Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Ladang Ranjau Post Truth dalam Medsos
Mahmud Ashari
Kamis, 10 Juni 2021 pukul 16:43:23   |   22761 kali

Post Truth? Iya, post truth. Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.

Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya. Masih ingat saat pilihan presiden tahun 2019? Tidak dipungkiri bahwa event tersebut adalah salah satu contoh momen masifnya perkembangbiakan post truth di nusantara.

Terus, apa hubungannya antara post truth dengan media sosial?

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membuat informasi menjadi jauh lebih riuh dan bising. Tiap menit ada foto atau status baru yang di-update, beredar berita atau tips terbaru atau yang di-renewal, bahkan berita yang beranak pinak. Melalui media sosial yang lintas tanpa batas, video apa saja bisa "bersliweran" di akun platform kita. Satu jam akun kita sign out, sewaktu sign in langsung dipenuhi dengan video-video terbaru. Jadi, putaran informasi saat ini bergerak sangat cepat. Putaran gelombang dan ombak inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran. Seperti ucapan Joseph Goebbels, salah satu loyalis Hitler, yang manyatakan bahwa “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran”.

Fenomena post truth pada awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Namun semakin hari, post truth dipergunakan dalam segala lini isu dan agenda. Terdapat kemiripan antara post truth dengan berita hoax. Baik post truth maupun hoax, biasanya akan dibungkus dengan tajuk berita yang bombastis, abai terhadap data dan fakta, bahkan mungkin memakai data palsu yang tidak jelas kebenarannya. Belum lagi jika ada akun-akun bayaran, yang popular disebut dengan buzzer, yang memang sengaja mengangkat topik itu terus menerus (menyundul), atau berkomentar tentang berita itu yang mengakibatkan pengguna medsos menjadi bingung bahkan percaya akan “kebenaran” berita hoax tersebut.

Mungkin parahnya lagi, pengguna medsos juga ikut terpengaruh untuk tidak sekadar mempercayai berita bohong itu, namun juga dengan secara sukarela mendistribusikannya melalui akun-akun mereka. Dengan kekuatan pengguna medsos, maka tidak mustahil jika berita-berita bohong tersebut akan massif beredar di dunia maya. Di Indonesia saja, berdasarkan laporan yang dipublish oleh agensi marketing “We Are Social” dan platform manajemen media sosial “Hootsuite”, terungkap bahwa sampai dengan Januari 2021 ternyata lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah “melek” alias aktif menggunakan media sosial. Laporan bertajuk Digital 2021: The Latest Insight Into The State of Digital secara rinci menyebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk Indonesia, sebesar 61,8% nya (170 juta) telah menggunakan media sosial. Sebuah angka yang fantastis, apalagi jika disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong secara intens dan terus menerus. Kondis tersebut tidak dipugkiri akan menimbulkan kecemasan jika fenomena post truth seperti ucapan Joseph Goebbels akan menjadi kenyataan. Publik akan dipusingkan dan dibingungkan terhadap kondisi mana yang sebenar-benarnya benar dan mana yang benar-benar bohong.

Oleh karena itu, dalam event Hari Media Sosial 10 Juni 2021 ini, mari kita semakin bijak dalam bermedsos, semakin berhati-hati dan memfilter dahulu apa saja yang bersliweran di dunia maya tersebut. Selain itu, mari giatkan kembali untuk berfikir kritis dan mencari detail atas suatu berita dari berbagai sisi, karena apa yang disajikan oleh media sosial sudah saatnya kita cerna terlebih dahulu. Selalu berhati-hatilah pada ranjau-ranjau post truth. Selamat memperingati Hari Media Sosial.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Referensi:

Keyes, Ralph. 2004. The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin's Press: New York.

Tesich, S. (1992, January). A Government of Lies. The Nation. New York.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini