Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Pegawai, Aset atau Stakeholder?
Putri Setyaningsih
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12:32:05   |   3296 kali

Reformasi birokrasi yang menjadi agenda besar Pemerintah RI dalam satu dekade terakhir telah mengubah pola kerja di kantor-kantor pemerintahan. Kini seluruh instansi pemerintah dituntut untuk berorientasi pada budaya kerja anti korupsi, berkinerja tinggi, dan memberikan pelayanan publik yang semakin berkualitas. Kepuasan stakeholder menjadi faktor penting yang digaungkan di setiap kesempatan.

Sebetulnya siapa saja kelompok stakeholder instansi pemerintah? Freeman (1984) dan Freeman dkk (2010) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan/organisasi. Umumnya, pihak yang dianggap sebagai stakeholder utama adalah para konsumen. Bagi instansi pemerintah, konsumen di sini adalah para pengguna layanan dan masyarakat secara umum. Tidak hanya sebatas itu, kelompok masyarakat lain juga merupakan stakeholder instansi pemerintah, misalnya seperti pelaku bisnis, politikus, instansi pemerintah lain, dan sebagainya.

Selain para pihak eksternal, stakeholder suatu instansi pemerintah juga mencakup seluruh pegawainya. Mengutip Lambert (2012) pada Freudenreich dkk (2020), pegawai kerap tidak dianggap sebagai kelompok stakeholder, dan lebih sering dianggap sebagai sumber daya atau aset intelektual. Padahal mereka memiliki pengetahuan, kemampuan, dan aktivitas yang merupakan aspek kritis dalam proses pencapaian tujuan perusahaan/organisasi. Para pegawai berperan besar dalam pelaksanaan program, layanan, dan inovasi, sekaligus juga menjadi “wajah” organisasi karena merekalah yang bersinggungan langsung dengan pengguna layanan.

Organisasi mengelola pegawainya sejak dari proses perekrutan hingga pemutusan hubungan kerja. Selama aktif bekerja, pegawai diharapkan terlibat dalam proses penciptaan nilai dengan mencurahkan pengetahuan dan kemampuannya, dan sebagai imbalan akan mendapat gaji, tunjangan, pelatihan, hak cuti, dan manfaat sosial lainnya. Konsep ini memiliki tendensi memperlakukan pegawai sebagai pihak yang pasif, bukan sebagai stakeholder aktif. Padahal sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dan harapan, pegawai memiliki karakteristik yang berbeda dari jenis sumber daya lain. Dengan pendekatan manajemen stakeholder dalam mengelola sumber daya manusia, proses penciptaan nilai dilakukan bersama dan untuk pegawai sebagai salah satu kelompok stakeholder.

Di Kementerian Keuangan, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) terus diperbaiki dan ditingkatkan dari waktu ke waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa hal yang dapat di-highlight sebagai kemajuan dalam manajemen pegawai Kemenkeu antara lain digitalisasi data pegawai melalui aplikasi HRIS, kebijakan remunerasi pegawai, fasilitas diklat online melalui aplikasi Kemenkeu Learning Center (KLC), assessment center dan uji kompetensi yang berdasarkan sistem merit, manajemen talenta, serta Internal Job Vacancy (IJV). Data kepegawaian yang lengkap dan terintegrasi akan memudahkan proses staffing dan profiling pegawai. Selain itu, di sisi pegawai, digitalisasi dan penyimpanan dokumen kepegawaian tentu akan mempermudah proses administrasi misalnya seperti kenaikan pangkat.

Terkait program pengembangan pegawai, Kemenkeu kini juga memfasilitasi pegawainya dengan layanan belajar daring melalui aplikasi KLC. Aplikasi ini menjadikan proses pembelajaran dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, sesuai dengan tagline yang diusung yaitu “Belajar Tanpa Batas”. Selanjutnya, para pegawai yang telah memenuhi kriteria juga dapat masuk dalam sebuah talent pool yang dikembangkan untuk menyiapkan pegawai pada posisi tertentu baik di struktural maupun fungsional. Pertanyaan dasar yang perlu disampaikan kembali pada titik ini adalah “Apakah terdapat sarana bagi pegawai untuk menyampaikan aspirasi, minat, bakat, maupun kebutuhan yang di luar rencana organisasi untuk mereka?”

Kemenkeu jelas telah mengambil langkah untuk memastikan para pegawainya dapat menyampaikan preferensi masing-masing dalam pengembangan diri. Selain terus melengkapi formasi fungsionalnya, Kemenkeu pada 2021 membuka program IJV yang memungkinkan para pegawai untuk “memilih” langsung unit kerja yang diinginkan. Meski masih belum spesifik hingga ke variabel terkecil, namun melalui program ini, para pegawai yang berminat dapat mengikuti seleksi untuk bekerja dan ditempatkan di unit yang diinginkan. Sebelumnya, sangat sedikit pilihan yang dapat diambil oleh seorang pegawai Kemenkeu, selain mengikuti keputusan organisasi untuk ditempatkan di unit kerja. Bahkah, banyak juga yang “terjebak” ke posisi-posisi tertentu yang bukan merupakan jenis pekerjaan yang disukai. Bukankah pada umumnya manusia akan lebih bersemangat dan produktif ketika bekerja dalam bidang yang menjadi minatnya?

Untuk mengetahui minat, bakat, dan kemampuan pegawai yang tidak tampak di basis data kepegawaian, pada akhir 2021 lalu Biro SDM Kemenkeu memulai sebuah survei bertajuk Pemetaan&Peminatan Keahlian/Kemampuan Teknis. Seluruh pegawai Kemenkeu diwajibkan untuk mengisi survei tersebut. Di dalamnya pegawai dihadapkan pada kurang lebih sembilan belas pilihan keahlian. Pilihan yang disediakan tidak hanya meliputi keahlian teknis seputar core business Kemenkeu saja, tapi juga meliputi keahlian umum seperti kehumasan, hukum, enterprise architecture, statistika, teknik, dan teknologi informasi. Partisipan survei diminta untuk memilih bidang keahlian yang diminati atau dikuasai, serta mencantumkan referensi pembelajaran yang telah ditempuh di bidang tersebut. Referensi pembelajaran dapat berupa pendidikan atau pelatihan formal ataupun otodidak.

Mengelola lebih dari 80 ribu pegawai bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Namun berbagai terobosan di bidang kepegawaian yang dilakukan Kemenkeu menunjukkan arah kebijakan yang memperhitungkan pegawai yang tidak hanya sebagai aset yang bersifat pasif, namun juga sebagai stakeholder yang dipedulikan kepuasannya. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan proses value creation yang timbal balik, tidak hanya bagi organisasi tapi juga bagi pegawai. Pemetaan minat pegawai memang baru sebuah langkah awal, masih banyak tindak lanjut yang dibutuhkan, dan banyak program serta kebijakan yang perlu disusun. Namun, berdasarkan bukti yang ada, dapat diyakini bahwa pengelolaan SDM Kemenkeu berada di lintasan yang tepat.

Penulis: Melliana Andriani Susanto/Kasi HI KPKNL Tarakan

Sumber:

  1. Freeman, E. (1984). Stakeholder management: Framework and philosophy. Mansfield: Pitman.
  2. Parmar, B. L., Freeman, E., Harrison, J. S., Wicks, A. C., & de Colle, S. (2010). Stakeholder theory: The state of the art. Cambridge: Cambridge University Press.
  3. Freudenreich, B., Lüdeke-Freund, F. & Schaltegger, S. A Stakeholder Theory Perspective on Business Models: Value Creation for Sustainability. J Bus Ethics 166, 3–18 (2020).
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118 /PMK.01/2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini