Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Mengenal Gaya Kepemimpinan Servant Leadership : Kepemimpinan Yang Melayani
Ratih Prihatina
Selasa, 22 November 2022 pukul 16:21:21   |   9223 kali

Tahun 2008 adalah saat saya mulai bekerja pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta II, very-very early on working society istilahnya, saat itu jugalah kami-kami sebagai ‘darah baru’ sebuah instansi mengenal lingkungan kerja yang sebenar-benarnya, bersosialisasi, belajar hal-hal yang tidak pernah kami dapatkan di perkuliahan, termasuk mempunyai pemimpin level atasan langsung (eselon IV) pertama kalinya juga. Kemudian waktu berlalu, beberapa kali mutasi dan beberapa kali berganti atasan, saya masih ingat betul siapa-siapa yang menjadi atasan langsung sejak penempatan di Jakarta hingga akhirnya bertugas di KPKNL Pekalongan sekarang ini. Total ada 8 (delapan) kali berganti atasan langsung, dari Ibu Dewi Rahayu sebagai Kasubbag Umum di KPKNL Jakarta II dulu, kemudian berturut-turut adalah Ibu Diana Setiastanti, Bapak Jumanto, Bapak Bimo Aryo, Bapak Yustinus Eri Prastiantoko, Ibu Hanik Setiyowati, Bapak Dalfin Ponco Nugroho, dan sampai akhirnya Bapak Noor El Hasani sebagai Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan saat ini.

Sudah jamak bahwa pastinya pemimpin menilai bawahannya, dari menilai kinerja bawahan, integritas, hingga menilai perilaku mereka. Dan sebaliknya kami para staff juga menilai atasan, baik secara nonformal (dalam hati atau pembicaraan dengan para staff lainnya) dan secara formal dalam bentuk penilaian pada aplikasi yang dibangun untuk penilaian tersebut. Secara nonformal kami mengenal dan menilai perilaku atasan, bukan hanya atasan langsung tetapi juga atasan dari atasan langsung, bagaimana cara mereka memimpin, bagaimana reaksi mereka saat dalam tekanan, bagaimana gaya berkomunikasinya, ada yang serius dan ada pula atasan yang mempertahankan adanya candaan, dan lain-lain. Jelas pula kami mengharapkan pimpinan yang bukan hanya memahami pekerjaan anak buahnya, tetapi sekaligus merangkul sebagai partner/teman dan bersedia membantu memberikan advice sekaligus dukungan yang memadai dalam pekerjaan sehari-hari, demi tujuan baik bersama.

Mengenal Istilah Servant Leadership

Istilah servant leadership mungkin telah banyak dibahas dalam berbagai artikel dengan data yang mencukupi, tetapi mari kita refresh kembali sebuah gaya kepemimpinan yang makin banyak diterapkan di era sekarang ini.

“Seorang pemimpin itu seperti gembala, dia berada di belakang kawanan membiarkan yang paling gesit pergi ke depan, dimana yang lainnya akan mengikuti. Sampai-sampai yang dipimpinnya tidak menyadari kalau selama ini mereka diarahkan dari belakang” (Nelson Mandela)

Servant leadership, gaya kepemimpinan yang melayani. Mungkin kalau terdengar sekilas, hal ini seperti di luar nalar. Kok pemimpin yang melayani? Bukannya pemimpin itu harusnya dilayani? Sudut pandang ini yang bertentangan dengan apa yang mayoritas terjadi di masyarakat. Pemimpin yang melayani, bukan memerintah. Pemimpin yang rendah hati, bukan arogan. Pemimpin yang mendorong timnya untuk selalu maju dan bekerja dengan potensi terbaik. Pendekatan ini justru memberikan hasil yang positif bagi perusahaan. Karyawan merasa didengar dan masukannya dipertimbangkan. Tidak heran riset membuktikan, karyawan tersebut 4,6 kali lebih mungkin untuk bekerja sesuai kemampuan terbaiknya.

Pemimpin seringkali digambarkan sebagai sosok yang kuat dan berpengaruh. Setiap orang harus patuh dan selalu melayani sang pemimpin. Tak jarang kita lihat kalau seseorang yang dianggap bos harus selalu dibantu oleh anak buahnya, bahkan kadang sampai dibantu untuk mengerjakan hal sepele seperti mebawakan tas, membukakan pintu dan sebagainya. Namun ada tipe pemimpin yang lain yakni pemimpin dengan gaya servant leadership (kepemimpinan yang melayani). Penelitian menunjukkan kalau perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin tipe ini mampu mengungguli kompetitor, punya lingkungan kerja yang lebih baik dan sebagainya.

Kepimimpinan yang melayani bersifat universal karena berasal dari budaya timur dan barat. Dari budaya timur, konsep ini merujuk dari para filsuf Cina pada tahun kelima sebelum masehi seperti Lao Tze yang menjelaskan bahwa ketika para pemimpin terbaik menyelesaikan sebuah pekerjaan, tim mereka akan berkata kalau mereka tidak melakukannya sendiri. Kesuksesan tersebut tidak dipusatkan pada satu orang, tetapi berkat kerjasama tim. Di era modern, terminologi servant leader pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam insight-nya yang berjudul The Servant as Leader pada tahun 1970. Menurut Robert, idenya berasal dari sebuah novel dari seorang penulis Jerman yang berjudul Perjalanan Ke Timur. Novel ini menceritakan seorang tokoh bernama Leo bertindak sebagai pelayan dan bekerja dengan sebuah kelompok pencari kebenaran. Pada suatu hari Leo menghilang dan semua orang menyadari bahwa tidak ada yang sama tanpa hadirnya seorang Leo, yang mereka anggap bukan hanya seorang pelayan lagi tetapi sebagai seorang pemimpin. Leo membantu semua orang dan mendorong potensi terbaik dari masing-masing orang.

Servant leader sesuai dengan penyebutannya, berarti seorang pemimpin yang mempunyai dorongan untuk melayani di dalam dirinya. Mungkin sederhananya seperti ini, dalam struktur organisasi tradisional, CEO dan para pemimpin lainnya berada dalam puncak piramida dan semakin ke bawah merupakan karyawan dengan jabatan yang lebih rendah misal manajer hingga staff biasa. Karyawan yang posisinya di bawah berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan atasannya. Nah, kepempinan dengan gaya servant leader justru digambarkan sebagai kebalikannya. Karyawan ada di bagian atas dan seorang pemimpin ada di bagian bawah.

Para ahli sering menggambarkan kebanyakan pemimpin bisnis tradisional berfungsi sebagai pengawas. Karyawan diminta untuk mempertahankan tingkat kinerja yang diinginkan, dan sebagai gantinya mereka menerima gaji dan tunjangan. Pemimpin yang melayani bergerak di luar aspek tradisional manajemen, dan sebaliknya secara aktif mengembangkan dan menyeleraskan karyawan dengan tujuan perusahaan. Pemimpin itu dapat dilihat dari perilakunya, yakni bagaimana cara ia membawa diri dan berinteraksi dengan karyawan yang lain. Contohnya bila ada karyawan baru di sebuah perusahaan, seorang pemimpin dengan gaya servant leader akan berusaha mencari tahu tentang karyawan tersebut dan menggali potensi apa saja yang dapat ditingkatkan dari seorang karyawan. Pemimpin akan berusaha menghargai pendapat karyawannya, tidak peduli apakah ia karyawan baru atau sudah berpengalaman. Pemimpin akan meluangkan waktu untuk pengembangkan karyawannya, entah dalam suatu sesi one on one, atau melalui suatu coaching. Pemimpin akan melihat karyawan mereka sebagai calon pemimpin masa depan.

Tips Menjadi Servant Leader

1. Banyak mendengar : mendengarkan secara mendalam, mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan hanya untuk sekedar merespon. Bahkan saat seorang pemimpin tidak setuju oleh pendapat anggota tim nya, servant leader menahan diri untuk tidak langsung memotong pembicaraan anggota tim, tetapi memberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan penyampaian pendapatnya.

2. Tidak ragu untuk bertanya : misalnya, ketika kinerja seorang karyawan sedang menurun. Seorang servant leader akan bertanya apa yang menghambat mereka, apa ada yang bisa dibantu. Di sisi lain karyawan harus merasa nyaman bertanya pada seorang servant leader tanpa takut membuat atasannya tersinggung.

3. Tidak pelit memberikan kata-kata yang membangun : servant leader dikenal sebagai pemimpin dengan empati yang tinggi. Mereka berusaha memperlakukan karyawan selayaknya manusia bukan hanya sebagai alat untuk mencapai target perusahaan. Mereka tidak segan memberikan dukungan dan apresiasi kepada karyawannya.

4. Mempengaruhi bukan memerintah : pemimpin mempunyai kemampuan persuasif yang memadai. Ia mampu meyakinkan bawahannya akan suatu tujuan bersama. Karyawan tidak melakukan sesuatu karena itu adalah sebuah perintah, tetapi karena itu dikatakan oleh seorang servant leader.

Kelemahan Gaya Kepemimpinan Servant Leader

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk gaya kepemimpinan servant leader. Konsep ini kurang mudah untuk dijelaskan karena anggapan bila kita sebagai pemimpin artinya kita yang dilayani, bukan melayani. Untuk menjadi servant leader juga tidak mudah, seorang pemimpin harus mempunyai dorongan itu dalam dirinya, jika tidak, maka semua hal yang ia lakukan hanyalah sebuah manipulasi belaka dan tidak tulus. Di sisi lain, gaya kepemimpinan ini dapat membuat seorang pemimpin dianggap lemah dan terlihat tidak mempu membuat keputusan sendiri. Alhasil, kecepatan perusahaan dalam membuat sebuah keputusan akan menjadi lebih lambat karena lebih menekankan pembuatan keputusan secara bersama-sama.

Kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menjembatani kelebihan dan kelemahan gaya kepemimpinan servant leader? Semangat bersama antara atasan lah kunci utamanya. Masing-masing pihak seyogyanya dapat menempatkan diri sesuai perannya dalam suatu organisasi. Pemimpin mempunyai kebijakan dan arahan yang rasional yang akan diterima oleh bawahan/staff sebagai usaha yang dikerjakannya untuk mencapai tujuan bersama.

Penyusun : Ratih Prihatina, pelaksana seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan.

Sumber :

https://www.youtube.com/watch?v=oNcttPUMGD4&t=20s, Pemimpin Jadi Pelayan?

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini