Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
“Pinto Aceh”
Anton Wibisono
Kamis, 03 Desember 2020 pukul 10:07:10   |   14475 kali

Pinto Aceh atau yang juga dikenal sebagai Pinto Khop merupakan salah satu motif yang sangat terkenal di Aceh. Motif ini bahkan dapat dengan mudah ditemukan di tiap kota di Provinsi Aceh. Motif Pinto Aceh ini pada awalnya merupakan hasil karya seni dari seseorang yang bernama Mahmud Ibrahim atau lebih akrab dikenal sebagai Utoh Mud. Dia adalah seorang perajin emas yang berasal dari Blang Oi, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh.

Kementerian Pendidikaan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia telah menetapkan lima jenis bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda menjadi warisan budaya Indonesia pada tahun 2016. Kelima bentuk karya seni tradisional Aceh tersebut adalah Tari Dampeng (Aceh Singkil), Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahid (Bireuen), Tari Bines (Gayo Lues), dan Perhiasan Pinto Aceh (Pintu Aceh). Pinto Aceh merupakan satu-satunya karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan oleh Kemendikbud yang bukan berasal dari seni tari.

Sejarah Pinto Aceh

Sejarah awal lahirnya perhiasan Pinto Aceh dimulai pada tahun 1926. Ketika itu Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja (sekarang dikenal dengan Banda Aceh) menggelar satteling (pasar malam) terbesar yang diadakan di Esplanade (sekarang dikenal dengan Lapangan Blang Padang). Di pasar malam itu Pemerintah Kolonial Belanda memberikan kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya untuk memamerkan hasil kerajinan tangan mereka. Oleh karena kemahiran dan keterampilannya dalam menempa emas, setelah gelaran pasar malam selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) dinilai pantas untuk memperoleh sertifikat dari panitia satteling.

Sebagai seorang perajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari Pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop. Para pejabat kolonial Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud. Kala itu, Utoh Mud dapat ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut sudah dibongkar sebagai perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sekarang ini.

Perhiasan motif Pinto Aceh terinspirasi dari desain sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Pinto Khop, pintu Taman Ghairah atau Bustanussalatin yang merupakan taman Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut riwayat terdahulu, pada era Kesultanan Aceh Darussalam, Pinto Khop ini merupakan pintu belakang Keraton Aceh yang khusus digunakan sebagai pintu keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandar Muda beserta dayang-dayangnya. Apabila sang permaisuri hendak mendatangi tepian Krueng Daroy untuk bermandian senantiasa lewat Pinto Khop ini. Sekarang ini sebagian kecil Taman Ghairah tersebut sudah dipugar dan dikenal dengan Taman Putroe Phang, nama permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang, Malaysia.

(Narasi/foto : fata & anton w)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini