Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Penyelenggaraan Asuransi BMN Pasca Terbitnya Perpres 75 Tahun 2021 Menurut Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Irfan Rachmat Devianto
Selasa, 19 Oktober 2021 pukul 09:10:49   |   706 kali

Secara geografis Indonesia merupakan negara yang berada pada kawasan cincin api dunia atau ring of fire, di mana negara dalam kawasan tersebut mempunyai tingkat risiko bencana alam yang tinggi. Bencana merupakan fenomena alam yang bersifat merusak dan tidak bisa diprediksi akan terjadi. Bencana alam dapat merusak beberapa elemen, seperti makhluk hidup, bangunan maupun fasilitas umum. Upaya pemerintah dalam menanggulangi kerusakan aset akibat bencana alam yaitu dengan meluncurkan dana inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) serta diiringi dengan pengasuransian aset/ Barang Milik Negara (BMN).

Belakangan ini asuransi syariah resmi tergabung dalam konsorsium asuransi Barang Milik Negara. Hal tersebut dilandasi dengan Perpres Nomor 75 tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Pengasuransian BMN sebelumnya sudah berjalan. Berdasarkan data medkom.id, hingga 31 Agustus 2021 pemerintah telah mengasuransikan 4.334 Nomor Urut Pendaftaran (NUP) atau aset BMN pada 51 K/L dengan premi sebesar Rp49,13 miliar. Adapun total nilai petanggungan dari seluruh aset tersebut mencapai Rp 32,41 triliun.

Pengasuransian BMN dilaksanakan dengan prinsip selektif, efisiensi, efekvifitas dan prioritas sebagaimana tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara (BMN). Salah satu tahap awal pelaksanaan Pooling Fund Bencana yakni terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 (Perpres 75/2021) tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Perpres 75/2021, dana dari klaim asuransi menjadi salah satu sumber untuk dana bersama penanggulangan bencana. Disebutkan di dalamnya bahwa dana bersama bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lainnya yang sah seperti penerimaan pembayaran klaim asuransi dan/atau asuransi syariah, hasil investasi dari dana yang dikelola, hibah yang diterima unit pengelola dana di lingkungan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, hasil kerja sama dengan pihak lain dan dana perwalian.

Dana bersama bertujuan untuk mendukung dan melengkapi ketersediaan dana penanggulangan bencana yang memadai, tepat waktu, tepat sasaran, terencana dan berkelanjutan dalam upaya penanggulangan bencana secara berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dana bersama penanggulangan bencana tersebut akan dikelola oleh Unit Pengelola Dana (UPD) yang dapat berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Unit pengelola dana dapat mengembangkan pengelolaan dana dalam bentuk investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila dilihat dari perspektif syariah, akad tabarru’ dalam operasional Pooling Fund Bencana (PFB) mempunyai andil dalam praktiknya. Sifat melindungi dan tolong menolong antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset-aset dari akad tabarru’, yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Akad tabarru’ ini dilakukan dalambentuk hibah dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan untuk tujuan komersial. Akad tabarru’ diatur oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional No.53/DSN-MUI/III/2006,

Dapat disimpulkan bahwasannya seluruh elemen masyarakat harus bahu membahu dalam menjaga aset negara. Perusahaan asuransi syariah sebagai penanggung dan pemerintah sebagai tertanggung mempunyai peran sentral dalam hal ini. Pentingnya menjaga aset negara adalah upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dan menunjang fasilitas kebutuhan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan yang tertuang pada HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya :”Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu agian menguatkan bagian yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

Perspektif Hukum terkait penyelenggaraan Asuransi BMN Pasca Terbitnya Perpres 75 Tahun 2021

Dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang selanjutnya disebut PP Nomor 27 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pengelola Barang dapat menetapkan kebijakan asuransi atau pertanggungan dalam rangka pengamanan BMN tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Selanjutnya PP Nomor 27 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa mengenai tata cara asuransi BMN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sebagai tindak lanjut ketentuan dalam Pasal 45 PP Nomor 27 Tahun 2014 tersebut, Menteri Keuangan telah menetapkan PMK Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara (selanjutnya disebut PMK Nomor 97/PMK.06/2019) pada tanggal 21 Juni 2019. PMK ini berlaku sejak tanggal 25 Juni 2019.

Tulisan hukum ini akan membahas mengenai pengasuransian BMN dengan mengacu pada ketentuan yang diatur padaPP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; dan PMK Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara.

Pada PMK Nomor 97/PMK.06/2019 Bab IV tentang tata cara pengasuransian BMN pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa Kuasa Pengguna Barang menyusun rencana pengasuransian BMN di lingkungan Kuasa Pengguna Barang yang bersangkutan. Berdasarkan pasal 22 ayat (1) bahwa anggaran pengasuransian BMN dialokasikan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran kementerian atau lembaga yang bersangkutan. Pengadaan jasa asuransi dilaksanakan setelah tersedianya anggaran untuk pengasuransian BMN pada satuan kerja bersangkutan. Pengadaan jasa asuransi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dan ketentuan di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Perspektif Ekonomi terkait penyelenggaraan Asuransi BMN Pasca Terbitnya Perpres 75 Tahun 2021

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengatakan terkait dengan penyelenggaraan asuransi BMN berdasarkan Perpres 75 tahun 2021 yang bertujuan untuk penanggulangan dampak bencana pada BMN. Dengan adanya Perpres tersebut maka konsorsium ini dapat mendongkrak pertumbuhan premi perusahaan industri, adapun potensi premi terlihat dari jumlah aset BMN yang mencapai Rp 2.183 triliun pada semester I tahun 2017.

Bahkan untuk saat itu Asosiasi terus menunggu program asuransi BMN dan konsorsium perusahaan asuransi yang didukung oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perusahaan yang berada dalam lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sangat tertarik dengan konsorsium ini. Pasalnya, tidak hanya dapat mendongkrak pertumbuhan premi asuransi.

Program ini juga membantu pemerintah dalam meminimalisasi risiko terhadap pengelolaan BMN, dengan demikian anggaran yang dikeluarkan pemerintah menjadi lebih efisien. Kendati demikian belum dapat memberikan proyeksi dampak dari asuransi BMN bisa meningkatkan pangsa pasar harta benda, properti dan bencana alam. Kemudian sumbangan pendapatan premi dari program asuransi BMN baru bisa dirasakan perusahaan-perusahaan yang nantinya tergabung dalam konsorsium.

Dari berbagai pandangan diatas dapat diketahui bahwa dampak penyelenggaraan Asuransi BMN terhadap penanggulangan bencana alam sangat didukung oleh perusahaan yang berada dalam lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan konsorsium. Dengan pertimbangan para perusahaan ingin melihat pertumbuhan premi dari asuransi BMN tersebut, terutama produk asuransi properti yang bisa masuk dalam kategori asuransi BMN.

Perspektif Hukum Islam terkait penyelenggaraan Asuransi BMN Pasca Terbitnya Perpres 75 Tahun 2021

Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta’min , takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Artinya : “..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Melihat pada fatwa DSN-MUI terkait penyelenggaraan Asuransi BMN dalam pelaksanaannya harus berdasarkan prinsip ta’awun serta saling komitmen pada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tujuan untuk kemaslahatan umat dan rahmat bagi alam. Sehubungan dengan pengasuransian dana BMN untuk penanggulangan bencana alam .

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah : 2). Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir). Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).

Asuransi BMN secara tegas tidak bertentangan dengan prinsip manajemen risiko. Risiko merupakan obyek dari asuransi, sifatnya tidak pasti. Pada zaman Umar bin Khattab, Diyah atau uang tebusan semestinya dibayarkan aqillah (kerabat atau saudaranya) dari seorang pembunuh kepada ahli waris yang dibunuh untuk menghindari pembunuhnya dari jerat hukum. Sedangkan fidyah adalah tebusan yang dibayarkan oleh aqillah tahanan perang kepada musuh agar dibebaskan dari tahanan. Diwan ditetapkan di berbagai distrik selama masa khalifah Umar bin Khattab, orang yang namanya dicatat dan dimuat dalam diwan, untuk berjanji satu dengan yang lainnya untuk secara bersama-sama membayar uang tebusan apabila ada diantara mereka yang membutuhkannya. Inilah prinisp yang berlaku sampai sekarang. Artinya risiko tetap terjadi disetiap zaman dan akan menimpa pada objek risiko tersebut. Islam memperbolehkan langkah-langkah ini apabila didalmnya tidak terdapat unsur maysir (judi). (Penulis: KPKNL Cirebon)


Referensi:

Aryani Witasari Junaidi Abdullah, “Tabbaru Sebagai Akad Yan Melekat Pada Asuransi Syariah”, Jurnal Bisnis, Vol. 2, No. 1, Juni 2014.

Fatwa DSN MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Muhammad Fadhil Junery, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, “Jurnal Iqtishadana (Ekonomi Kita)”.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara.

Sri Rezeki Hartono, Hukum dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,2001).


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini