Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Kepatutan Bermedia Sosial
Justinus Benni Indrianto
Kamis, 24 September 2020 pukul 14:49:48   |   1480 kali

Konvergensi teknologi memang telah menjadikan berbagai perangkat elektronik melebur hingga hanya tinggal lentik jemari. Begitupun dengan telepon pintar serta turutan terkininya yang membawa kita pada keadaan everyone can be journalist, everybody is subyek, siapapun boleh bicara, siapapun boleh menulis tanpa harus punya legitimasi, kompetensi bahkan predikat pakar dan expert pun tidak diperlukan, dan itulah yang terjadi sekarang. Peredaran hoaks atau berita bohong di masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial dan grup percakapan, kian mengkhawatirkan. Tingginya kepemilikan telepon pintar yang tidak didukung dengan lterasi digital menyebabkan penyebaran hoaks terus meningkat.

Ijinkan saya menyampaikan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) walau agak lama tapi semoga bisa sebagai pemantik untuk meneruskan tulisan ini. Sepanjang 23 Januari hingga 21 April 2020 terdapat 568 kabar bohong terkait covid-19. Hoaks itu tersebar di berbagai platform media sosial sebanyak 1.260 kasus sebaran kabar bohong (Kompas, 22/04/2020). Apakah semua itu terjadi dengan niat bercanda, iseng atau dibuat dengan sengaja bahkan dengan maksud tertentu?, sulit untuk kita urai dan membedakanya, di samping butuh waktu untuk menelaahnya.

Dan yang paling tertuduh adalah generasi millennial. Karakter millennial adalah digital native yang cara berpikirnya strategis, inovatif, interpersonal, energik. Gerenasi inilah yang paling terhubung di media sosial, dan penghuni terbanyak di komunitas online atau kita menyebutnya Nitizen. Generasi ini pada dasarnya punya rasa dan semangat komunal yang tinggi, semangat untuk berkolaborasi, semangat untuk saling terhubung dan saling menghubungi. Sebagai penduduk dunia maya, dia juga mengklaim punya hak sipil untuk berinteraksi dengan counterpart secara social, seperti memberikan dan menerima masukan dari teman, termasuk hak memperbaiki dan memperjelas informasi yang beredar serta hak untuk mengeluarkan pendapat dan analisa.

Total pegawai Kementerian Keuangan adalah 82.220 dan hampir 66% adalah millennial (Gen Z 26%, Gen Y 40%, Gen X 29%, Baby Boomer 5%; sumber Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan). Sementara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) total Pegawai 4.093, dimana pegawai millennial- nya hampir 75 % (data terbaru yang kami sunting dari portal DJKN)


Yang ingin penulis sampaikan adalah, bahwa kita punya bonus demografi yang tidak hanya menjadi berkah, tetapi juga akan berubah menjadi masalah kalau iteratif literasi yang masif mengenai kepatutan bermedia sosial tidak segera dilakukan. Harapannya agar kita sebagai komunitas DJKN menjadi konsumen informasi yang lebih bijak dalam realitas yang semakin artifisial dan berbayar seperti sekarang ini, sehingga millennial DJKN dalam menyampaikan atau mem-posting, meng-upload dan mengomentari sebuah berita lebih proper dan bisa dipertanggungjawabkan secara institusi sekaligus publik.

Mengkapitalisasi Diri

Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.01/2018 Tentang Kode etik dan Kode Perilaku Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan, pada pasal 7 huruf f telah mengatur penggunaan media sosial secara bijak, bahkan panduan aktivitas dan penggunaan media sosial bagi pegawai Kemenkeu sudah diatur dalam Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 16 tahun 2018. Namun kebanyakan dari kita masih gagal memahami bahwa berbagai platform media sosial yang ada, apakah hal itu sebagai ruang publik ataukah sebagai ruang privat, apakah ini media personal, antar kelompok atau sekaligus komunikasi publik, yang terjadi adalah bercampur aduk.

Apalagi libido bicara, menanggapi, dan membagi unggahan posting ke yang lain saat kita bermedia sosial sulit terkontrol. Hal ini bisa dipahami bahwa mengapa banyak penelitian menunjukkan bahwa konsepsi media sosial saat ini, dapat menyebabkan kecanduan, depresi, keraguan diri dan ketidakbahagiaan. Ini bisa dijelaskan bahwa saat seseorang mendapatkan respon, tanggapan atau sekedar like dari orang lain dari status yang dibagi, hal ini memicu pelepasan dopamine dan pelepasan endorphin positif pada otak orang tersebut. Jadi, pada saat anda mengunggah posting, dan anda mendapatkan like maka anda akan excited dan apabila anda tidak mendapatkan like yang anda impikan maka anda akan merasa kehilangan sebuah ketidakmampuan dan merasa kecil. Makanya kita sulit mengkontrol dan latah memvalidasi posting- an orang lain serta mendambakan validasi positif mereka dari apa yang kita unggah. Coba dicermati unggahan posting-an dari pimpinan kita atau orang yang punya nilai tambah atas eksistensi kita langsung direspon walau hanya sekedar like tanpa memvalidasi isi dan maknanya, atau sebaliknya unggahan posting-an kita yang direspon, betapa excited nya kita.

Dan pada akhirnya, intensitas seseorang dalam memberi komentar dan mengunggah postingan, sepadan dengan nilai tukar seseorang di dunia media sosial, lalu yang terjadi adalah mengkapitalisasi diri, membangun citra diri lewat narasi dan ini bisa dimengerti karena di media sosial kita adalah produk, dan kita menentukan nilai kita berdasarkan pikiran orang lain. Jika saya tidak punya brand media sosial yang saya kelola, orang tidak akan tahu siapa saya, orang tidak akan menemukan saya, peluang tidak menghampiri saya dan dengan sendirinya saya tidak bernilai ekonomi dan daya jual di mata orang lain. Dan perasaan takut tertinggal “nggak update”, seperti takut kehilangan koneksi, kejadian atau kesempatan bagus menghinggapi diri.

Sementara dari sisi lain, bisa kita cermati bahwa orang-orang mengunggah dan membagikan posting-an hanya agar apa yang mereka percayai sampai kepada anda. Sementara banyak oknum yang membuat begitu banyak informasi yang membingungkan dan bercampur aduk dan membingingkai kebenaran yang tidak bisa dikenali sehingga anda tidak punya kesempatan untuk mengelak bahkan sekedar tidak setuju saja. Seperti sudah penulis sampaikan diatas bahwa everyone can be journalist, everybody is subyek, siapapun boleh ngomong, siapapun boleh menulis tanpa harus punya legitimasi, kompetensi bahkan predikat pakar dan expert pun tidak diperlukan.

Mendistraksi

Sebagai pimpinan, sebagai staf dan sebagai apapun kita perlu memperhatikan bias dan sisi gelapnya penggunan media sosial ini. Karena, apapun yang kita sampaikan, apapun yang kita posting di media sosial, itu merepresentasikan diri kita. Alih-alih bermedia sosial dimanfaatkan untuk mengamplifikasi atau mempromosikan visi dan progress organisasi, malah energi bermedianya hanya untuk melampiaskan emosi, menyebar narasi hate speech dan SARA, serta tanpa menjaga tata krama kesopanan dan kesusilaan serta menjaga netralitas.

Kita perlu strategi untuk mencegah dan mengatasi hal ini. Karena jika kita gagal membekali DJKN muda dengan berbagai keunggulan fundamental, seperti bijak dalam bermedia sosial dan friendly dengan teknologi informasi, harapan kita untuk memiliki para generasi emas bisa berbalik menjadi generasi cemas, bahkan bonus demografi tidak menjadi berkah, tetapi akan berubah menjadi masalah. Strategi dan cara yang penulis tawarkan adalah; Pertama, Usahakan teks jangan terlepas dari konteks. Konteks adalah cara anda menyampaikan pesan, teks atau isinya mungkin benar tapi kalau cara anda salah dalam menyampaikan hasilnya akan banyak negatifnya. Sebaliknya kalau caranya benar atau konteksnya benar, walau terkadang isi tidak pas benarnya, banyak orang lain yang bisa terima, maka diperlukan etika kepatutan, yaitu cara atau kunci sebuah keberhasilan dalam hubungan bermedia sosial dengan sesama teman atau hubungan bermedia sosial dalam dunia kerja. Pekerjaan kita memang mewajibkan kita untuk selalu terhubung, namun seringkali WhatsApp Group atau grup percakapan kerja dipakai oleh anggotanya sebagai media kelompok-kelompok terkecilnya atau untuk men-sounding isu-isu pribadi seseorang di luar dari tujuan semula grup percakapan itu dibentuk. Dari sinilah kita dituntut untuk punya kemampuan untuk melihat konteks dan membungkus konten sebagai realitas yang seharusnya kita inginkan bersama.

Kita juga perlu berbenah diri, tak perlulah memproduksi narasi multitafsir agar kita tidak salah mikir, bekali diri dan pemahaman bahwa yang mengikat itu semangat maknanya bukan redaksinya, sebab kalau kita menuruti tekstualnya bisa penuh bias dan sangat merepotkan, jadi harus tahu kaidah dan kepatutan supaya tidak terikat pada redaksi. Maka, setiap konten yang diunggah hendaknya berdasarkan data ter-validasi dan sudah dicerna secara detail cara menyampaikannya di platform medsos yang juga sudah dipikir untuk dipilih.

Kedua, berdietlah dalam bermedia sosial, jangan latah, tabayun, awasi dan fahami apa yang masuk dalam otak dan pikiran kita sebelum memposting sesuatu, kurangi berapa kali saya mengecek jumlah yang suka (like), mengapa saya harus meng-like postingan itu, atau bikin komen atas gambar tersebut. Tanyakan pada diri anda yang dalam apakah anda memang benar suka akan gambar tersebut atau hanya ingin disebut teman baik. Kalau memang bagus sih, ok tidak ada masalah, tapi kalau tidak suka dan anda terus nge-like, itulah bohongnya diri anda. Maka, ketika dihadapkan dalam suatu keadaan yang membuat anda ingin merespon negatif terhadap suatu hal di media sosial, anjuran bijak adalah menahan diri sejenak dan mendistraksinya dengan melakukan hal lain. Cara ini dapat mengubah respon negatif yang ingin kita sampaikan sebelumnya.

Kebebasan adalah hak, namun kita sebagai bagian dari institusi harus tetap menjaga nilai-nilai yang ada, sadari masalah yang akan timbul. Jadi, uraian di atas adalah salah satu upaya untuk menyadari masalah-masalah itu. Dengan begitu anda akan menyadari efek-efek yang mengikutinya. Dalam dunia nyata, kita diwajibkan untuk menghomati dan memperlakukan dengan baik orang lain, tidak mengejek saat dia sedih atau senang saat mereka terjatuh, begitupun di dalam bermedia sosial, anda punya hak sekaligus kewajiban yang harus di kedepankan. Jadi pikirkanlah sekali lagi saat anda merespon unggahan teman dengan gambar-gambar dan emoticon yang masih bias makna dan pesan yang tersirat.

Menyeka Kacamata

Terhubung dengan dunia luar adalah hal luar biasa dan sebuah keharusan. Banyak data yang bisa kita akses, bahkan orang-orang menghabiskan hampir 100 hari dalam setahun untuk online. Itu setara dengan sekitar 48 jam seminggu di waktu sadar kita. Dan, dari semua itu, dua jam per harinya dihabiskan untuk membuka media sosial. Hampir 90% orang umur 18-29 menggunakan media sosial, dengan rata-rata 2 jam sehari sibuk dengan sosial media. Media sosial adalah tool yang dapat digunakan untuk kebaikan, membuat group selalu positif dan berdaya, bikin bahagia orang serta tanpa melecehkan orang. Media sosial pun dapat menghancurkan anda, sekaligus dapat menyenangkan buat anda, membuat anda lebih baik dan berdaya. Apapun yang kita sampaikan, apapun yang kita posting di media sosial, itu merepresentasikan diri kita. Makanya, kalau kita sudah menghabiskan 2 jam sehari di media sosial, kita harus punya komitmen, bahwa saya akan isi dengan motivasi, inspirasi sekaligus tawa, menggunakkan sosial media agar saya terinspirasi dan terhubung dengan yang lain dan menjauh dari paparan ide-ide buruk atau destruktif, daripada hanya untuk memvalidasi diri.

Luangkan sesaat untuk melepas kacamata, menyekanya, dan memasangnya kembali, lalu menyadari betapa berkabutnya informasi yang selama ini ada, ariflah dan menjadilah pengguna dan konsumen informasi yang lebih bijak. Tidak fair kalau mempersoalkan sisi gelapnya sosial media saja karena masalahnya juga ada di kita sebagai pengguna yang menggunakanya sebagai hal yang tidak patut, tidak netral, bernarasi hate speech dan berbau SARA. Makanya, kita perlu belajar mengendalikan sosial media sekaligus mengendalikan diri kita, agar kita dapat menciptakan dunia baru dalam bermedia sosial.

Menjadi baik itu mudah, dengan hanya diam maka yang akan nampak adalah kebaikan, yang sulit adalah menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan. Untuk itu, mari kita bangun muscle knowledge lain dalam ber-media sosial. Caranya, bagaimana kita membuat koneksi dan keterhubungan kita dengan yang lain lebih bermanfaat, sehingga pekerjaan sebagai kewajiban kita dan hidup yang kita jalani lebih baik. Dan, kita saling menjaga satu dengan yang lain serta kita pun dihimbau untuk melaporkannya kepada Unit Kepatuhan Internal masing-masing Eselon I atau melalui aplikasi Whistleblowing System yang dikelola oleh Itjen untuk segera ditindaklanjuti, jika kita sebagai pegawai menemukan adanya pelanggaran pada media sosial ASN di lingkungan Kemenkeu.

(Penulis : Mohammad Chifni, KPKNL Pangkalan Bun)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini