Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Memahami Delik Aduan, Tuntutan Balik, Bukti Persidangan, dan Putusan Hakim dalam sebuah serial “Cappadocia”
Luthfi Waskitojati
Senin, 07 Februari 2022 pukul 11:51:09   |   53762 kali

“its my dreams mas, not her!” demikian penggalan adegan di sebuah serial paling popular belakangan ini yang baru saja tamat . Serial yang dibintangi aktor Reza Rahardian tersebut begitu populer hingga mewarnai timeline sosial media sampai-sampai muncul banyak meme memparodikan serial tersebut. Serial yang digandrungi tidak hanya ibu-ibu namun juga anak-anak muda hingga bapak-bapak tersebut bercerita mengenai kehidupan rumah tangga yang rusak akibat hadirnya orang ketiga, hingga akhirnya harus berjuang memperjuangkan hak-haknya melalui hukum.

Jalanya cerita semakin seru ketika seorang wanita bernama Kinan menggunakan upaya hukum untuk menyelesaikan masalah dengan suaminya, Aris. Bagi pegawai DJKN yang saat ini atau suatu saat akan melaksanakan tugas fungsi penanganan perkara, terdapat hal-hal yang tidak bisa begitu saja dipahami dari serial tersebut. Apa yang ditayangkan dalam serial tersebut bertujuan untuk membuat jalan cerita kian seru dan menarik, sehingga mungkin akan berbeda dengan yang ada didalam dunia nyata. Ada beberapa hal terkait hukum yang menarik untuk dipahami dalam serial tersebut, antara lain:

1. Memahami Delik Aduan

Dalam sebuah episode terdapat adegan Aris dan Lidya begitu ketakutan Kinan melaporkan perbuatannya hingga melakukan hal apapun, meminta agar Kinan tidak melapor. Melihat episode tersebut, perlu dipahami bahwa perkawinan pada prinsipnya merupakan hubungan hukum perdata antara seorang dengan orang lain yang diatur dalam Buku I KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi, pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat dilakukan upaya hukum baik berupa gugatan talak/cerai atau upaya pidana.

Bagi Aris, perbuatannya dengan Lidya dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP yang menyatakan bahwa “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,”. Namun perlu sesuai dengan Pasal 284 ayat (2), delik/tindak pidana ini merupakan delik aduan absolut yang hanya dapat dilakukan oleh istri pelaku dalam hal ini Kinan. Lalu apakah Lidya dapat dipidana juga? Apabila melihat rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 2 KUHP, dinyatakan bahwa :

a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, meskipun Lidya dalam serial ini “turut serta” melakukan perbuatan itu, namun karena kedudukan Lidya belum kawin maka ia dapat “lolos” dari tuntutan. Namun jangan pernah coba-coba menjadi “Lidya” ya?

Delik aduan merupakan delik yang memiliki karakter yang unik apabila dibandingkan dengan delik umum yaitu:

· Delik aduan digunakan untuk tindak pidana yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau hingga tercapai sebuah kesepakatan bersama.

· Aduan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, dalam hal ini korban. Jadi harus bedakan pengertian “aduan” dan “laporan”. Laporan Pidana dapat dilakukan siapa saja yang mengetahui adanya tindak pidana.

· Dapat diwakilkan hanya dalam hal umurnya belum cukup/belum dewasa/dibawah pengampuan, oleh wakilnya yang sah dalam perkara perdata. (Pasal 72 KUHP)

· Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (Pasal 74 KUHP)

· Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Pasal 75 KUHP. Namun khusus untuk delil perzinahan ini berlaku pengecualian sesuai dengan Pasal 284 ayat (4) KUHP yang menjelaskan bahwa “pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai”

Bandingkan dengan delik umum. Tuntutan Delik umum dapat berjalan tanpa harus menunggu aduan seseorang, contohnya pelaku pencurian yang dapat dituntut meskipun korban tidak melapor dan meskipun pelapor mencabut laporannya, kasus pidana tetap diproses.

2. Memahami Konsep tuntutan balik / rekonvensi

Dalam sebuah episode terdapat adegan dimana Pengacara Aris Mengatakan klien-nya akan menang kemudian mengancam Kinan dan Lola bahwa pihaknya akan mengajukan "tuntutan balik atas pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan". Dalam episode ini, penonton serial tersebut harus kritis dalam memahami perkara apa yang sedang mereka bicarakan dan apakah bisa dilakukan tuntutan balik atas pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan.

Pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan merupakan tindak pidana yang diatur pengaturannya di dalam KUHP. Di dalam hukum pidana tidak mengenal adanya tuntutan balik, karena sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 KUHAP, penuntutan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dalam hal ini Penuntut Umum. Sesuai dengan asas dominus litis[1], penuntut umum merupakan “wakil negara” yang berwenang menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak. Jadi ancaman berupa tuntutan balik atas pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan adalah ancaman yang tidak dimungkinkan di dunia realita. Akan menjadi lebih tepat apabila Pengacara tersebut mengatakan “kami akan balik melaporkan balik saudara dengan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan”.

Tuntutan balik dimungkinkan untuk hukum perdata dan dikenal dengan istilah Rekonvensi. Rekonvensi merupakan upaya Tergugat untuk menggugat balik Penggugat dalam suatu nomor perkara yang sama. Gugatan rekonvensi diformulasi atau diterangkan tergugat dalam jawaban. Sebagai contoh, seorang pembeli lelang bernama Mr. A digugat dalam suatu perkara perdata. Merasa dirugikan karena tidak kunjung dapat menguasai objek lelang yang ia beli kemudian Mr. A mengajukan gugatan balik kepada Penggugat yang tidak kunjung meninggalkan objek lelang dengan tuntutan/petitum dalam rekonvensi:

· Mengabulkan gugatan rekonvensi Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk seluruhnya.

· Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi yang tidak bersedia mengosongkan tanah sengketa adalah Perbuatan Melawan Hukum.

· Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk segera mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkan kepada Penggugat secara sukarela dan tanpa syarat.

Mengajukan gugatan rekonvensi memerlukan perhatian khusus dalam pengajuannya layaknya mengajukan gugatan pada umumnya. Tidak terpenuhinya suatu syarat gugatan, berpotensi gugatan rekonvensi ditolak. Dalam buku Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, terdapat syarat formil gugatan rekonvensi yaitu[2]:

· menyebut dengan tegas subjektif yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;

· merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;

· menyebut dengan rinci petitum gugatan

3. Memahami bukti/pembuktian sesuai konteks hukum

Masih di episode yang mempertemukan Aris dan Pengacaranya dengan Lola dan Kinan, di dalam pembicaraan mereka mengenai bukti yang lemah, tentu akan muncul sebuah pertanyaan apakah bukti chat, manifes pesawat, dan bukti transfer adalah bukti yang lemah? hingga muncul sebuah episode Kinan kepada Lidya untuk memperoleh bukti-bukti yang menguatkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, seorang penangan perkara harus memahami bukti yang akan diajukan untuk kasus pidana atau perkara perdata? Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata memiliki perbedaan yang sangat mendasar yaitu kebenaran yang dicari. Di dalam dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil/ kebenaran sejati, maka hakim bebas menggunakan / mengesampingkan sebuah surat berbeda halnya dengan hukum acara perdata yang mencari kebenaran formil.

Apabila permasalahan tersebut merupakan permasalahan pidana, berdasarkan Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seorang kecuali ditemukan sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah dan atasnya memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya[3].

Adapun jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk; dan

e. keterangan terdakwa.

Dalam kasus overspel yang ada dalam serial “Cappadocia” tersebut, Hakim tidak perlu melihat secara detail adanya bukti formil yang menunjukan adanya overspel. Sepanjang terdapat bukti yang mengarah pada tindakan overspel sebagai contoh keterangan saksi dalam hal ini orang yang mengadukan delik tersebut bahwa pelaku tidak pulang karena pergi ke Cappadocia dan dalam manifest pesawat terdapat fakta pelaku pergi bersama wanita yang sering melakukan chat dan sering ditransfer sejumlah uang kemudian Majelis berkeyakinan ada tindak pidana sesuai Pasal 284 KUHP, maka cukup bagi Majelis menjatuhkan pidana berdasarkan bukti-bukti tersebut.

Lain hukum acara pidana, lain pula hukum acara perdata. Apabila kasus yang dibicarakan oleh Pengacara Aris bersama Lola dan Kinan berkaitan dengan Hukum Acara Perdata dalam hal ini perceraian, kemudian Aris bersikukuh tidak mau mengakui adanya overspel dan tidak mau bercerai, maka ada benarnya apa yang disampaikan oleh Pengacaranya.

Pada Pasal 1865 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Berdasarkan ketentuan tersebut, penggugat dipikulkan beban wajib bukti atau bewijslast atau burden of proof untuk membuktikan apa yang ia dalilkan.

Adapun alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBG yang terdiri dari :

a. bukti tulisan,

b. bukti dengan saksi,

c. persangkaan,

d. pengakuan, dan

e. sumpah

Di dalam serial tersebut, sangatlah wajar apabila Kinan berjuang memperoleh bukti termasuk berpura-pura baik kepada Lidya. Apabila upaya Kinan dikaitkan dengan tusi penaganan perkara DJKN, sangatlah wajar apabila Penangan perkara DJKN menjumpai Penggugat yang mengajukan bukti sedetail mungkin untuk membuktikan dalilnya. Yang dapat dilakukan oleh penangan perkara DJKN adalah melumpuhkan nilai kekuatan pembuktian yang diajukan penggugat dengan cara mengajukan bukti lawan atau tegen bewijs atau evidence to the contrary. Selain itu di dalam Kesimpulan, penangan perkara DJKN perlu aktif untuk menanggapi bukti-bukti Penggugat, memastikan tindakan yang dilakukan DJKN telah sesuai ketentuan dan bukti-bukti Penggugat dapat dilumpuhkan.

4. Putusan hakim adalah mengabulkan gugatan penggugat/menerima eksepsi tergugat, menolak gugatan penggugat, atau tidak menerima gugatan penggugat

Bagi penangan perkara, sangatlah janggal apabila Majelis Hakim menyatakan gugatan “disetujui” dalam amar putusan seperti yang ditampilan pada episode teakhir serial tersebut. Di dalam hukum acara perdata hanya dikenal 3 (tiga) macam amar putusan yaitu:

a. Gugatan dikabulkan

Apabila gugatan telah memenuhi persyaratan formil suatu gugatan dan apa yang didalilkan penggugat dalam gugatnya dapat dibuktikan dalam proses pembuktian, maka umumnya majelis hakim akan menyatakan: “Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya” atau “Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian”. Beberapa kasus majelis hakim menyatakan “Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi untuk seluruhnya” ada juga yang menyatakan “Menerima Eksepsi Tergugat tentang Eksepsi kompetensi absolut”. Sehingga ketika suatu saat penangan perkara DJKN menyusun gugatan baik konvensi maupun rekonvensi, jangan pernah menuliskan “menyetujui” seperti serial tersebut.

b. Gugatan ditolak

Gugatan tidak selamanya dikabulkan oleh majelis hakim. Banyak dijumpai penggugat yang mengajukan gugatan kepada DJKN tidak mampu membuktikan dalilnya, atau apayang didalilkan bukan merupakan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana didalilkan penggugat. Berkaitan dengan hal tersebut, Yahya Harahap menyatakan bahwa “bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya.[4]” Olehkarenanya, amar putusan yang mungkin dijumpai adalah “Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya”

c. Gugatan tidak diterima

Terakhir, apabila gugatan yang diajukan oleh Penggugat mengandung cacat formil, maka majelis hakim di dalam amar menyatakan “menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima/ niet ontvankelijke verklaard (NO)”. Sebagai contoh apabila pengadilan tidak memiliki kewenangan mengadili, gugatan kurang pihak, atau penggugat salah menarik pihak. Lalu apa yang menyebabkan akibat hukum antara “Gugatan Tidak Diterima” dengan “Gugatan Ditolak” berbeda?

Mengingat Gugatan Tidak Diterima yang dilihat hanya syarat formil gugatannya, maka belum ada hukum yang timbul dari pokok perkara. Sehingga ketika gugatan tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima/ niet ontvankelijke verklaard” maka Penggugat dimungkinkan untuk memperbaiki gugatannya dan mengajukan gugatan lagi dengan pokok perkara yang sama. Sedangkan apabila gugatan tersebut dinyatakan Ditolak dan telah inkracht, maka sesuai Pasal 1917 KUHPerdata, Penggugat sudah tidak dapat mengajukan gugatan dengan pokok perkara yang sama sesuai dengan asas :Nebis in Idem”.

Demikian beberapa ulasan hukum yang yang terkait dengan serial yang sangat populer belakangan ini. Semoga dapat memeberikan wawasan dan meluruskan apa yang mungkin tidak sejalan dengan realita, khususnya mengenai praktek penerapan hukum. Salam Sehat.


[1] Tiar Adi Riyanto, Fungsionalisasi Prinsip Dominus Litis Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia, Lex Renaissan, No. 3 Vol. 6 JULI 2021: 481-492

[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, 2014, Sinar Grafika: Jakarta, hal. 479

[3] Ali Imron dan Muhamad Iqbal, Hukum Pembuktian, 2019, Tangerang Selatan:UnpamPress, hlm 3

[4] Yahya Harahap. Op Cit. hlm. 812

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini