Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Pemeriksaan Setempat (descente) Dalam Hukum Pembuktian Perkara Perdata
Kevin Bhaskara Sibarani
Senin, 11 Oktober 2021 pukul 14:42:29   |   25651 kali

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai unit/instansi yang menjalankan misi Kementerian Keuangan untuk mengelola kekayaan negara memiliki peran dan fungsi yang meliputi pengelolaan barang milik negara (BMN), kekayaan negara dipisahkan (KND), kekayaan negara lain-lain (KNL), piutang negara, lelang, dan penilaian. Dalam dimensi pekerjaan yang luas tersebut, persoalan hukum mengenai benda tidak bergerak yaitu tanah dan/atau bangunan sebagai objek perkara di Pengadilan seolah menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Tidak jarang dalam penanganan perkara di DJKN, pelaksanaan pemeriksaan setempat harus dilakukan untuk memberikan kepastian mengenai letak atau batas objek perkara.

Dalam hukum acara perdata di Indonesia yang bersumber dari HIR, RBG dan Rv mengatur bahwa “Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh mengangkat satu atau dua orang Komisaris dari pada dewan itu, yang dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim (vide Pasal 153 HIR). Ketentuan lain mengenai pemeriksaan setempat dapat diperoleh dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat, namun demikian mengenai teknis pelaksanaannya belum diatur lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan tersebut.

Dalam memutuskan suatu perkara, Hakim mendasarkan pada bukti-bukti yang diajukan oleh Para Pihak. Sedangkan ketentuan mengenai pemeriksaan setempat dalam HIR tersebut memiliki makna bahwa pemeriksaan setempat merupakan “pilihan” bagi Hakim dalam menimbang dan mengadili suatu perkara. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya kedudukan pemeriksaan setempat dalam pembuktian menurut hukum acara perdata.

Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat

Tahapan pembuktian merupakan tahapan atau proses penting dalam suatu persidangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian memiliki arti logis,konvensional dan yuridis dimana dalam arti yuridis dari konteks pembuktian adalah upaya untuk memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa hukum yang diajukan tersebut.

Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran formil (formeel waarheid). Secara enumeratif, alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu (1) tulisan atau surat, (2) saksi-saksi, (3) pengakuan, (4) sumpah, (5) persangkaan hakim. Namun demikian, beberapa pendapat mengatakan jika alat bukti sebagaimana yang diatur dalam pasal 164 HIR tersebut dirasa kurang dapat memberikan kekuatan dan kejelasan pada hakim dalam mengambil keputusan, maka pembuktian dapat dilakukan dengan cara lain yaitu Pemeriksaan Setempat yang diatur dalam Pasal 153 HIR dan Pasal 180 Rbg atau Keterangan Ahli yang diatur dalam Pasal 154 HIR dan Pasal 181 Rbg.

Konsekuensi dari tidak termasuknya pemeriksaan setempat sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata berpengaruh pada kekuatan pembuktiannya. Menurut Yahya Harahap, pada dasarnya hasil pemeriksaan setempat merupakan fakta yang ditemukan dalam persidangan, sehingga mempunyai kekuatan mengikat kepada Hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi sifat daya mengikatnya tidak mutlak dimana Hakim bebas untuk menentukan nilai kekuatan pembuktiannya. Oleh karena itu, pemeriksaan setempat memiliki kekuatan pembuktian sepanjang dielaborasikan dengan “alat bukti” sah lainnya, semisal sertifikat tanah.

Khusus perkara atau sengketa mengenai pertanahan, Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2001 meminta hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan Pemeriksaan Setempat atas objek perkara yang perlu dilakukan oleh Majelis Hakim dengan dibantu oleh Panitera Pengganti baik atas inisiatif Hakim karena beranggapan perlu mendapatkan penjelasan/ keterangan yang lebih rinci atas obyek perkara maupun karena diajukan eksepsi atau atas permintaan salah satu pihak yang berperkara. Apabila dipandang perlu dan atas persetujuan para pihak yang berperkara dapat pula dilakukan pengukuran dan pembuatan gambar situasi tanah atau objek perkara yang dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Setempat.

Lebih lanjut juga diatur dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 Rumusan Kamar Agama yang menyatakan “Gugatan mengenai tanah dan atau bangunan yang belum terdaftar yang sudah menguraikan letak, ukuran dan batas-batas, akan tetapi terjadi perbedaan data objek sengketa dalam gugatan dengan hasil pemeriksaan setempat (descente), maka yang digunakan adalah data fisik hasil pemeriksaan setempat (descente)”. Karena hasil pemeriksaan setempat merupakan fakta persidangan maka hasil pemeriksaan setempat pun menjadi dasar terbangunnya keyakinan hakim atas perkara yang diperiksanya dalam mengadili suatu perkara.

Pemeriksaan Setempat Dalam Penanganan Perkara di DJKN

Penanganan perkara di Kementerian Keuangan termasuk di lingkup DJKN, secara umum berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.01/2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam aturan tersebut memang belum diatur secara khusus mengenai proses pemeriksaan setempat, apakah menjadi kewajiban untuk dilakukan atau tidak. Meskipun demikian, dalam penanganan perkara perdata dikenal salah satu asas penting yaitu asas actori incumbit probatio yang berarti barang siapa mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (vide Pasal 163 HIR). Implementasi dari asas ini dapat menjadi pertimbangan atas urgensi diajukannya pemeriksaan setempat dalam proses pembuktian.

Sebagai sebuah perbandingan, pemeriksaan setempat dalam proses penanganan perkara di lingkungan Kementerian Pertahanan diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Setempat Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara Di Lingkungan Kementrian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Pertahanan tersebut menyebutkan “Guna kepastian hukum mengenai Lokasi, Batas, Luas dan Kondisi Fisik Objek Sengketa terkait Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan di lingkungan Kemhan/TNI dalam gugatan perdata dan gugatan tata usaha negara, Kuasa Hukum dapat melaksanakan Pra-Pemeriksaan Setempat dan mengajukan permohonan Pemeriksaan Setempat kepada Pengadilan”. Dalam ketentuan tersebut juga diatur mengenai hal apa saja Kuasa Hukum di Kementerian Pertahanan dalam mengajukan atau bahkan menolak permohonan pemeriksaan setempat, termasuk hal penyiapan saksi-saksi yang dibutuhkan.

Simpulan

Secara yuridis formal, hukum acara perdata telah mengatur alat bukti yang digunakan sesuai dalam pasal 164 HIR/284 RBG. Meskipun bukan merupakan alat bukti, pemeriksaan setempat sangat penting dilakukan karena pemeriksaan setempat dapat dijadikan sebagai pendukung alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, maupun sumpah. Dalam sengketa mengenai pertanahan, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 7 Tahun 2001 meminta hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan Pemeriksaan Setempat atas objek perkara, baik atas permintaan Para Pihak atau inisiatif Hakim itu sendiri. Oleh karena hasil pemeriksaan setempat merupakan fakta yang ditemukan dalam persidangan, maka daya kekuatan pembuktiannya mengikat kepada Hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi sifat daya mengikatnya tersebut tidaklah mutlak karena Hakim bebas menentukan nilai kekuatan pembuktiannya.

Referensi

1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.01/2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Keuangan

3. Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Setempat Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara Di Lingkungan Kementrian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia

4. SEMA Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat

5. SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

6. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2017

7. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty), Yogyakarta, 2006

Penulis: Kevin Bhaskara Sibarani *) & Abdul Gofur **)

*) Pelaksana pada Subdirektorat Bantuan Hukum (Dit. Hukum & Humas)

**) Penilai Pemerintah Ahli Pertama pada KPKNL Bengkulu

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini