Kementerian Pendidikaan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia telah menetapkan lima jenis bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda menjadi warisan budaya Indonesia pada tahun 2016. Kelima bentuk karya seni tradisional Aceh tersebut adalah Tari Dampeng (Aceh Singkil), Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahid (Bireuen), Tari Bines (Gayo Lues), dan Perhiasan Pinto Aceh (Pintu Aceh). Pinto Aceh merupakan satu-satunya karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan oleh Kemendikbud yang bukan berasal dari seni tari.
Sejarah Pinto Aceh
Sejarah awal lahirnya perhiasan Pinto Aceh dimulai pada tahun 1926. Ketika itu Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja (sekarang dikenal dengan Banda Aceh) menggelar satteling (pasar malam) terbesar yang diadakan di Esplanade (sekarang dikenal dengan Lapangan Blang Padang). Di pasar malam itu Pemerintah Kolonial Belanda memberikan kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya untuk memamerkan hasil kerajinan tangan mereka. Oleh karena kemahiran dan keterampilannya dalam menempa emas, setelah gelaran pasar malam selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) dinilai pantas untuk memperoleh sertifikat dari panitia satteling.
Sebagai seorang perajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari Pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop. Para pejabat kolonial Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud. Kala itu, Utoh Mud dapat ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut sudah dibongkar sebagai perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sekarang ini.
Perhiasan motif Pinto Aceh terinspirasi dari desain sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Pinto Khop, pintu Taman Ghairah atau Bustanussalatin yang merupakan taman Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut riwayat terdahulu, pada era Kesultanan Aceh Darussalam, Pinto Khop ini merupakan pintu belakang Keraton Aceh yang khusus digunakan sebagai pintu keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandar Muda beserta dayang-dayangnya. Apabila sang permaisuri hendak mendatangi tepian Krueng Daroy untuk bermandian senantiasa lewat Pinto Khop ini. Sekarang ini sebagian kecil Taman Ghairah tersebut sudah dipugar dan dikenal dengan Taman Putroe Phang, nama permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang, Malaysia.
(Narasi/foto : fata & anton w)