Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
How Reparenting Can Heal Our Inner Child Wound
Muhammad Faniawan Asriansyah
Kamis, 15 Desember 2022 pukul 15:06:24   |   3091 kali

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang psikologi, kesadaran tentang pentingnya Kesehatan mental pun semakin tinggi. Salah satu issue yang cukup sering dibahas adalah tentang inner child. Inner child secara sederhana didefenisikan sebagai diri kita dengan segala emosi yang kita alami sebelum kita masuk ke masa remaja. Konsep inner child sendiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikiater asal Swiss bernama Carl Gustav Jung atau lebih dikenal dengan Carl Jung. Menurut Carl Jung, kumpulan pengalaman masa kanak- kanak terutama dari usia 0-7 tahun adalah sesuatu yang akan membentuk subconsciousness atau alam bawah sadar kita. Alam bawah sadar ini adalah pikiran yang akan kita akses 95%-99,5% setiap harinya. Alam bawah sadar ini bahkan dapat terbawa ke pikiran sadar kita, yang membuat kita berpikir bahwa ya saya memang orang yang seperti ini, tidak bisa berubah lagi, inilah takdir saya, dan sebagainya.

Kembali ke pembahasan tentang inner child, tidak semua anak memiliki masa kanak-kanak yang bahagia. Beberapa anak juga memiliki luka di masa kecil yang kemudian menjadi apa yang disebut dengan inner child wound ketika dewasa. Lalu bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kita memiliki inner child wound (luka batin masa kecil)? Adanya inner child wound dalam diri kita biasanya akan muncul atau terproyeksi dalam kehidupan kita sehari-hari saat kita berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya itu, keberadaan inner child wound kita juga dapat kita sadari ketika kita tidak pernah merasa cukup dengan diri kita sendiri atau pencapaian yang kita raih. Bisa jadi kita menjadi seseorang yang terlalu perfeksionis dan ambisius sehingga kadang membuat kita Lelah sendiri, dan kejadian-kejadian lainnya.

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya inner child wound ini? Ada beberapa penyebab yang mungkin bisa menciptakan inner child wound dalam diri seseorang. Adanya kekerasan yang didapatkan saat masa kanak-kanak, toxic parenting dari orang tua, dan pengalaman traumatic lainnya di masa kecil dapat menyebabkan seseorang tumbuh dengan inner child wound dalam dirinya.

Secara garis besar inner child wound terbagi atas 4 kategori, yakni:

  1. Abandonment wound

Ciri-ciri seseorang hidup dengan abandonment wound dalam dirinya antara lain mereka akan merasa tidak suka atau takut apabila ketinggalan dari orang lain dalam banyak aspek dalam di kehidupan. Mereka akan merasa tidak nyaman saat sendirian, sehingga menjadi sangat bergantung pada orang lain. Orang dengan abandonment wound menjadi tidak dapat mendefenisikan kebahagiaan mereka sendiri apabila tidak bersama teman/ pasangan/ anak/ orang lain.

Dalam relasi dengan orang lain, mereka yang terdapat abandonment wound dalam dirinya dakan diidentifikasikan dengan ciri suka mengancam untuk meninggalkan.

  1. Guilt Wound

Ciri seseorang dengan guilt wound adalah sering merasa buruk dan sering menyalahkan diri sendiri. Orang dengan guilt wound akan selalu merasa kurang berusaha sehingga kondisi menjadi tidak seperti yang diharapkan. Mereka yang hidup dengan guilt wound juga akan cenderung sulit untuk men-set boundaries dan cenderung menjadi people pleaser karena tidak enak untuk menolak permintaan dari orang lain. Di sisi lain, orang dengan guilt wound akan merasa sungkan untuk meminta bantuan orang lain karena merasa dirinya akan merepotkan bagi orang lain.

Dalam relasi dengan orang lain, orang dengan guilt wound akan terlihat dari cara orang tersebut menggunakan “guilt” atau rasa bersalah untuk memanipulasi atau meng-ghaslighting orang lain, sehingga membuat orang lain merasa bersalah.

  1. Trust Wound

Orang dengan trust wound akan selalu merasa takut disakiti dan akan selalu menemukan alasan untuk tidak mempercayai orang lain sehingga mereka akan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Orang dengan trust wound juga akan selalu merasa tidak aman (insecure) dalam banyak aspek dalam hidupnya. Mereka akan selalu merasa tidak layak dan hidup atau eksistensinya tidak berharga yang membuat mereka selalu membutuhkan validasi dari orang lain.

Orang dengan trust wound dalam suatu relasi akan memiliki kecenderungan untuk bersikap posesif terhadap pasangan atau anaknya. Orang dengan trust wound juga akan sulit memulai suatu hubungan dengan orang lain karena akan selalu diliputi rasa curiga terhadap orang yang baru dikenalnya.

  1. Neglect Wound

Orang dengan neglect wound dicirikan dengan sulitnya orang tersebut untuk move on dan let go of something in their life. Mereka juga cenderung punya self reward yang rendah karena mereka selalu merasa usahanya tidak cukup baik. Orang dengan neglect wound juga sulit mengungkapkan emosinya dan cenderung untuk lebih mudah tersinggung atau marah karena hal-hal kecil. Di samping itu, orang dengan neglect wound akan cenderung ingin selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain. Mereka akan lebih banyak menyimpan perasaannya dan akan merasa sulit untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.

Setelah kita berhasil mengidentifikasi “luka” yang mana yang kita miliki, apa selanjutnya yang harus kita lakukan?

Kita secara personal mencoba menanamkan dalam pikiran kita, melakukan afirmasi positif, bahwa saat ini kita sudah aman, sudah berharga dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, kita juga sudah punya our own voice dan sudah didengarkan oleh lingkungan kita. Selanjutnya, treatment atau praktek terapeutik yang bagaimana yang bisa membuat kita merasa lebih baik, itu kembali ke diri kita masing-masing. Treatment tersebut tergantung issue apa tentang inner child kita yang perlu kita selesaikan. Langkah pertama kita bisa mencoba berdialog dengan diri kita. Kita bisa mencoba mengatakan hal-hal yang tidak pernah diucapkan orang tua kepada kita dan hal-hal yang ingin kita dengar orang tua kita ucapkan kepada kita. Sebagai contoh, seseorang dengan trust wound yang merasa dirinya tidak berharga dan selalu merasa tidak layak, dapat menanamkan dalam dirinya:

“Kamu bisa kok.. coba lihat diri kamu, kamu sudah sampai di titik ini, saat ini di saat banyak orang masih berjuang untuk berada di posisi kamu saat ini. kamu berharga kok.. coba lihat suami kamu.. anak-anak kamu.. semua saying kok sama kamu.. kamu pantas kok jadi orang yang bahagia..” dan sebagainya.

Selanjutnya, menurut Charisse Cooke, proses reparenting to heal our inner child terbagi atas 4 pilar.

Pilar pertama adalah disiplin.

Disiplin adalah komitmen atau janji yang kita buat kepada diri sendiri. Bangunlah suatu kebiasaan yang dapat membuat kita lebih semangat menjalani hari.

Pilar kedua adalah self care.

Self care yang paling penting untuk kita perhatikan adalah tidur yang cukup, asupan nutrisi yang masuk dalam tubuh kita, olahraga, dan rasa kasih sayang pada diri kita sendiri. Membuat Batasan terhadap orang-orang yang toxic juga merupakan sebuah bentuk self care.

Pilar ketiga adalah joy atau sukacita.

Joy atau sukacita adalah sebuah ruang yang kita ciptakan yang berisi kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan ini bisa berkaitan dengan hobi kita sejak kecil, bisa dengan membaca, menari, berkebun, menggambar, menonton film, atau dengan pergi ke alam terbuka maupun ngobrol dan tertawa dengan “bestie” kita, intinya apapun yang membuat kita benar-benar happy saat melakukannya. Rencanakan hal yang selalu ingin kita lakukan, seperti orang tua yang hebat, antusias, dan suportif, bagi diri kita sendiri.

Pilar keempat atau yang terakhir adalah mengatur emosi.

Saat kita kecil, orang tua idealnya akan menenangkan dan mendukung serta memberikan validasi atas segala emosi yang kita rasakan. Namun sebagai orang dewasa, kita menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengatur emosi kita sendiri. Kita perlu mempelajari atau mengembangkan kemampuan untuk mengatur emosi diri kita sendiri. Kita juga perlu mengetahui cara untuk menjaga diri sendiri agar tetap tenang di saat-saat yang sulit, serta berlatih agar emosi kita tidak begitu cepat terpicu dan bagaimana agar emosi kita dapat Kembali tenang dengan cukup cepat.

Yang harus kita ingat bahwa saat pertama kali mempelajari inner child wound dan cara untuk me-reparenting diri kita sendiri, kita harus men-set tujuan kita. Kita harus menanamkan dalam pikiran kita bahwa apa yang kita pelajari ini adalah untuk menyembuhkan inner child wound kita, bukan untuk menghakimi apa yang orang tua kita lakukan di masa lalu terhadap kita. Kita harus menyadari bahwa apapun yang orang tua kita lakukan di masa lalu tentu ada alasannya dan hal tersebut adalah sebuah fakta yang tidak bisa kita ubah lagi. Bisa jadi orang tua kita dulu juga memiliki emotional wounds-nya sendiri. Penting juga bagi kita untuk menyadari bahwa tentu pada jaman dulu akses pendidikan tentang ilmu psikologi ataupun ilmu parenting tidak seterbuka akses pendidikan pada jaman sekarang. Sehingga jelas bagi kita bahwa tujuan kita mempelajari inner child wounds dan reparenting adalah untuk menyelesaikan issue inner child yang kita alami, harapannya agar di masa depan kita tidak mengulang hal yang sama yang kita dapatkan dari orang tua kita, kepada anak-anak kita nanti.

Tidak lupa juga kita harus meng-embrace segala kualitas positif yang ada dalam diri kita. Kita harus ingat bahwa kualitas positif yang ada dalam diri kita juga adalah buah dari didikan orang tua kita. Dalam setiap situasi dan kondisi, pasti ada hal-hal yang bis akita syukuri apabila kita berpikir dengan pikiran yang terbuka.

Namun apabila saat kita mencoba mengobati inner child wound kita menemui kesulitan untuk mengatasinya sendiri, atau kita mempunyai issue lain tentang mental health yang sudah sulit untuk kita hadapi sendirian, jangan ragu untuk mencari bantuan dari konselor/ psikolog. Khusus bagi pegawai Kementerian Keuangan, kita bisa memanfaatkan bantuan dari para konselor internal berpengalaman dengan mendaftar melalui laman https://forms.kemenkeu.go.id/

Semoga bermanfaat


(Penulis: Rahmadina Agusti, Pelaksana Seksi PKN III Kanwil DJKN Sumatera Utara)

Daftar bacaan:

https://www.stepupformentalhealth.org/reparenting-your-inner-child/

https://chopra.com/articles/the-power-of-your-inner-child-and-the-process-of-reparenting

https://www.bigselfschool.com/post/inner-child-work

https://www.gstherapycenter.com/blog/2019/10/25/how-to-nurture-and-reparent-your-inner-child

https://cptsdfoundation.org/2020/07/13/the-wounded-inner-child/#:~:text=The concept of the inner,kids that never grew up.

https://charissecooke.com/reparenting

https://www.happierhuman.com/reparent-yourself/



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini