Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Mengingkari Gejala
Muhammad Rudi Hidayat
Jum'at, 29 Juli 2022 pukul 08:34:54   |   909 kali

Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pernah mengirim nota dinas ke semua kantor vertikal dibawahnya perihal Penyampaian Kajian Pelanggaran Disiplin Pegawai di Lingkungan DJKN semua Dalam Kajian pelanggaran disiplin pegawai di lingkungan DJKN didapat simpulan antara lain; Pelanggaran disiplin berupa penerimaan uang berkaitan dengan jabatan paling banyak terjadi di bidang pekerjaan lelang yaitu sekitar 62%.



Sumber: Bagian Kepegawaian, Sekretariat DJKN

Mengutip dari lampiran dimaksud diketahui bahwa pada tahun 2018 dan 2020 bidang pekerjaan lelang memiliki porsi paling yang besar jika dibandingkan dengan bidang pekerjaan lainnya untuk kasus pelanggaran disiplin berupa penerimaan uang yang berkaitan dengan jabatan, yaitu 70% untuk tahun 2018 dan 63% untuk tahun 2020. Sedangkan secara total sepanjang tahun 2018 sampai dengan 2020, bidang pekerjaan lelang memiliki porsi sebesar 62% atau 13 (tiga belas) kasus dari total 21 (dua puluh satu) kasus. Hal ini menjadikan pekerjaan di bidang lelang menjadi bidang pekerjaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan potensi terjadinya pelanggaran disiplin pegawai berupa penerimaan uang yang berkaitan dengan jabatan pegawai.

Pelanggaran dan Kedisiplinan pegawai memang merupakan fungsi operatif Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), namun tentunya kita perlu memahami bahwa permasalahan ini bukan hanya berhenti pada bagian SDM kepegawaian saja, Apalagi berhenti pada “let manager manage” dan mengembalikan ke pimpinan unit organisasi untuk menangani hal hal semacam ini, setidaknya kita semua sebagai keluarga besar DJKN patut juga prihatin dan bertanggung jawab minimal di wilayah kita masing masing. Apalagi penulis sebagai staf Kanwil DJKN Bidang Lelang, punya peran sebagai Pengawas Lelang (Superintenden) yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang, tergelitik untuk memberi urun rembuk dalam mensikapi persoalan ini.

Masalah adalah sesuatu yang mudah diidentifikasi, sedangkan solusi dan penyelesaianya, jauh lebih sulit. Begitupula persoalan pelanggaran disiplin dan penjatuhan disiplin pada pegawai, yang notabene staf, rekan kerja dan bahkan teman kita sendiri. Tidak jarang kita terjebak pada sikap disonansi kognitif yang ada, sehingga enggan untuk belajar menemukan titik terang dan solusi, yang pada gilirannya dengan sadar kita men-subordinat-kan permasalahan ini sebagai hal nomor-kesekian. Belum lagi dogma klasik “kearifan lokal” sebagai alasan pema’af untuk membenarkan kebiasaan dan bukan membiasakan kebenaran. Dan lagi kita belum mengimani bahwa “pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum” sehingga tidak jarang kita malah membiarkan daripada menegur.

Membiarkan masalah ini sehingga mewabah menjadi patologi ‘membenarkan kebiasaan’ pada ekosistem ruang kerja kita adalah hal yang tidak kita inginkan bersama , apalagi bila terjadi gejala pembiaran. Meminjam teori Broken window . Teori ini terkenal dalam dunia kriminal namun dalam konteks ini teori ini bisa memberi pelajaran awal bahwa sikap permisive pada kesalahan-kesalahan kecil bisa berujung pada persoalan yang lebih komplek dan sulit. Teori ini digagas oleh ilmuwan sosial James Q. Wilson dan George L. Kelling. Teori ini berargumen bahwa apabila permasalahan ataupun ketidakteraturan kecil dibiarkan tanpa ditindaklanjuti maka akan lebih berani orang melakukan hal yang sama dan bahkan menyebabkan terjadinya perilaku salah dalam skala yang lebih besar.

Berangkat dari narasi diatas tidak berlebihan bila penulis memberi tulisan ini dengan judul mengingkari gejala, dengan maksud agar kita sebagai keluarga besar DJKN tahu apa dan mengapa permasalahan ini mengemuka, serta membuka dialog bersama atas persoalan disiplin dan penjatuhan hukuman disiplin sekaligus memahami gejala yang terjadi bukan malah mengingkarinya, karena berpura pura tidak ada apa apa tidak membuat citra kantor ini semakin baik, justru menjadikan seksi Sumber Daya Manusia semakin sibuk sebagai “pemadam kebakaran” dari persoalan yang ada.

Peningkatan pengawasan

Disiplin Pegawai (ASN) adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Dalam sebuah organisasi seorang pimpinan dikatakan efekif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya berdisiplin baik. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan kantor dan organisasi.

Untuk memelihara dan meningkatkan kedisiplinan yang baik adalah hal yang sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Seperti yang disampaikan diatas bahwa hal ini menyangkut (kecurangan) jam kerja maupun fraud . Mengapa Orang melakukan kecurangan atau bagaimana terjadinya fraud atau kecurangan itu sendiri ? ada teori segitiga kecurangan (Fraud Triangle Theory) yang menurut Dr.Donal Cressy terdiri atas tiga elemen: Motif(motive), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi (rationalization). Motif(motive) adalah alasan sesorang melakukan fraud atau kecurangan, bisa berupa keserakahan, balas dendam, tekanan pihak lain, kebutuhan mendesak, Untuk itu bisa saja pegawai yang punya Pendidikan dan intelektual tinggi masih melakukan kecurangan .

Kesempatan(opportunity) merupakan lingkungan yang mendukung dalam melaksanakan fraud atau kecurangan, umumnya kesempatan itu bersumber dari tingkat jabatan, posisi kewenangan atau otoritas seseorang. Pengawasan Internal kurang baik akan kian memperluas lahirnya kesempatan bagi sesorang untuk berbuat fraud atau kecurangan

Sementara yang dimaksud rasionalisasi (rationalization) adalah bagaimana pelaku fraud atau kecurangan melakukan justifikasi (pembenaran) perilaku yang tak layak itu. Dengan Bahasa yang lebih keren, rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan mengapa perilaku sesorang berbeda motif dengan orang lainya. Oleh karena itu seringkali seseorang, ketika melakukan rasionalisasi terhadap perilaku, ia merasa tidak bersalah sekalipun ketangkap basah. Bahkan mereka tidak jarang melakukan verbalisasi terhadap perilakunya guna berusaha menyesuaikan konsep aturan yang seharusnya. Dan tidak jarang dengan sebuah apologi untuk menegaskan bahwa ‘kebenaran’ yang ia sampaikan berbasis logika empati dan masuk akal, lalu mendiseminasinya untuk jadi kebenaran kolektif.

Adanya motivasi, kesempatan, dan rasionalisasi seseorang dapat melakukan kecurangan namun karena kurangnya kemampuan untuk melaksanakannya maka perilaku itu tidak akan terjadi. Makanya teori segitiga kecurangan (Fraud Triangle Theory) ini disempurnakan oleh Wolfe dan Hermanson dengan teorinya “Fraud Diamond Theory “(FDT) dimana ‘kemampuan’ seseorang juga menjadi elemen pertimbangan bagi menilai perilaku curang sesorang.

Contoh kasus yang sering kita dengar di lingkungan kita, terkait oknum yang mengerti dan mampu memanfaatkan celah peraturan dan menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan kecurangan sesuai keinginannya. Bahkan kemampuan mereka untuk melakukan kecurangan meningkat seiring pengetahuan mereka, seperti terus mengupdate dan memahami pengendalian internal yang ada yang bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan kelemahanya yang selanjutnya menggunakanya dalam merencanakan kecurangan.

Untuk itu entitas yang berperan dalam kepatuhan terhadap kode etik dan disiplin pegawai harus selalu meningkatkan kemampuan personalnya tidak hanya bidang tehnologi namun juga kemampuan intepersonalnya, karena aturan dan ketentuan bahkan aplikasi pendukungnya yang canggih hanya seperti artificial Intelligence yang cuma bisa mengelola the how dari tingkah laku pegawai, tetapi belum menyentuh ke pada sisi the why alias alasan mengapa tingkah dan perilaku ketidaksiplinan itu muncul. Atau dengan kata lain, dengan perkembangan seperti sekarang ini kita harus lebih berfokus pada pribadi pegawai dengan segala dinamikanya. Memang fokus dan peduli pada seseorang biasanya butuh energi lebih dan melelahkan namun kepedulian pada sesama apalagi pada bawahan, rekan kerja atau atasan adalah tugas kita bersama.

Literasi Dan Penguatan Nilai Integritas

Ada prinsip umum yang berlaku bahwa “ Peduli pada hal yang buruk lebih kuat daripada hal yang baik “ . Ketika kita mengetahui hal buruk tentang orang lain, informasi itu lebih melekat dari pada informasi tentang hal yang baik. Kita memperhatikan lebih banyak kepada sesuatu yang buruk, merenungkanya lebih lama, mengingatnya lebih lama dan memberikanya bobot lebih besar ketika menilai orang tersebut secara keseluruhan. Kita bisa lihat bagaimana ekosistem menghukum teman kita yang bermaslah dengan kedisplinanya, mulai dengan distigmakan sebagai trouble maker sampai dengan eliminasi dari kegiatan kegiatan pokok kantor. Bahkan lebih tragis lagi kalau pegawai tersebut dimutasi dengan masih membawa persoalan praduga kedisplinan dari kantor lama. kayaknya tidak ada kata baik bagi integritasnya di unit yang baru.

Begitupun respon spontan kita terpengaruh pada prinsip bias “ yang buruk lebih butuh energi lebih dari pada yang baik” . “Ah ngapain ngurusin yang beginian bikin repot, menyita waktu dan tidak populis, mending urusin rutinitas, ngejar target atau yang lainya. Begitupun seonggok aturan kepegawaian dan peraturan terkait, rapi di bawah laci, dibuka-buka kalau ada masalah nanti. Seandainya disosialisasikan pun hanya sebatas ingatan di ruangan, jauh dari melekat apalagi sebagai rambu pengingat.

Lalu bagaimana caranya agar upaya edukasi dan literasi bisa efektif dan bisa menjadi kesadaran kita bersama ? Pertama, perlu kita sampaikan bahwa dalam dirimu ada dialektika benar dan salah, tidak mungkin bener terus ataupun salah terus. Orang bijak bilang “Siapa yang takut salah, dia pasti akan memilih untuk tidak berbuat apa-apa“ . Makanya kita harus belajar mencari apa yang benar dan apa yang salah, sekarang yang salah bisa pada teman dan yang benar pada anda, atau sebaliknya suatu saat nanti, makanya mari kita mencari apanya bukan siapanya, kita mempersoalakan nilai bukan manusianya. Dan marilah belajar bersama sama.

Kedua, “Pengetahuan tidak merubah perilaku” Banyak dokter ahli gizi yang kegemukan, Tidak jarang ahli hukum punya masalah dengan hukum dan dipidana dan seterusnya. Sementara informasi sudah terlalu terbuka sehingga orang dengan mudah bisa membuka dan mengecek kebenaran dan fakta yang dibicarakan orang. Artinya Tahu saja belum cukup, dan sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu apalagi diruang digital ekosistem seperti sekarang ini.

Lalu bagaimana agar upaya penguatan nilai integritas dapat kembali diinternalisasi secara serius kepada seluruh insan DJKN serta edukasi dan literasi dapat lebih membumi pada masyarakat DJKN, yang mana sedang diuntungkan oleh bonus demografi dengan banyaknya angkatan milenial, yang memiliki ciri berpikir strategis, inspratif, inovatif, interpersonal, energik, antusias egaliter. Adanya digital literasi, mungkin salah satu jawabanya. Tentu pola dan bentuknya bisa kita sesuaikan. Dan ini merupakan tugas kita bersama untuk menyediakan insfastruktur tersebut dalam bahasa yang fun dan friendly .

Ketiga, Peraturan Pemerintah RI Nomor 94 tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil , Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 97/PMK.01/2019 dan aturan terkait Disiplin dan Kode Etik lainya, kalau hanya dipahami secara verbal-literal pasti akan kehilangan pesan dan makna terdalam, makanya butuh respon perasaan dan emosi. Dalam kaitan ini seksi terkait dapat merancang kegiatan In House Training atau sharing knwoladge yang tidak hanya menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang ini namun juga dari mereka yang sedang menjalani hukuman atau sedang dalam proses penjatuhan hukuman disiplin atau temen teman kita yang sudah pernah menerima hukuman disiplin.

Memang sulit tapi kan belum tentu tidak bisa. Makanya kita perlu cermat dan cepat memberi pemahaman sekaligus menangani persoalan hukuman disiplin ini, bukan malah mengingkarinya dan berpura pura tidak ada apa-apa demi citra organisasi karena tidak membuat situasi semakin baik malah justru sebaliknya. Bahkan akan menjadi bomerang bagi kita apabila kita tidak segera menanganinya karena pasal 28 Ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 94 tahun 2021 berbunyi “Atasan langsung yang tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap PNS yang diduga melakukan Pelanggaran Disiplin, dan/atau melaporkan hasil pemeriksaan kepada Pejabat yang Berwenang Menghukum dijatuhi Hukuman Disiplin.


Disclaimer : Artikel ini merupakan opini pribadi dari penulis dan bukan merupakan pernyataan resmi dari institusi dimana penulis bekerja.

Penulis

Mohammad Chifni

Seksi BL I Bid.Lelang Kanwil DJKN Jatim.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini