Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Pandemi Covid-19 Dan Menurunnya Perekonomian Indonesia
Wely Putri Melati
Rabu, 12 April 2023 pukul 15:20:44   |   63578 kali

Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian Indonesia, mulai dari perubahan rantai pasok dunia hingga penurunan investasi asing ke Indonesia. Penurunan tersebut dapat dilihat melalui perlambatan pertumbuhan ekonomi yang turun dari 5,02 Persen di tahun 2019 menjadi 2,97 Persen pada tahun 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut juga diikuti dengan peningkatan jumlah pengangguran, yang menurut data Bank Dunia, meningkat dari 5,28 Persen pada tahun 2019 menjadi 7,07 Persen pada tahun 2020.

Cepatnya penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat dunia ternyata telah mengubah tatanan hidup dan hubungan antar manusia. Masyarakat diminta untuk selalu menggunakan masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Hal tersebut secara langsung membatasi aktivitas-aktivitas ekonomi di tengah masyarakat, misalnya terganggunya proses produksi barang, distribusi produk, hingga proses pemasaran barang dan jasa di seluruh dunia.

Seluruh dunia terhubung dalam rantai pasok global yang merupakan jejaring kompleks antar pelaku pasar di seluruh dunia dalam melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Tidak berhenti pada terganggunya kegiatan produksi dalam skala kecil, pandemi Covid-19 ternyata memegang andil besar pada terganggunya rantai pasok global tersebut, misalnya penutupan pabrik-pabrik dan gangguan jalur distribusi barang akibat lockdown dan pembatasan wilayah di sejumlah wilayah dunia, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, pandemi memperlambat seluruh siklus di dalam rantai pasok dunia.

Indonesia yang juga berpartisipasi di dalam rantai pasok dunia tersebut terkena dampak yang cukup serius karena sekitar 18,5 Persen dari Gross Domestic Product Indonesia berasal dari sektor ekspor. Dampak tersebut tercermin dari data Badan Pusat Statistik, dimana ekspor di Indonesia menurun sekitar 2,6 Persen pada tahun 2020 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pandemi Covid-19 dan korelasinya dengan pasar modal Indonesia

Kondisi perekonomian dapat tercermin dari kondisi pasar modalnya. Secara makro, kondisi perekonomian sebuah negara berkorelasi terhadap kondisi pasar modalnya, namun pasar modal cenderung lebih reaktif terhadap potensi krisis. Kecenderungan tersebut terjadi karena pada umumnya pelaku pasar modal memiliki forward looking, yaitu perkiraan masa depan terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa yang akan datang.

Di Indonesia, pandemi Covid-19 meningkatkan ketidakpastian ekonomi yang sangat besar. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu penyebab utama turunnya kepercayaan diri investor yang berdampak pada turunnya volume investasi yang dilakukan.

Ketidakpastian yang terjadi akibat pandemic Covid-19 tersebut terjadi dalam beragam aspek, mulai dari pemotongan pendapatan hingga pemutusan hubungan kerja, sehingga masyarakat pada umumnya merespon isu tersebut dengan menjadi selektif dalam penggunaan uang. Hal tersebut kemudian menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa ,yang sekaligus berdampak negatif terhadap profit perusahaan barang dan jasa.

Ketidakpastian dan menurunnya permintaan barang dan jasa kemudian mempengaruhi keuntungan sebagian besar perusahaan-perusahaan yang ada di Bursa Efek Indonesia, akibatnya penurunan harga saham menjadi hal yang tidak dapat dihindari.

Penurunan signifikan tersebut dapat dilihat dengan membandingkan nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sebelum dan saat pandemi terjadi. Penurunan drastis mulai terjadi pada akhir bulan 2 tahun 2022 dimana virus covid-19 saat itu sudah menyebar dan menciptakan rasa takut di seluruh dunia. IHSG yang saat itu bernilai 5.863 kemudian mencapai titik terendahnya pada 5.288 di minggu yang sama.





Gambar: Grafik candle-stick Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tradingview.com

Penurunan terus berlanjut pasca diumumkannya pasien Covid-19 pertama di Indonesia dimana IHSG terus mengalami penurunan drastis hingga mencapai level terendahnya di 3911 pada 23 maret 2020. Dalam waktu dua bulan sejak minggu keempat bulan Januari 2020, IHSG telah mengalami penurunan yang mencapai 38 Persen.

Penurunan curam tersebut terjadi pada hampir semua indeks, baik di dalam maupun luar negeri. Contohnya indeks saham luar negeri yang juga terdampak pandemic Covid-19 adalah Dow Jones Industrial Average yang mengalami penurunan sekitar 38 Persen, Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 dengan penurunan sekitar 33,8 Persen, Nikkei 225 sekitar 30 Persen, Hang Seng sekitar 27,6 Persen, dan Shanghai Stock Exchange dengan penurunan yang relatif defensive dengan penurunan sekitar 15,3 Persen.

Meskipun penurunan signifikan tersebut terjadi dalam beberapa bulan, tren harga IHSG kembali mengalami pembalikan arah (revershal) yang dimulai pada tanggal 26 Maret 2020. Tren yang terjadi setelah pembalikan arah tersebut terus berlangsung hingga mencapai all time high-nya pada 12 September 2022 dengan mencapai level 7.377.

Pembalikan arah tersebut dapat terjadi karena para pelaku pasar modal memiliki motif dan time frame yang beragam dalam aktivitasnya di bursa efek Indonesia. Sebagian pelaku pasar modal mengambil posisi sebagai investor, sedangkan sebagian pelaku pasar modal lainnya lebih memilih untuk membeli saham dan menjualnya Kembali dalam kurun waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan para investor.

Pergerakan IHSG akibat tekanan jual dan tekanan beli

Secara umum, pergerakan harga saham merupakan reaksi dari tekanan jual dan tekanan beli yang terjadi di bursa, semakin banyak pelaku pasar modal yang membeli saham maka semakin tinggi pula harga saham tersebut. Demikian sebaliknya, apabila tekanan jual lebih besar dibandingkan tekanan beli, maka harga akan turun.


Dalam studi kasus penurunan harga di IHSG di atas, ketika Covid-19 pertama kali muncul di dunia dan teridentifikasi menyebar di Indonesia, kekhawatiran dan kepanikan pelaku pasar membuat tekanan jual menjadi sangat besar dan dominan dibandingkan dengan tekanan belinya.

Di sisi lain, ketika para pelaku pasar modal melihat adanya potensi kenaikan harga setelah terdepresiasi 38 Persen, tekanan beli menjadi dominan dibandingkan dengan tekanan jualnya, sehingga tren menurun berbalik arah menjadi tren naik. Tren naik yang terbentuk tersebut kemudian didukung dengan andil pemerintah dalam memberikan banyak stimulus untuk mendukung perekonomian, dan pemulihan ekonomi global yang membuat investor lebih optimistik dengan prospek perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Penulis: Mateus Putra Dinata / Pelaksana pada Seksi Piutang Negara KPKNL Lhokseumawe

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini