Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Pengelolaan Aset yang Dirampas melalui Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture: Suatu Perbandingan Indonesia - Thailand
Irma Reisalinda Ayuningsih
Jum'at, 05 Mei 2023 pukul 19:39:25   |   4523 kali

Pendahuluan

Pada tanggal 29 April 2021, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan 2nd PPATK Legal Forum “Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana: Pantaskah Masuk Prioritas?”.[1] Forum tersebut menyimpulkan hal-hal antara lain: Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) akan memberikan efek jera bagi tindak pidana khusus yang motifnya ekonomi; RUU Perampasan Aset akan memberikan keadilan bagi warga negara; RUU Perampasan Aset akan memberikan terobosan hukum di Indonesia; serta diperlukan adanya kolaborasi kelembagaan untuk melaksanakan upaya perampasan aset ini.[2] Sebagaimana diketahui bahwa RUU Perampasan Aset ini merupakan pelaksanaan dari United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003).

UNCAC 2003 antara lain mengatur mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) atau perampasan aset in rem atau perampasan aset tanpa pemidanaan.[3] NCBAF ini menjadi semakin penting untuk asset recovery ketika pelaku tindak pidana meninggal, telah meninggalkan yurisdiksi, kebal dari penyelidikan atau penuntutan, atau pada dasarnya terlalu kuat untuk dituntut.[4] NCBAF merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh pelaku kejahatan dimungkinkan untuk dirampas kembali.[5] Dengan konsep ini dimasukkan dalam UNCAC, maka diharapkan perampasan aset hasil tindak pidana dalam penegakan hukum nantinya akan lebih mudah. Ketentuan NCBAF akan menjadi sangat fungsional dan efektif dalam pengembalian aset hasil kejahatan korupsi secara internasional.[6]

Dalam pelaksanaannya, PBB menerbitkan pedoman-pedoman (guidelines) yang mencakup substansi yang lebih spesifik dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya pemulihan terhadap dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut. Salah satu guidelines adalah Stolen Asset Recovery (StAR) initiative yang hanya menyediakan bantuan teknis dan dana untuk pelacakan serta pengembalian aset. Lebih lanjut, secara substansi materiil PBB dan World Bank menerbitkan sebuah literatur yang ditujukan sebagai buku panduan (guidelines) yang disusun secara ilmiah dan berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan secara kolaborasi. Pedoman tersebut diberi judul utama “Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture” yang disusun oleh Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray.[7]

Petunjuk dalam buku StAR diatur menjadi tiga bagian utama, untuk mengembangkan suatu rencana tindak guna mendukung nasionalisasi dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan pemulihan aset dibawah UNCAC. Bagian A memperkenalkan perampasan aset berdasarkan NCBAF sebagai satu alat penting untuk melawan korupsi. Bagian B memuat 36 konsep kunci (key concept). Bagian C memuat sejumlah kontribusi khusus tertulis.[8] Ke-36 (tiga puluh enam) konsep tersebut disusun dalam 8 (delapan) section tittle sebagai penggolongan ruang lingkup penggunaan konsepnya, antara lain Organizational Considerations and Asset Management (Beberapa Pertimbangan terkait Organisasi dan Pengelolaan Aset) terdiri dari beberapa konsep kunci.[9]

Dari 187 (seratus delapan puluh tujuh) negara pihak, terdapat 140 (seratus empat puluh) negara, termasuk Indonesia[10] dan Thailand, yang telah menandatangani konvensi tersebut.[11] Salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang telah melaksanakan mekanisme ini adalah Thailand[12]. Thailand memiliki dasar hukum pelaksanaan NCBAF yaitu Undang-Undang Anti Pencucian Uang 1999 (Anti Money Laundering Act B.E. 2542). Undang-Undang ini merupakan dasar bagi Pemerintah Thailand antara lain untuk membentuk Anti Money Laundering Office (AMLO) dan Anti-Money Laundering Fund (AMLF).[13] Sedangkan Indonesia masih sebatas penyusunan RUU Perampasan Aset. Konsep NCBAF ini merupakan hal baru bagi Indonesia bahkan berbeda dengan ketentuan yang ada. Sampai dengan diratifikasinya UNCAC 2003, Indonesia hanya menganut konsep in personam, yaitu menghukum pelaku terlebih dahulu baru kemudian aset yang menjadi barang bukti dapat ditentukan statusnya.[14] Tidak seperti Thailand, pelaksanaan perampasan aset beserta pengelolaannya dilaksanakan oleh tiga institusi yaitu Pusat Pemulihan Aset – Kejaksaan Agung, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara – Kementerian Keuangan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara – Kementerian Hukum dan HAM.[15] Selain itu, tidak ada pula pendanaan khusus bagi ketiga intitusi tersebut dalam melaksanakan pengelolaan perampasan aset.

Mekanisme perampasan NCBAF ini telah banyak dibahas baik dalam buku maupun artikel jurnal. Namun, tidak ada buku atau artikel jurnal yang membahas spesifik mengenai konsep kunci terkait organisasi dan pengelolaan aset rampasan dengan membandingkan pelaksanaan di Indonesia dan Thailand. Sehingga, Penulis berpendapat bahwa penelitian ini memiliki unsur kebaruan (novelty)

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan tersebut di atas, diketahui bahwa NCBAF merupakan mekanisme perampasan aset yang dapat mengembalikan kerugian negara lebih produktif daripada mekanisme perampasan aset lainnya. Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih terkonsentrasi pada sasaran yang diharapkan, maka penelitian ini memfokuskan kepada perbandingan pelaksanaan konsep kunci di Indonesia dan Thailand, yaitu: a. organisasi/unit mana yang memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki dan menuntut kasus perampasan; b. sistem seperti apa yang mendukung pengelolaan perampasan aset; c. mekanisme pembiayaan seperti apa agar pengelolaan perampasan aset menjadi efektif.

Metode Penelitian

Dari uraian pada pendahuluan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa Thailand merupakan negara yang berhasil melaksanakan mekanisme NCBAF, begitu pula dengan pengelolaan aset rampasannya. Oleh karena itu, diharapkan dapat dijadikan acuan bagi Indonesia dalam melaksanakan NCBAF dan pengelolaan aset rampasan. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research) dengan menggunakan perspektif perbandingan hukum. Comparative jurisprudence didefinisikan sebagai suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.[16] Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum yang kritis, dimana tidak hanya mementingkan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semata-mata sebagai fakta, melainkan juga untuk mengetahui apakah penyelesaian secara hukum atas sesuatu masalah itu dapat dipraktikkan, adil, dan alasan penyelesaiannya.[17] Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait, seperti KUHP. Selain itu juga menggunakan bahan sekunder yang didaptkan dari buku, jurnal, dan putusan pengadilan. Data dimaksud kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif dengan penyajian deskriptif-analitis.

Pengelolaan Aset Rampasan di Indonesia

Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang diundangkan pada tanggal 18 April 2006, tindak lanjut atas pengaturan NCBAF UNCAC 2003 masih sebatas Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). RUU PA ini antara lain mengatur mengenai Lembaga Pengelola Aset, tata cara pengelolaan aset, dan pendanaan. Mekanisme perampasan yang dianut oleh Indonesia sampai dengan saat ini adalah perampasan in personam atau criminal forfeiture.

Pengaturan pengelolaan aset rampasan antara lain mengacu pada ketentuan Pasal 273 ayat (3) KUHAP. Selanjutnya adalah Bab IX Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selain itu, terdapat pula peraturan di beberapa instansi Kementerian/Lembaga (K/L), seperti Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-03/B/8.5/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan. Peraturan perundang-undangan lainnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020, Peraturan Kejaksaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

a) Lembaga Pengelola Aset

Indonesia mempunyai beberapa institusi yang mengelola aset rampasan. Pada 2nd PPATK Legal Forum “Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana: Pantaskah Masuk Prioritas?”, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa terdapat sejumlah institusi memiliki kompetensi dan fasilitas dalam mengelola rampasan aset hasil tindak pidana. Adapun institusi dimaksud adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), lalu ada Pusat Pemulihan Aset (PPA), dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).[18]

DJKN merupakan unit eselon 1 di Kementerian Keuangan yang mendapatkan pelimpahan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari barang rampasan negara. Barang rampasan negara dimaksud merupakan barang yang diserahkan oleh Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) atau Oditurat Tentara Nasional Indonesia (Oditurat).[19] Pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah dilimpahkan tersebut dilaksanakan oleh DJKN dan pejabat lainnya di lingkungan DJKN, seperti Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, Kantor Wilayah DJKN, dan Direktur.[20] Penyelesaian barang rampasan meliputi pengurusan, yang dilakukan melalui mekanisme penjualan[21], dan pengelolaan, yang dilakukan melalui mekanisme penetapan status penggunaan, pemindahtanganan, pemanfaatan, pemusnahan, dan/atau penghapusan.[22]

PPA merupakan satuan kerja di bawah Kejaksaan Agung yang bertanggung jawab memastikan terlaksananya pemulihan aset di Indonesia secara optimal dengan pola sistem pemulihan aset terpadu (integrated asset recovery system) secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.[23] PPA sebagai Centre of Integrated Asset Recovery System mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pemulihan aset dengan kemampuan "follow the asset:', merupakan koordinator satuan kerja Kejaksaan yang terkait dengan pemulihan aset, serta memiliki kewenangan/kemampuan untuk berhubungan langsung dengan berbagai K/L, institusi dan jaringan/agensi formal maupun informal, di dalam dan di luar negeri.[24] Pemulihan aset merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi proses penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset terkait tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dan/atau aset lainnya, kepada negara/yang berhak.[25]

Rupbasan merupakan satuan kerja di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pengelolaan barang rampasan negara secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pelayanan Tahanan dan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara. Direktorat ini memiliki tugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta mengelola barang rampasan negara.[26] Pengelolaan barang rampasan negara meliputi kegiatan pengelolaan penerimaan, pendaftaran, pengklasifikasian dan penempatan, pemeliharaan, pengamanan, pemutasian, pengeluaran.[27]

b) Sistem Informasi dan Teknologi Pendukung

Masing-masing lembaga pengelolaan aset yang tersebut pada subbab 2.1. memiliki aplikasi sistem pengelolaan aset atau barang rampasan yang berbeda dan tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Dalam mengelola barang rampasan negara, Menteri Keuangan c.q. DJKN menerima laporan barang rampasan negara secara semesteran dan tahunan dari Kejaksaan Agung, KPK, dan Oditurat.[28] Penyusunan laporan ini dilakukan dengan cara manual dan sistem aplikasi pendukung.[29] Dalam melaksanakan tugas dan fungsi terkait pengelolaan barang rampasan negara, DJKN memiliki aplikasi Modul Kekayaan Negara Lain-lain (KNL) yang dapat diakses oleh DJKN dan Kejaksaan Agung.[30]

Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas sebagai Centre of Integrated Asset Recovery System, PPA didukung dengan sistem Asset Recovery Secured-data System (ARSSYS). ARSSYS berisikan himpunan dan database yang dikelola dengan andal, aman, dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Sistem ini juga terkoneksi dengan seluruh satker Kejaksaan dan K/L yang terkait dengan kegiatan pemulihan aset seperti Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, BPN dan PPATK sesuai dengan kebutuhannya.[31]

Sedangkan Rupbasan juga memiliki sistem pengelolaan barang rampasan negara yaitu Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang berisikan fitur Rupbasan.[32] Selain itu, masing-masing rupbasan juga membuat sistem pengelolaan barang rupbasan, seperti Sistem Informasi Basan Baran Terintegrasi Rupbasan (SIBBIRU) pada Rupbasan Kelas II Wates[33], Sistem Informasi Bank Data Benda Sitaan dan Barang Rampasan (SIBABA) pada Rupbasan Kelas I Bandung[34], Sistem Informasi Tayangan Perawatan Barang (SITU RABA) pada Rupbasan Kelas II Wonosari[35], dan Sistem Rupbasan Siji Surabaya (Si Rusiya)[36].

c) Pendanaan

DJKN, PPA, dan Rupbasan merupakan satuan kerja pada suatu K/L yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara dimaksud menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan selanjutnya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pengelolaan barang rampasan negara, DJKN, PPA, dan Rupbasan menggunakan dana APBN.

Dalam pengelolaan barang rampasan negara tersebut di atas menghasilkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Instansi pengelola PNBP dimaksud dapat mengusulkan pengguna dana PNBP yang dikelolanya kepada Menteri Keuangan. Penggunaan dana dimaksud digunakan dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan PNBP dan/atau peningkatan kualitas penyelenggaraan pengelolaan PNBP dan/atau kegiatan lainnya dan/atau optimalisasi PNBP. Selanjutnya, Menteri Keuangan akan meneliti usulan dimaksud dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara, kebijakan fiskal, dan/atau kebutuhan pendanaan instansi pengelola PNBP.[37]

Pengelolaan Aset Rampasan di Thailand

Pada bagian pendahuluan tersebut di atas telah disampaikan bahwa salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang melaksanakan mekanisme NCBAF adalah Thailand. NCBAF di Thailand diatur melalui Undang-Undang Anti Pencucian Uang 1999 (Anti-Money Laundering Act B.E. 2542 - AMLA), sebagaimana telah diubah terakhir melalui Anti-Money Laundering Act (No. 4) B.E. 2556 (2013)[38]. AMLA terdiri dari 66 Section 8 Chapter, yaitu Chapter I General Provisions, Chapter II, Chapter III Anti-Money Laundering Board, Chapter IV Transaction Committee, Chapter V Anti-Money Laundering Office, Chapter VI, Chapter VI/I Anti-Money Laundering Fund, Chapter VII Penalties.[39]

Selain peraturan tersebut di atas, terdapat pula peraturan pelaksana seperti Ministerial Regulation (Peraturan Menteri) yang diterbitkan dengan mengacu pada ketentuan AMLA, antara lain Ministerial Regulation No. 5 (consolidated 2011-2019), Ministerial Regulations Prescribing Transactions Which Financial Institutions and Professions under Section 16 are Required to Conduct Customer Identification B.E. 2562 (2019), Ministerial Regulation No. 15 B.E. 2562 (2019) (Addition to No. 1), Ministerial Regulation No. 12 B.E. 2554 (2011) (Addition to No. 4), Ministerial Regulation No.11 B.E. 2554 (2011) (Addition to No. 1), Ministerial Regulation No.10: Seizure and Attachment of Property, Ministerial Regulation No.9: Petition to Revoke the Seizure of Attachment of Property.[40] Peraturan pelaksana lainnnya yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan aset adalah Ordinances, antara lain AMLB Ordinance on Rules, Procedures and Conditions for Organizing Training for Reporting Entities under Section 13 and Section 16 B.E. 2559 (2016), AMLB Ordinance concerning Supervision, Examination, and Assessment of Compliance with the Law on AML of REs (2016), Anti-Money Laundering Board Ordinance on Permitting the Stakeholder to Take the Property for Custody and Utilization, Putting up the Property for Auction and Using the Property for Benefits to the Authority B.E. 2543 (2000), Anti-Money Laundering Board Ordinance on Putting up the Property for Auction 2001, Anti-Money Laundering Board Ordinance on the Custody and Management of the Seized or Attached Property B.E. 2543 (2000), Anti-Money Laundering Board Ordinance on the Damages and Depreciation Appraisal B.E. 2543 (2000).[41]

a) Lembaga Pengelola Aset

AMLA merupakan dasar mendirikan Anti-Money Laundering Office (AMLO). AMLO adalah lembaga penegak hukum yang independen dan netral. AMLO mempunyai kewenangan dan tugas, yaitu: (1) melaksanakan ketentuan sebagai pelaksanaan resolusi Anti-Money Laundering Board dan Transaction Committee dan melaksanakan tugas-tugas administratif lainnya; (2) menerima laporan transaksi yang disampaikan berdasarkan Bab II dan mengakui penerimaan dimaksud serta menerima laporan dan informasi yang terkait dengan transaksi dari sumber lain; (3) menerima atau menyebarkan laporan atau informasi untuk pelaksanaan ketentuan AMLA atau undang-undang lain atau berdasarkan perjanjian yang dibuat antara lembaga domestik atau asing; (4) menetapkan pedoman untuk kepatuhan, mengawasi, memeriksa dan mengevaluasi entitas pelaporan tentang pelaksanaan AMLA sesuai dengan aturan, prosedur dan pedoman yang ditetapkan oleh tata cara Anti-Money Laundering Board; (5) mengumpulkan, mengumpulkan data, statistik, memeriksa, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan AMLA dan menganalisis laporan atau data yang terkait dengan transaksi, dan menilai risiko yang berkaitan dengan pencucian uang dan pendanaan teroris; (6) mengumpulkan bukti untuk tujuan mengambil proses hukum terhadap pelanggar berdasarkan AMLA; (7) untuk melakukan proyek-proyek yang berkaitan dengan penyebaran pengetahuan, pemberian pendidikan dan pelatihan di bidang-bidang yang melibatkan pelaksanaan Undang-Undang ini, atau untuk memberikan bantuan atau dukungan kepada pemerintah dan sektor swasta dalam menyelenggarakan proyek-proyek tersebut; dan (8) untuk melakukan tindakan lain berdasarkan AMLA atau berdasarkan undang-undang lain.[42]

Struktur organisasi AMLO dikepalai oleh Sekretaris Jenderal yang bertugas secara independen dan netral melaksanakan pengawasan umum urusan resmi AMLO. Sekretaris Jenderal bertanggungjawab langsung Menteri Kehakiman. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal dibantu oleh Deputi Sekretaris Jenderal yang bertugas untuk membantu dalam memberikan arahan dan melakukan tugas resmi.[43] Selain dibantu oleh Deputi Sekretaris Jenderal, Sekretaris Jenderal juga dibantu antara lain oleh Divisi Legal Affairs yang bertindak sebagai Penasihat bagi Anti-Money Laundering Law, Measure. Dalam melaksanakan tugasnya, Divisi Legal Affairs ini membawahi Asset Management Division[44]

Asset Management Division bertugas (1) melanjutkan dengan pembentukan sistem akuntansi properti penyimpanan dan pemeliharaan serah terima aset kepada Kementerian Keuangan. Pengembalian kepada pemilik dan penilaian properti sesuai dengan Undang-Undang Anti Pencucian Uang; (2) mengambil tindakan atas pembentukan sistem manajemen aset yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk menerima aset untuk diurus dan digunakan. Penggunaan properti untuk digunakan pemerintah untuk janji sewa manajer termasuk survei properti untuk manajemen aset sesuai dengan undang-undang tentang anti pencucian uang; (3) untuk melaksanakan proses sehubungan dengan penjualan aset dengan lelang berdasarkan undang-undang tentang anti pencucian uang; (4) melaksanakan operasi dalam kaitannya dengan administrasi Dana Anti Pencucian Uang; (5) melaksanakan tugas sekretaris komite dalam kaitannya dengan manajemen aset; (6) untuk bekerja bersama dengan atau mendukung operasi lembaga lain yang bersangkutan atau ditugaskan.[45]

Struktur internal Asset Management Division ini terdiri dari Division Director, General Administration Section, Storage and Delivery of Assets, Asset Management Section, Property Auction Section, dan Fund Section. Unit pertama, Division Director bertugas untuk merencanakan, mengelola, mengorganisir, mengarahkan, mendelegasikan, mengawasi, merekomendasikan, meninjau, mengevaluasi, membuat keputusan, dan menyelesaikan masalah dalam pelaksanaan tugas Asset Management Division. Unit kedua, General Administration Section bertugas sebagai supervisor yang mengurus administrasi perkantoran dan memeriksa kinerja para pegawai Asset Management Division dalam rangka pengelolaan aset yang efektif. Unit ketiga, Storage and Delivery of Assets memiliki tanggung jawab utama, antara lain (1) mengawasi, merekomendasikan, merencanakan, dan mengembangkan sistem akuntansi aset berupa penyimpanan dan pemeliharaan aset, serah terima aset kepada Kementerian Keuangan, mengembalikan aset properti kepada pemiliknya, dan melakukan penilaian aset; (2) mengawasi, memeriksa, merekomendasikan, mencari, mengumpulkan, memverifikasi fakta, informasi, bukti tentang aset dalam rangka pengelolaan aset sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Unit keempat, Asset Management Section bertugas antara lain (1) melaksanakan dan mengembangkan proses pengelolaan aset sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait; (2) memeriksa dan merekomendasikan investigasi properti dan menganalisis, mencari, mengumpulkan, memverifikasi fakta, informasi, bukti tentang aset agar pengelolaan aset sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait; (3) merencanakan, menyiapkan sistem dan model manajemen aset; (4) menyusun buku pedoman operasional pengelolaan aset. Unit kelima, Property Auction Section memiliki tugas antara lain (1) merekomendasikan, merencanakan, dan mengembangkan proses penjualan dan pelelangan properti agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait; (2) mengumpulkan, memverifikasi fakta, informasi, bukti tentang aset properti agar aset tersebut dapat dijual melalui lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Unit keenam, Fund Section bertugas untuk merencanakan dan mengembangkan sistem akuntansi aset, termasuk terkait dana penyimpanan, perawatan, dan pengelolaan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan. [46]

b) Sistem Informasi dan Teknologi Pendukung

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, AMLO didukung dengan berbagai sistem, antara lain AMLO Electronic Reporting System (AERS), AMLO Financial Information Cooperation System (AMFICS), AMLO Mail, AMLO Risk Assessment and Case Management (AMRAC), AMLO Person Screening System (APS), Litigation System, dan sistem audit terkait customers profiling.[47] Sedangkan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan aset, Asset Management Division didukung dengan sistem informasi dan teknologi, yang disebut AMLO’s Consolidated Asset Tracking System (AMCATS).

AMCATS beroperasi secara akuntabel dan transparan dengan merekam dan melacak semua data yang relevan dengan penyitaan setiap aset. AMCATS menangkap rincian tentang penyitaan, nama aset, nilai aset, nama kasus, perintah perampasan, perintah pengadilan, lokasi penyimpanan aset, pendapatan yang dihasilkan oleh aset dan pengeluaran yang timbul dalam mempertahankannya, rincian lelang (nama penawar, harga yang diusulkan, harga jual), dan, jika berlaku, informasi yang relevan mengenai penempatan aset ke dalam penggunaan resmi oleh Pemerintah. Dengan merekam dan melacak data ini, AMLO lebih mampu menjalankan fungsi manajemen asetnya—dapat dengan mudah menghasilkan laporan, menghasilkan statistik, memperhitungkan inventarisnya, dan memperkirakan dan mengontrol biaya manajemen aset.[48]

c) Pendanaan (Anti-Money Laundering Fund)

Pada 2 Maret 2008, Amandemen AMLA mengharuskan pembentukan Anti-Money Laundering Fund (AMLF) untuk memfasilitasi mekanisme yang efisien dan hemat biaya untuk administrasi aset yang disita, untuk menyediakan sumber daya untuk program penyitaan, dan untuk memungkinkan pembagian aset. Setelah aset telah dirampas atas perintah akhir dari Pengadilan (Civil Court), sebagian dari uang atau aset yang dirampas diteruskan ke Kementerian Keuangan untuk kepentingan perbendaharaan nasional. Sisanya disimpan dalam AMLF. Demikian pula, hasil dari aset yang ditinggalkan dan disumbangkan serta aset yang dimiliki oleh pemerintah Thailand atau asing lainnya disetorkan ke dana dan perbendaharaan nasional. Berdasarkan Section 59 AMLA, administrasi dana akan sesuai dengan peraturan yang sedang disusun pada awal 2009. [49]

AMLF di dalam AMLO untuk tujuan anti pencucian uang sebagai berikut (1) memfasilitasi pelaksanaan penyelidikan, penuntutan, penggeledahan, penyitaan, manajemen aset, pelaporan petunjuk, perlindungan saksi, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan anti pencucian uang, termasuk membantu lembaga lain, pihak terkait dan masyarakat dalam tindakan tersebut; (2) meningkatkan kerja sama dengan lembaga lain, pihak terkait dan masyarakat dalam penyediaan dan penyebaran informasi, pertemuan atau kursus pelatihan, kerjasama domestik dan internasional, dan operasi untuk mendukung langkah anti pencucian uang; (3) melaksanakan tindakan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan Undang-Undang ini.[50]

Pengeluaran atau remunerasi lain yang harus dibayarkan kepada lembaga lain, orang lain, pejabat yang kompeten, pejabat publik atau pejabat lain yang melakukan tugas, membantu atau mendukung pelaksanaan tugas untuk memastikan eksekusi yang efisien dan efektif berdasarkan AMLA harus dicairkan dari AMLF sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh Dewan (Anti-Money Laundering Board) dengan persetujuan Kementerian Keuangan.[51] Dalam waktu enam bulan dari akhir setiap tahun fiskal, Sekretaris Jenderal AMLO akan menyajikan neraca dan laporan pengeluaran dana untuk tahun sebelumnya, yang diperiksa dan disahkan oleh Kantor Auditor Jenderal, kepada Dewan dan Menteri.[52]

Analisa Perbandingan

a) Lembaga Pengelola Aset

Dalam melaksanakan NCBAF diperlukan suatu otoritas atau lembaga penegak hukum yang memiliki keterampilan khusus dalam melakukan investigasi terhadap tindak pidana perekonomian dengan menggunakan pendekatan follow the money. Pada beberapa negara pelaksanaan NCBAF dilaksanakan oleh lembaga yang sudah terbentuk, tanpa perlu membentuk lembaga penegak hukum yang baru. [53] Namun, perlu ditekankan bahwa masing-masing negara harus mengkaji terlebih dahulu variasi model otoritas/lembaga penegak hukum dan menentukan pilihan yang tepat dengan hukum yang berlaku di negara dimaksud.[54]

Di Thailand, kewenangan untuk melaksanakan NCBAF dilaksanakan oleh AMLO, yang merupakan otoritas atau lembaga yang telah terbentuk sebelum UNCAC disahkan. AMLO bertanggungjawab untuk menginvestigasi kasus tindak pidana pencucian uang dan menearapkan NCBAF terhadap kasus dimaksud. AMLO memiliki kewenangan luas untuk mengidentifikasi, melacak, mencari, menahan, dan menyita hasil ilegal yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. AMLO juga berfungsi sebagai unit intelijen keuangan/Financial Intelligence Unit (FIU) Thailand. Selain itu, AMLO memiliki tanggung jawab atas pengelolaan aset yang dirampas.[55] Kewenangan pengelolaan aset yang dirampas dilaksanakan terpusat oleh AMLO c.q. Asset Management Division. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan aset dapat optimal dan menghasilkan pemulihan aset (asset recovery) yang besar bagi AMLO.

Namun, hal tersebut di atas tidak dilaksanakan di Indonesia yang masih menggunakan pendekatan follow the suspect. Aset rampasan negara dikelola oleh tiga K/L yang berbeda yang bukan berfungsi sebagai FIU Indonesia, yaitu DJKN Kementerian Keuangan, PPA Kejaksaan Agung, dan Rupbasan Kemenkumham. Meskipun demikian, ketiga K/L dimaksud tetap dapat bersinergi dalam mengelola aset rampasan. Misalnya, PPA bekerjasama dengan KPKNL yang merupakan instansi vertikal DJKN Kementerian Keuangan untuk melelang aset rampasan. Contoh lainnya adalah pemanfaatan aset rampasan negara sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021.

Apabila mengacu pada perbandingan antara AMLO dan tiga K/L pengelola aset rampasan di Indonesia dapat disimpulkan bahwa optimalnya suatu pengelolaan aset rampasan tidak semata-mata bergantung pada bentuk lembaga pengelola aset dimaksud. Hal ini dapat dilihat di Indonesia, meskipun pengelolaan aset rampasan melibatkan tiga K/L yang berbeda sehingga mengakibatkan pengelolaan aset harus melalui birokrasi yang panjang, pengelolaan asetnya tetap dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan apabila dikemudian hari Pemerintah Indonesia ingin membentuk satu lembaga pengelolaan aset khusus, seperti AMLO, dalam rangka mewujudkan pengelolaan aset rampasan yang lebih optimal.

b) Sistem Informasi dan Teknologi Pendukung

Pengelolaan aset rampasan yang dikelola terpusat oleh AMLO didukung dengan sistem dan teknologi yang handal dan rinci. Tim manajemen aset AMLO menggunakan teknologi informasi untuk mengelola dan memperhitungkan aset secara efektif di bawah kendali mereka. AMLO telah mengembangkan sistem perangkat lunak AMCATS yang mencatat dan melacak semua data yang relevan dengan penyitaan setiap aset. Hal ini memungkinkan AMLO untuk mengelola aset, serta menghasilkan laporan, menghasilkan statistik dan memperhitungkan inventarisnya.

Sedangkan di Indonesia, sistem pendukung pengelolaan aset rampasan berada di beberapa K/L yang berbeda, sehingga mendapat perlakuan berbeda pula dan belum terintegrasi. Misalnya, sesuai ketentuan PMK Nomor 145/PMK.06/2021, aset rampasan ini dicatat dan dilaporkan sebagai persediaan pada neraca Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) KPK/Kejaksaan. Hal ini terjadi karena dalam penatausahaan barang rampasan tidak ada pembedaan peran fungsional antara Pengurus Barang dan Pengguna Barang. Pencatatan barang rampasan dimaksud dikarenakan memenuhi definisi persediaan sebagai barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pencatatan ini kurang tepat, karena aset rampasan tidak digunakan untuk pelaksanaan tugas operasional KPK/Kejaksaan atau digunakan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.[56]

Oleh karena itu, seyogyanya diperlukan sistem satu data yang dikembangkan oleh lembaga pengelola aset yang ditunjuk oleh undang-undang dan dapat diakses oleh para pihak terkait, agar aset rampasan mendapatkan perlakuan sama. Sistem ini memuat rinci proses perolehan aset, seperti penelusuran aset dan perampasan aset. Selain itu, juga memuat informasi mengenai data aset dan mekanisme pengelolaan aset, seperti lelang dan pemanfaatan. dalam pengelolaan aset rampasan agar aset rampasan mendapatkan perlakuan sama.

c) Pendanaan

Baik Thailand maupun Indonesia, memiliki anggaran atau pendanaan untuk mengelola aset rampasan. Thailand memiliki pendanaan melalui AMLF dan Indonesia memiliki pendanaan dari APBN yang dirinci pada DIPA masing-masing K/L. Selain membiayai proses perampasan aset dan pengelolaan aset, anggaran pengelolaan aset rampasan di dua negara ini juga membiayai pelatihan bagi para aparat penegak hukum agar memiliki kompetensi dalam melakukan perampasan dan pengelolaan aset. Lebih lanjut, kedua negara ini juga mempertanggungjawabkan pendanaan pengelolaan perampasan aset kepada Menteri Keuangan dan diaudit oleh Auditor.

Namun, di Indonesia, anggaran masing-masing K/L untuk mengelola aset rampasan tidak besar. Hal ini dikarenakan anggaran dimaksud harus dibagi dengan pembiayaan rencana kerja lainnya. Sedangkan di sisi lain, potensi PNBP yang didapatkan dari pengelolaan aset ini semakin besar. Dengan membandingkan dua hal dimaksud, perlu dipertimbangkan agar mengubah mekanisme anggaran pembiayaan pengelolaan aset rampasan ini. Mekanisme yang dapat ditempuh antara lain dengan mengizinkan K/L tersebut untuk langsung menggunakan kembali PNBP yang didapatkan dalam pengelolaan aset rampasan untuk keperluan operasional. Penggunaan kembali PNBP ini tentunya harus mendapatkan persetujuan dari Menteri K/L dan Menteri Keuangan serta menjadi objek audit bagi Auditor negara. Dalam hal terdapat kelebihan, harus disetorkan ke kas negara. Mekanisme ini diharapkan dapat berfungsi sebagai dukungan finansial dalam hal terdapat pembiayan yang bersifat non rutin.

Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Thailand telah memiliki perangkat pengaturan pengelolaan aset rampasan. Pengelolaan aset rampasan di Thailand dilaksanakan berdasarkan AMLA sebagaimana telah diubah terakhir melalui Anti-Money Laundering Act (No. 4) B.E. 2556 (2013) dan secara terpusat dilakukan oleh AMLO, serta didukung dengan sistem teknologi berupa AMCATS dan pendanaan melalui AMLF. Dengan perangkat berupa regulasi, lembaga pengelola aset, sistem teknologi, dan pendanaan yang mumpuni, pelaksanaan pengelolaan aset rampasan di Thailand dapat menghasilkan pengembalian aset yang optimal. Di lain pihak, pengaturan pengelolaan aset rampasan di Indonesia diatur berdasarkan peraturan internal tiga K/L yang berbeda yaitu DJKN, PPA, dan Rupbasan. Meskipun pengelolaan aset rampasan dapat terlaksana, namun pelaksanaan pengelolaan aset rampasan menghadapi birokrasi yang panjang, sistem teknologi yang tidak terintegrasi, dan pendanaan yang tidak fleksibel. Dengan demikian, agar pengelolaan aset rampasan dalam rangka pemulihan aset yang optimal, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah sinergi antar K/L atau pembentukan satu lembaga pengelola aset khusus, seperti AMLO. Langkah kedua adalah sistem teknologi aset rampasan yang terintegrasi antar K/L atau pembentukan sistem satu data rinci yang dikelola oleh lembaga pengelola aset. Langkah ketiga adalah memformulasikan kembali mekanisme anggaran pengelolaan aset dengan cara penggunaan kembali PNBP yang diperoleh selama mengelola aset rampasan.


[1] Forum tersebut dihadiri oleh Mahfud MD (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI) yang memberikan keynote Speech, Dian Ediana Rae (Kepala PPATK RI Periode 2020-2021) yang memberikan opening speech dan para panelis ST. Burhanudin (Jaksa Agung RI) yang pada saat itu diwakili oleh Narendra Jatna (Asisten Khusus Jaksa Agung RI), Arsul Sani (Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi III DPR RI), Yunus Husein (Kepala PPATK RI Periode 2002-2011 dan Akademisi), dan Djoko Pudjirahardjo (Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI).

[2] PPATK Indonesia, ‘2nd PPATK Legal Forum’ (2021) accessed 29 April 2021.

[3] Article 54 (1) (c) of United Nations Convention Against Corruption 2003.

[4] Theodore S Greenberg and others, Stolen Asset Recovery, A Good Practices Guide For Non-Conviction Based Asset Forfeiture (The World Bank 2009).[Page 1]

[5] Sudarto, Hari Purwadi and Hartiwiningsih, ‘Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi’ (2018) 5 Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 109-118. [110].

[6] Luhut MP Pangaribuan, Tindak Pidana Ekonomi dan Anti Korupsi, Pengantar, Ketentuan dan Pertanyaan-Pertanyaan (Cetakan Pertama, Papas Sinar Sinanti 2019).[501]

[7] Wahyudi Hafiludi Sadeli, ‘Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi’ (Universitas Indonesia 2010).[76].

[8] Luhut Pangaribuan (n 6). Op.cit.[515].

[9] Wahyudi Hafiludi Sadeli (n 7). Op.cit.[76-77].

[10] Menindaklanjuti konvensi ini, Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang diundangkan pada tanggal 18 April 2006.

[11] United Nations Office on Drugs and Crimes, ‘United Nations Convention against Corruption’ accessed 4 June 2021.

[12] Peraturan perundang-undangan yang mengatur NCBAF (perampasan aset tanpa pemidanaan) di Thailand adalah Anti-Money Laundering Act of B.E. 2542.

[13] Anti-Money Laundering Office, ‘Anti-Money Laundering Act B.E. 2542 (1999)’ accessed 10 June 2021.

[14] Luhut Pangaribuan (n 6). Op.cit.[501].

[15] PPATK Indonesia (n 2).Op.cit.

[16] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Cetakan Ke-9, PT Rajagrafindo Persada 2011).[3].

[17] Ibid.[13].

[18] PPATK Indonesia (n 2).Op.cit.

[19] Pasal 3 ayat (3) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[20] Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[21] Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[22] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[23] Latar Belakang Lampiran Peraturan Kejaksaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset.[6]

[24] Latar Belakang Lampiran ibid.[7].

[25] Pengertian Umum Lampiran Peraturan Kejaksaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset.

[26] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ‘Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia’ accessed 14 January 2022.

[27] Lollong Manting and Pantja Bambang Sudarwanto, ‘Analisis Pengelolaan Benda Sitaan Dan Barang Rampasan Negara Di Dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Dan Barang Rampasan Negara (Rupbasan)’ (2019) 4 48-57.[53-55]

[28] Pasal 37 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[29] Pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

[30] Kementerian Keuangan, ‘Sistem Informasi Manajemen Kekayaan Negara Lain-Lain (KNL)’ accessed 15 January 2022.

[31] Latar Belakang Lampiran Peraturan Kejaksaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset. [7].

[32] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ‘Manual Penggunaan SDP Spesifikasi Fitur Rupbasan’ accessed 15 January 2022.

[33] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ‘Sistem Informasi Basan Baran Terintegrasi Rupbasan’ accessed 15 January 2022.

[34] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ‘Rupbasan Bandung Luncurkan Aplikasi Sibaba Online & Buku Tamu Digital’ accessed 15 January 2022.

[35] Rupbasan Wonosari, ‘SITU RABA, Inovasi Unggulan Rupbasan Wonosari Untuk Memudahkan Pemilik Pantau Benda Sitaan Yang Dititipkan’ accessed 15 January 2022.

[36] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ‘Koordinasi Si-Rusiya Aplikasi Berbasis IT Pengelolaan Barang Bukti Kepada Tim Kejaksaan Negeri Sidoarjo Atas Tindak Lanjut Perjanjian Kerja Sama Tentang Penanganan Overload Basan Baran’ accessed 15 January 2022.

[37] Pasal 33 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

[38] Anti-Money Laundering Act B.E. 2542 telah diubah beberapa kali, yaitu: Anti-Money Laundering Act (No.2) B.E. 2551 (2008), Anti-Money Laundering Act (No. 3) B.E. 2552 (2009), dan terakhir Anti-Money Laundering Act (No.4) B.E. 2556 (2013).

[39] Anti-Money Laundering Office, ‘Anti-Money Laundering Act B.E. 2542’ accessed 8 January 2022.

[40] Anti-Money Laundering Office, ‘Anti-Money Laundering Office’ accessed 8 January 2022.

[41] Ibid.

[42] Section 40 Anti-Money Laundering Act B.E. 2542 – AMLA.

[43] Section 41 Anti-Money Laundering Act B.E. 2542 – AMLA.

[44] Anti-Money Laundering Office, ‘AMLO/AMLB/Transaction Committe Structure’ accessed 27 December 2021.

[45] Anti-Money Laundering Office, ‘AMLO Organizational Structure’ accessed 27 December 2021.

[46] Anti-Money Laundering Office, ‘Asset Management Division Structure’ accessed 30 December 2021.

[47] Anti-Money Laundering Office, ‘Information System of the AMLO’ accessed 30 December 2021.

[48] Theodore S. Greenberg and others (n 4).Op.cit.[171-172]

[49] Ibid.[172,174].

[50] Section 59/1 Anti-Money Laundering Office, Anti-Money Laundering Act (No.2) B.E. 2551 (2008).

[51] Section 59/6 ibid.

[52] Section 59/7 Anti-Money Laundering Office Anti-Money Laundering Act (No.2) B.E. 2551 (2008) (n 50).

[53] Theodore S. Greenberg and others (n 4).Op.cit.[83].

[54] Ibid.[84].

[55] Ibid.[167].

[56] Surya Hadi Purnama, ‘Pengelolaan Barang Rampasan Dan Pemulihan Aset Tindak Pidana’ (2021) accessed 23 January 2022.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini