyakinkan menurut hukum” mencapai angka capaian 100% jika target dan IKU yang ditetapkan oleh atasannya sangatlah jauh dari kata “berat”. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai para under achiever, karena masih kentalnya rasa kekeluargaan, dan memang ada nilai loyalitas yang harus sedikit banyak kita hargai.

“Berkaitan dengan penerapan Balance Scorecard, para karyawan akan lebih termotivasi untuk melaksanakan strategi yang telah digariskan bila mereka juga melihat ada sistem insentif yang terkait dengan strategi itu.”[1] demikian pendapat Suwardi Luis dan Prima A. Biromo terkait dengan penerapan BSC. Saya cukup mengerti bahwa pemberian reward dalam konteks instansi pemerintah tidak bisa seluwes instansi swasta yang profit oriented, yang dapat memberikan berbagai macam bonus termasuk dalam bentuk uang kepada pegawai yang berprestasi. Namun reward tidak hanya berbentuk uang, melainkan juga kesempatan untuk menaiki jenjang karir, mengembangkan diri, dan pemberian wewenang lebih dalam bekerja. Beberapa pimpinan unit di Kementerian Keuangan RI umumnya dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) khususnya telah melakukan hal ini dan memberikan reward sebatas kewenangannya kepada pegawai-pegawai yang dianggap berprestasi, namun tetap saja pemberian reward ini dibatasi oleh kebijakan yang lebih tinggi, terutama pada level Eselon I dan Kementerian.

Menurut saya, harus ada kebijakan di level Kementerian dan Eselon I yang mengakomodasi pemberian reward. Saya contohkan bentuk reward tersebut bisa jadi dalam bentuk pengesahan insentif terhadap pegawai dengan posisi tertentu yang memiliki risiko pekerjaan tertentu (seperti misalnya Pejabat Lelang), atau yang paling minimal adalah pemberian kesempatan bagi pegawai di level manapun untuk berkembang melalui pendidikan dengan menghilangkan aturan-aturan perizinan yang menghambat melanjutkan pendidikan. Perihal ujian penyetaraan jabatan pun seharusnya dibuka secara bebas asal pegawai yang bersangkutan memiliki ijazah yang diperlukan. Bagaimana dengan kontrol kualitas SDM jika persyaratan administrasi mengikuti ujian penyetaraan dipermudah? Menurut saya jika persyaratan dipermudah tentunya kuantitas pegawai yang mengikuti ujian penyetaraan tersebut akan lebih banyak dan secara otomatis penyaringannya akan lebih ketat,  jika dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Sekarang dengan adanya BSC diharapkan adanya perbaikan atas penghargaan terhadap prestasi seseorang. Tapi ibarat bayi yang baru lahir, tentu ada proses perbaikan secara bertahap dalam implementasinya. Diharapkan suatu saat di masa depan akan tampak perbedaannya antara under achiever dengan over achiever, dalam satu maupun lain hal. (Timothée K.M.)

                                                                                                                                

[1] Suwardi Luis, B.PSy., MBA, DR. Ir. Prima A. Biromo, Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional Scorecards, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Barat, hlm. 11

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini