Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Crash Program Keringanan Utang dan Perubahan Paradigma Pelayanan dalam Pengelolaan Piutang Negara
Noviana Cepaka Sari
Rabu, 25 Januari 2023 pukul 11:11:39   |   584 kali

Crash Program Keringanan Utang 2021 dan Perubahan Paradigma Pelayanan dalam Pengelolaan Piutang Negara

Pendahuluan

Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi Pemerintah yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, khususnya piutang terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan piutang berupa Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana, serta piutang instansi Pemerintah dengan jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), meliputi dan tidak terbatas pada restrukturisasi dan pemberian keringanan utang pokok sampai dengan lOO persen (seratus persen).

Kalimat di atas merupakan bunyi pasal 39, ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021. Ini bukanlah kali pertama pembahasan penyelesaian piutang instansi Pemerintah melalui restrukturisasi dan pemberian keringanan utang disebut dalam Undang-Undang APBN. Namun, kalimat serupa sudah muncul berulang kali dalam Undang-Undang APBN lebih dari sepuluh tahun. Biasanya, akan berada di antara pasal 36 sampai dengan 39.

Sejak pernyataan ini muncul pertama kali, hingga akhir tahun 2020, penyelesaian piutang instansi pemerintah, baik dengan restrukturisasi dan pemberian keringanan, tidak terutilisasi dengan optimal. Kurang dari Rp650 juta piutang negara yang dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang diselesaikan sesuai amanat dari pasal pengurusan piutang instansi pemerintah dalam UU APBN. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan, kurang lebih, Rp 75 triliun piutang Instansi Pemerintah yang diurus oleh PUPN.

Ilyas Yusuf (2014:05) menyebutkan salah satu fungsi Pemerintah adalah Regulator. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyiapkan arah dalam rangka menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan sebagai regulator.

Pada tahun 2020, perekonomian Indonesia terkena dampak dari COVID-19. Kebijakan countercyclical menjadi respon pertama dari Pemerintah Indonesia sebagai bentuk dari kebijakan publik. Dalam kebijakan ini, ketika pertumbuhan ekonomi positif maka akan dilakukan pengurangan pengeluaran dan peningkatan pajak. Sebaliknya, ketika pertumbuhan ekonomi negatif, pemerintah akan mendorong peningkatan pengeluaran dan pemotongan pajak.

Kebijakan keringanan utang instansi pemerintah, dirasa sejalan dengan kebijakan publik yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Pada tahun 2021, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Penyelesaiaan Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh PUPN/DJKN dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021.

Keringanan utang bukanlah kebijakan menghapuskan piutang. Strategi dalam kebijakan publik perlu diperhatikan untuk mendorong debitur melunasi utangnya ke Instansi Pemerintah melalui pemberian diskon maupun insentif lainnya, tanpa menghilangkan unsur keadilan.

Crash Program Keringanan Utang

Napas utama pembentukan crash program keringanan utang adalah transisi dari sekadar “pengurusan piutang pemerintah” menjadi “pengelolaan piutang pemerintah”. Peran Panitia Urusan Piutang Negara yang selama ini hanya sebagai “pengurus” piutang macet, ingin ditingkatkan menjadi regulator sekaligus pembina dalam kegiatan penagihan piutang negara yang dimiliki oleh instansi pemerintah.

Selama ini, pemberian keringanan utang atas piutang negara yang dimiliki oleh instansi pemerintah telah diatur dan selalu tercantum dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun demikian, pelaksanaan pemberian piutang negara dianggap tidak efektif.

Sehingga pada awal tahun 2021, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Penyelesaiaan Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh PUPN/DJKN dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021 melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Sebelum PMK Nomor 15/PMK.06/2021 ini terbit, telah ada peraturan sejenis yang mengatur mekanisme keringanan utang, yaitu PMK Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara. Hanya saja, keringanan utang yang dapat diberikan terbatas pada bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya atas hutang tersebut. Keringanan utang tidak bisa diberikan pada pokok utang.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 Pasal 64 menyebutkan,

(1) Keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya;

(2) Keringanan jangka waktu penyelesaian hutang;

(3) Keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sekaligus keringanan jangka waktu; atau

(4) Konversi satuan mata uang asing ke dalam satuan uang rupiah.

Untuk keringanan utang terhadap pokok utang, terdapat kebijakan tersendiri, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.06/2016 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panita Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Meskipun demikian, kebijakan ini tidak berlaku untuk semua debitur piutang negara. Namun, terbatas pada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Kredit Kepemilikan Rumah Sederhana/sangat Sederhana (KPR RS/RSS).

Meskipun telah ada aturan khusus ini, yang mencakup besaran keringanan utang yang bisa diberikan atas pokok utang, tetapi hanya ada empat (4) debitur yang memanfaatkan program keringanan utang dengan total keringanan yang diberikan Rp68.706.862,00.

Setelah tahun 2016, selama lima tahun, Kementerian Keuangan c.q. DJKN tidak menerbitkan kebijakan baru terkait penyelesaian piutang instansi Pemerintah yang diurus/dikelola oleh PUPN. Namun, bertepatan dengan semangat pemulihan ekonomi nasional setelah pandemi COVID-19, Kementerian Keuangan c.q. DJKN melahirkan kebijakan sejenis melalui PMK Nomo 15/PMK.06/2021.

Beberapa evaluasi yang berhasil dipetik atas pelaksanaan PMK Nomor 75/PMK.06/2016 di antaranya:

1. Kurangnya komunikasi kepada masyarakat, khususnya para Penanggung Utang, atas adanya kebijakan keringanan utang;

2. Formula pemberian utang yang cukup rumit, yang membuat para eksekutor keringanan piutang enggan untuk melakukan perhitungan;

3. Besarnya tarif keringanan utang yang dirasa kurang menarik karena keringanan utang dirasa tidak signifikan untuk beberapa kalangan;

4. Objek keringanan utang pada PMK tersebut hanya terbatas pada penanggung utang UMKM dan KPR RS/RSS yang sebenarnya telah banyak dikembalikan oleh PUPN Cabang ke Penyerah Piutang yang merupakan BUMN/BUMD sesuai dengan PMK Nomor 168/PMK.06/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Pengurusan Piutang yang Berasal Dari Penyerahan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha yang Modalnya Sebagian atau Seluruhnya Dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;

Evaluasi-evaluasi tersebut membawa perubahan dan pembaruan yang tertuang di PMK Nomor 15/PMK.06/2021. Yang pertama, adanya kewajiban Kantor Pelayanan Kekayaan Negara sebagai PUPN Cabang untuk berperan aktif dalam memberikan informasi terkait keringanan utang kepada para penanggung utang.

Pada PMK Nomor 75/PMK.06/2016, peran aktif dari penyelesaian piutang negara sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penanggung utang. Hal ini berbeda dengan PMK Nomor 15/PMK.06/2021 yang menyatakan bahwa langkah awal penyelesaian piutang negara melalui mekanisme crash program dimulai dari inventarisasi Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang berada di KPKNL.

Setelah inventarisasi dilakukan , KPKNL melakukan penelitian terhadap sisa kewajiban yang harus dibayar oleh Penanggung Utang. Setelah penelitian dilakukan, maka menjadi PUPN Cabang akan memberitahukan pelaksanaan crash program kepada penanggung hutang. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) Kepala KPKNL memberitahukan rencana pelaksanaan Crash Program kepada Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pas 5 ayat (1), melalui: (a) surat pemberitahuan yang dikirimkan secara tercatat atau surat elektronik; (b) pengumuman panggilan di surat kabar, website, atau media elektronik lainnya; (c) surat pemberitahuan melalui Penyerah Piutang; (d) sosialisasi; dan/atau (e) pelaksanaan kerja sama penyelesaian (joint program) dengan Penyerah Piutang.

Formula besaran keringanan utang juga telah dibuat lebih sederhana. Jika pada PMK Nomor 75/PMK.06/2016 Pasal 4 besarnya sisa kewajiban setelah dikurangi keringanan utang sama dengan atau lebih dari nilai barang jaminan. Penanggung utang bisa mendapatkan keringanan utang yang lebih besar, jika barang jaminan tidak juga laku setelah dua kali atau lebih lelang.

Ini artinya, untuk mendapatkan keringanan yang maksimal, harus dilakukan lelang atas barang jaminan. Yang mana, perlu adanya sumber daya KPKNL yang harus digunakan serta waktu yang tersita sebelum keringanan utang dapat diberikan. Namun, pada PMK Nomor 15/PMK.06/2021 aturan tentang keringanan utang yang memiliki barang jaminan dibuat lebih sederhana. Pada Pasal 10 menyebutkan bahwa pemberian keringanan utang pokok dibagi menjadi dua, yaitu: (1) sebesar 35persen (tiga puluh lima persen) dari sisa utang pokok jika piutang negara didukung oleh barang jaminan berupa tanah atau tanah dan bangunan; (2) sebesar 60persen dari sisa utang pokok jika piutang negara tidak didukung oleh barang jaminan.

Yang terakhir penambahan kriteria Penanggung Utang yang berhak menerima keringanan utang. Penanggung Utang yang berkas kepengurusannya telah diterima oleh PUPN Cabang sampai dengan 31 Desember 2020 berhak menerima Keringanan Utang dengan kriteria:

1. Perorangan atau badan hukum/badan usaha UMKM dengan pagu kredit paling banyak Rp5.000.000.000,00;

2. Perorangan yang menerima KPR RS/RSS dengan pagu kredit paling banyak Rp100.000.000,00;

3. Perorangan atau badan hukum/usaha yang memiliki sisa kewajiban paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Dasar dari penetapan kriteria ini adalah hasil pemetaan BKPN yang dilakukan oleh DJKN berdasarkan data aplikasi FocusPN, aplikasi yang mengolah data piutang negara, terdapat 36.283 BKPN yang memiliki nilai Rp1,17 Triliun dengan kriteria:

- Piutang instansi pemerintah dengan sisa kewajiban sampai dengan Rp1.000.000.000,00;

- Telah diserahkan kepada PUPN paling lambat tanggal 31 Desember 2020.

BKPN sebanyak 36.283 yang memiliki dapat mengikuti crash program hanyalah 62persen dari seluruh BKPN yang diurus oleh PUPN seluruh Indonesia. Dengan nilai total Rp75 Triliun, hanya Rp1,17 Triliun atau sekitar 1,56persen yang dapat diberikan keringanan.

PMK Nomor 15/PMK.06/2021 merupakan kebijakan yang mengatur penyelesaian piutang negara yang dikelola oleh PUPN selama tahun 2021. Dibanding dengan aturan pendahulunya, pelaksanaan PMK ini jauh lebih baik dengan dampak yang lebih besar. Mekanisme crash program telah menarik minat para penanggung utang untuk dapat melunasi utang mereka. BKPN yang telah dilunasi sebanyak 1.452, melesat jauh dibandingkan dengan 4 BKPN yang lunas pada tahun 2016. Lebih dari Rp100 milyar outstanding yang lunas dengan total pembayaran sebanyak Rp 23,18 milyar.

Perubahan Paradigma Pelayanan dalam Pengelolaan Piutang Negara

Fokus manajemen publik dalam crash program keringanan utang adalah bagaimana organisasi publik, dalam hal ini DJKN mengimplementasikan kebijakan publik berupa pemberian keringanan utang.

Pelaksanaan crash program adalah proses bertahap yang dilakukan setelah PMK Nomor 15/PMK.06/2021 ditetapkan hingga pada akhirnya akan diketahui dampak yang ditimbulkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan tersebut diantaranya struktur birokrasi/wewenang, komunikasi, sumber daya, sikap dari eksekutor sebagai pelaksana (Jann and Wegrich: 2007). Jika dibandingkan dengan aturan pendahulunya, faktor-faktor tersebut terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan crash program keringanan utang tahun 2021.

Dari sisi struktur birokrasi/wewenang, PMK Nomor 15/PMK.06/2021 memberikan kewenangan yang lebih tegas dan jelas kepada KPKNL. Rincian tugas dan kewajiban dijabarkan dengan lebih baik, sehingga alur kerja juga lebih baik.

Komunikasi menjadi kunci utama keberhasilan. Pada PMK Nomor 75/PMK.06/2016 tidak disebutkan kewajiban untuk menyampaikan informasi keringanan utang kepada penanggung utang. Hal ini menjadi salah satu alasan kenapa hanya empat penanggung utang yang memanfaatkan program keringanan utang untuk menyelesaikan kewajibannya di tahun 2016. Dalam PMK Nomor 15/PMK.06/2021, komunikasi dilakukan beberapa arah dan memanfaatkan media yang lebih luas. Komunikasi pertama kali dibangung dengan penyerah piutang sebagai pihak yang akan mengambil manfaat terbesar atas adanya pelunasan. Selanjutnya, komunikasi aktif juga dilakukan oleh KPKNL kepada penanggung utang.

Upaya jemput bola bukan hanya dilakukan melalui bersurat tercatat maupun surat elektronik, tetapi juga adanya kewajiban dari KPKNL untuk melakukan komunikasi secara publik. Rencana publikasi disusun secara matang. Pers dari media cetak dan elektronik, media sosial instansi maupun para pegawai dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi seluas-luasnya.

Sumber daya disiapkan dengan lebih baik, baik sumber daya manusia, anggaran disediakan, hingga metode pelaksanaan. Sosialisasi dan pembekalan diberikan kepada penanggung jawab piutang negara. Selain itu dana untuk penggalian potensi juga diberikan anggaran yang mencukupi. Metode pelaksanaan diatur sedemikian rupa untuk memudahkan eksekutor maupun penanggung utang.

Yang terakhir adalah sikap dari eksekutor sebagai pelaksana yang dinilai juga lebih siap untuk menjalankan kebijakan crash program keringanan utang. Alur kerja yang jelas memudahkan para eksekutor untuk memberikan pelayanan terkait keringanan utang kepada penanggung utang. Formula yang lebih pasti juga mengikis keengganan dari para eksekutor.

Simpulan

Kebijakan tentang pemberian keringanan utang sudah beberapa kali terbit, tetapi dinilai kurang efektif untuk menjadi solusi percepatan penyelesaian piutang negara. Atas kegagalan terdahulu, Pemerintah kembali menerbitkan aturan penyelesaian piutang negara dengan perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian yang lebih baik. Moment COVID-19 juga menjadi trigger untuk menjadikan kebijakan keringanan utang sebagai salah satu wujud komitmen pemerintah untuk membantu masyarakat.

DJKN selaku pengelola Piutang Negara menunjukkan perubahan paradigma pelayanan dalam pengelolaan piutang pemerintah melalui crash program Keringanan Utang. Atas kegagalan peraturan terdahulu, DJKN belajar dengan fokus pada kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak COVID-19 untuk menyelesaikan piutang-piutang yang sudah macet.

Faktor-faktor keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik lebih diperhatikan dalam PMK Nomor 15/PMK.06/2021 lebih diperhatikan, yaitu:

1. Struktur birokrasi/wewenang, penegasan dalam pemberian wewenang akan membuat ekskutor percaya diri dalam menjalankan kebijakan;

2. Komunikasi, kebijakan dibuat bukan untuk disimpan oleh pemerintah. Komunikasi aktif perlu dilakukan agar sasaran dari kebijakan ini dapat memberikan respon serta memanfaatkan kebijakan dengan optimal;

3. Sumber daya, mulai dari sumber daya manusia, anggaran, hingga metode pelaksanaan, yang siap dimanfaatkan untuk menjalankan kebijakan;

4. Sikap dari eksekutor sebagai pelaksana yang siap memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan dari kebijakan.


Daftar Pustaka

Abidin, Said Zainal. (2019). Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Herdiana, D. (2018). Sosialisasi Kebijakan Publik: Pengertian dan Konsep Dasar. Jurnal Ilmiah Wawasan Insan Akademik, 1(3), 13-26.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021

Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Penyelesaiaan Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh PUPN/DJKN.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.06/2016 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panita Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Indonesia.

Iskandar, J. (2012). Kapita Selekta teori Administrasi Negara. Idaarah: Jurnal Manajemen Pendidikan, 1(2), 1-10.

Jann, W., & Wegrich, K. (2007). Theories of the Policy Cycle. In F. Fischer, G. J. Miller, & M.S. Sidney, Handbook of Public Policy Analysis Theory, Politics, and Methods (pp. 43-62). New York: CRC Press Taylor & Francis Group

Keban, Yeremias T. (2004). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan isu. Yogyakarta: Gavamedia.

Nor, Ghofur. (2014), Manajemen Publik Pada Pemerintahan. Cetak Pertama, Jakarta: Bumi Angkasa.

Ott, J.S., Hyde A.C., dan Shafritz, J.M. 1991. Public Management: The Essential Readings. Nelson-Hall. Chicago.

Rohman, Abd. (2014). Dasar-Dasar Manajemen Publik. Malang: Empatdua.

Rudianto. 2012. Pengantar Akuntansi (S. Suryadi, Ed.).Jakarta: Erlangga

Sirajuddin, I. A. (2016). Implementasi Kebijakan Daerah dalam Pelayanan Publik Dasar Bidang Sosial di Kota Makasar. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, 4(1), 1-14

Suharno. (2013). Dasar-dasar Kebijakan Publik: Kajian Proses dan Analisis Kebijakan. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Suryono, A. (2014). Kebijakan publik untuk kesejahteraan rakyat. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 6(2), 98-102.

Yusuf, Iyas. (2014). Peran dan fungsi pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat.

(http://www. Iyasyusuf.asia/2014/05/peran-dan fungsipemerintahan-dalam-html)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini