Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Memahami Gratifikasi dan Konflik Kepentingan Sebagai Perwujudan Semangat Anti Korupsi di Lingkungan Kementerian Keuangan
Fildzah Rio
Jum'at, 25 Februari 2022 pukul 11:53:31   |   4860 kali

“Gratifikasi merupakan akar dari korupsi” adalah frasa yang sudah sangat familiar digaungkan dalam semangat memberantas korupsi di lingkungan ASN, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan. Pengetahuan dasar mengenai gratifikasi sudah menjadi materi wajib bagi para ASN Kemenkeu terutama yang berada di unit vertikal sebagai garda terdepan pelayanan publik. Akan tetapi, perlu disadari bahwa gratifikasi juga merupakan salah satu sumber terjadinya konflik kepentingan dan konflik kepentingan sendiri merupakan faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi.

Di dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, sering kali terdapat istilah konflik kepentingan. Konotasi negatif melekat padanya karena apabila terjadi di lingkungan kerja, maka akan memengaruhi kinerja dan reputasi instansi. Walaupun istilah tersebut sudah dikenal luas oleh publik, definisinya masih menjadi diskusi di dalam praktik penyelenggaraan pemerintah. Chris MacDonald, Michael McDonald, dan Wayne Norman mendefinisikan konflik kepentingan sebagai situasi di mana seseorang, seperti petugas publik, pegawai, atau seorang profesional, memiliki kepentingan pribadi dengan memengaruhi tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas kantor atau organisasinya.[1] Sementara itu, definisi konflik kepentingan menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan adalah : “kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan dan/atau yang dilakukannya.”

Kementerian Keuangan juga mengatur mengenai gratifikasi dalam PMK Nomor : 7/PMK.09/2017 Tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pada Pasal 1 ayat (1) PMK tersebut, dijelaskan pengertian gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Sementara itu, walaupun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi salah satu aturan yang diadopsi oleh PMK Nomor : 7/PMK.09/2017, namun dalam Pasal 1 ayat (7) PMK tersebut nomenklatur yang digunakan bukanlah ‘konflik kepentingan’ melainkan ‘benturan kepentingan’ yang berarti situasi di mana ASN Kemenkeu memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Sebagai payung hukum ASN, dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara salah satu landasan yang wajib dimiliki ASN sebagai profesi adalah kode etik dan kode perilaku. Kode etik dan kode perilaku tersebut bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Di dalam Pasal 5 ayat (2) UU ASN, kode etik dan kode perilaku berisi pengaturan perilaku agar pegawai ASN :

a. Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi;

b. Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin;

c. Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan;

d. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan;

f. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;

g. Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien;

h. Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya;

i. Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan;

j. Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain;

k. Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN, dan

l. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.

Sesuai dengan poin h, seorang pegawai ASN wajib menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Beberapa sumber konflik kepentingan yang wajib dijadikan perhatian bagi ASN adalah sebagai berikut :[2]

a. Kekuasaan dan kewenangan penyelenggara negara yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan;

b. Perangkapan jabatan, yakni seorang penyelenggara negara menduduki dua atau lebih jabatan publik sehingga sulit menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel;

c. Hubungan afiliasi, yakni hubungan yang dimiliki seorang penyelenggara negara dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, perkawinan, maupun pertemanan yang dapat memengaruhi keputusannya;

d. Gratifikasi, yakni pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya[3];

e. Kelemahan sistem organisasi, yakni keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang disebabkan karena aturan, struktur, dan budaya organisasi yang ada; dan

f. Kepentingan pribadi, yakni keinginan/kebutuhan seorang penyelenggara negara mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.

Kementerian Keuangan sebagai instansi yang memiliki semangat tinggi dalam pemberantasan korupsi sadar bahwa konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Situasi yang menyebabkan seorang pegawai ASN menerima gratifikasi atas suatu keputusan/jabatan merupakan salah satu contoh kejadian yang sering dihadapi ASN dan dapat menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah:[4]

a. Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest (kepentingan pribadi) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi ASN dapat terganggu;

b. Penerimaan gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan penilaian profesional ASN;

c. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Normalisasi penerimaan gratifikasi sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada ASN dalam suatu acara pribadi atau pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar akan memegaruhi ASN yang bersangkutan. Pembiaran atas hal tersebut, cepat atau lambat, berpotensi menimbukan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang disandang oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu demi kepentingan pemberi sebagai balas jasa.

Oleh karena itu, salah satu cara sebagai wujud preventif lahirnya benturan kepentingan pada ASN Kemenkeu adalah dengan mengatur cara pelaporan gratifikasi yang diterima oleh ASN Kemenkeu. Di dalam PMK Nomor : 7/PMK.09/2017, terdapat dua cara sebagai berikut :

a. Pelaporan gratifikasi melalui UPG atau Unit Pengendali Gratifikasi (Pasal 9)

Pada kantor vertikal, yang ditunjuk menjadi UPG adalah Seksi Kepatuhan Internal. Setiap bulannya, Seksi Kepatuhan Internal meminta laporan penanganan gratifikasi yang berisi penerimaan/penolakan gratifikasi oleh ASN yang nantinya akan diteruskan kepada UPG kantor wilayah lalu berjenjang hingga ke UPG kantor pusat.

b. Pelaporan gratifikasi melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 11)

Diajukan apabila dalam hal lebih dari 7 hari kerja sejak gratifikasi diterima belum dilaporkan, maka laporan dilakukan secara langsung kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima. Laporan ini dapat disampaikan langsung ke Kantor KPK atau dikirim melalui pos, e-mail, atau situs KPK.

Selain itu, untuk mewujudkan kepastian hukum maka di dalam Pasal 23 PMK Nomor : 7/PMK.09/2017 telah diatur pula mengenai pengenaan sanksi kepada ASN Kemenkeu yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan akan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebagai ASN Kementerian Keuangan yang sudah memahami nilai-nilai Kementerian Keuangan, sudah seharusnya kita mampu memelihara integritas dan profesionalisme sehingga dapat menghindari benturan kepentingan terutama yang bersumber dari gratifikasi. Semangat anti korupsi wajib diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsi karena berani jujur itu hebat.

Penulis : Fildzah Rio, Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung

[1] Chris MacDonald, Michael McDonald, and Wayne Norman, “Charitable Conflicts of Interest,” Journal of Business Ethics 39:1-2, 67-74, Aug. 2002. p.68

[2] Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi Penyelenggara Negara, hal. 4

[3] Pasal 12 ayat B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[4] Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010, hal.7

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini