Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Mengukur Efisiensi Pengelolaan BMN di Level KPKNL (Berdasarkan Teknik Sampling pada 10 KPKNL)
Ali Ridho
Kamis, 20 Juni 2019 pukul 14:47:51   |   2405 kali

Penulis Rustanto

Kepala Bagian Kepegawaian Sekretariat Jenderal DJKN


Latar Belakang

Kegiatan Pengelolaan BMN sesuai dengan Pasal 3 ayat (2), Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2014 meliputi antara lain perencanaan dan pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan and pemusnahan. Hal ini senada bagaimana rencana dan proses mengelola asset disesuaikan dengan siklus dari aset itu sendiri PAS-55-1: 2008 tentang spesifikasi untuk pengelolaan manajemen aset fisik yang optimal (specification for the optimised asset management of physical asset)(BSi, 2008; Hastings, 2010). Dalam pengelolaan BMN terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan agar pengelolaan BMN tersebut dapat mendukung pencapaian visi dan misi DJKN. Asas-asas tersebut sebagaimana telah diatur dalam ayat (1) pasal yang sama yakni asas fungsional, efisiensi kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Semua asas tersebut penting untuk dapat dipedomani guna menjamin terlaksananya pengelolaan secara baik. Sebagai oranisasi yang betugas untuk memberikan pelayanan kepada stakeholder, DJKN sangat memperhatikan aspe-aspek tersebut, termasuk aspek efisiensi. Hal yang sama telah dikemukakan oleh Andrews (2014) yang menyatakan bahwa organisasi publik (pemerintah) harus memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efisien dan efektif. Monoarfa (2012). juga menyatakan bahwa efisiensi menjadi hal yang penting karena ketika berbicara mengenai efisiensi maka hal ini tidak saja tentang memaksimalkan kuantitas atas out dengan input atau biaya yang minimum, akan tetapi efisiensi juga berkaitan dengan kualitas yang seharusnya diterima oleh masyarakat atau stakeholder, atau pelayanan yang lebih baik berdasarkan kebutuhan mereka atau kesesuaian antara kualitas layanan dengan keinginan masyarakat atas layanan tersebut. Sehingga mengetahui tingkat efisiensi suatu layanan dalam hal ini menjadi hal yang sangat diperlukan.

Alat Analisis Efisiensi

Pengukuran tingkat efisiensi akan dapat membantu pembuat keputusan (decision maker) untuk dijadikan alat analisis dan pengambilan kebijakan yang tepat untuk memperbaiki aspek yang membuat efisiensi turun dan pada gilirannya dapat membantu untuk memperbaiki kualitas layanan yang diberikan (Andrews, 2014). Ada beberapa tehnik yang sering digunakan untuk menganalisis tingkat efisiensi, diantaranya adalah dengan tehnik bopo yaitu dengan membandingkan antara beban operasional dengan pendapatan operasional (BOPO) (Nana, Tenny, & Aditia, 2016; Prasanjaya & Ramantha, 2013; Sudiyatno & Suroso, 2010). Analisis dengan menggunakan BOPO akan dapat memberikan dampak yang signifikan baik dalam jangka panjang maupun pendek untuk mengukur efisiensi dalam dunia perbankan atau perusahaan sejenisnya. Dimana variabel input maupun output didasarkan pada jumlah nominal tertentu baik biaya operasional maupun pendapatan operasionalnya. Untuk organisasi pemerintah dimana input maupun output yang tidak semuanya dapat diukur dengan nominal tertentu, maka dapat menggunakan alat analisis lain misalnya Data envelopment analyisis (DEA). Menurut Charles and Mukesh (2012), DEA adalah sebuah teknik non parametrik untuk mengevaluasi efisiensi dari suatu unit pengambilan keputusan (unit kerja)., juga menyatakan bahwa ada beberapa keunggulan DEA diantaranya adalah

  1. Pertama sebagai tolak ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang sama.

  2. Kedua, mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya.

  3. Ketiga, menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya.

Mengingat keunggulan tersebut, maka apabila pengukuran efisiensi pengelolaan BMN dapat dilakukan dalam lingkup KPKNL sebagai sebuah unit pengambil kebijakan – decision making unit (DMU), diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengambil kebijakan untuk memperbaiki efisiensi pengelolaan BMN. Sehingga apabila alat analisi efisiensi ini diterapkan maka, ada beberapa hal yang dipertimbangkan yaitu sebagai berikut:

  • Membandingkan antara input dan output untuk menghasilkan tingkat efisiensi per KPKNL terutama yang berkaitan dengan pengelolaan BMN baik input maupun outputnya

  • Membandingkan antara KPKNL (sebagai Business untuk menentukan level efisiensinya, sehingga dalam hal ini tiap KPKNL dianggap sebagai Decision making Unit (DMU)



Efisiensi dibanding efektifitas Pengelolaan BMN

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa efisien berarti melakukan sesuatu dengan menghemat penggunaan waktu, tenaga dan biaya atau berdaya guna dan sangkil, sedangkan efektif berarti berhasil guna atau ada dapat membawa hasil, manjur atau mujarab (Poerwadarminta, 2006). Efisien berkaitan dengan proses sedangkan efektif erat kaitannya dengan hasil. Sehingga apabila berbicara mengenai proses pengelolaan BMN, maka pengukuran proses tersebut lebih pada seberapa efisien pengelolaan BMN tersebut dilakukan. Adapun mengenai hasil dari pengelolaan BMN maka hal itu berkaitan dengan efektifitas. Pada tulisan ini penulis fokus untuk membahas efisiensi atau proses pengelolaan BMN.

Fokus pada pengukuran efieiensi memiliki beberapa alasan diantaranya adalah sebagai langkah awal untuk mencapai akuntabilitas terhadap publik dan sebagai perwujudan good governance, untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan terkait adanya inefisiensi pada variebel-variabel yang diukur dalam efisiensi diantaranya adalah biaya-biaya (costs) yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang diinginkan. Apakah memungkinkan adanya pengurangan input sebagai salah satu bentuk good governance untuk mewujudkan adanya akuntabilitas kepada masyarakat (Khalid, Alam, & Said, 2016; Mohamed Omar & Bakri, 2019; Ojok & Basheka, 2016; Sadjiarto, 2004). Atau sebaliknya dengan meningkatkan output yang ada. Hal ini dapat membantu pengambil kebijakan untuk memperbaiki kualitas kebijakan baik pada input maupun outpunya (Abubakar, Saidin, & Ahmi, 2016).

Pengukuran efisiensi diharapkan dapat membantu pengambil kebijakan dalam mencapai tingkat efisien yang ideal, terutama apabila pengukuran dilakukan dengan membandingkan unit organisasi atau organisasi lain yang bergerak dalam industri yang sama. Sebab boleh jadi suatu usaha dikatakan sudah cukup efisien, akan tetapi apabila dibandingkan dengan organisasi lain ternyata tingkat efisiensinya masih bisa ditambah.Hal ini diperlukan mengingat pemerintah sebagai organisasi juga mengetahui tingkat produktivitasnya apabila hal yang sama dilaksanakan oleh suasta, dan juga untuk menjamin kepuasan konsumennya sekaligus sebagai pembayar pajak -tax payer (Linna, Pekkola, Ukko, & Melkas, 2010). Sehingga usaha untuk menjamin kualitas layanan pemerintah harus terus menerus dilakukan.

Pengukuran efisiensi pada saat yang sama dapat menjamin tercapainya transparansi di sektor publik (Greiling, 2006). Hal ini disebabkan ketika mengukur efisiensi antara input dan output akan dapat menggambarkan kejelasan hubungannya. Penggambaran input baik secara financial maupun non financial dikaitkan dengan hasil yang direncakanan akan memberikan alur yang jelas dan pertanggungjawaban atas setiap rupiah yang dikeluarkan dengan aktivitas pelayanan yang ada. Terlebih apabila variabel-variabel yang digunakan untuk mencakup variabel yang dapat dibaca secara jelas dan meliputi aspek yang luas, tidak hanya nominal rupiah akan tetapi bisa berupa kegiatan rapat, produk persuratan yang terkait, perjalanan dinas terkait dan lain sebagainya. Sehingga hampir sebagian besar item dalam aktifitas suatu organisasi pemerintah dapat dilacak muara akhirnya, yaitu output yang telah dihasilkan.

Dalam skala yang lebih luas, pencapaian efisiensi dapat berkontribusi untuk meningkatkan peran organisasi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa kepada masyarakat secara efisien termasuk dalam penggunaan anggaran, yang hal ini menjadi kontributor untuk mewujudkan keuangan pemerintah yang sehat dan produktif bahkan secara tidak langsung kualitas layanan tersebut dapat menjadi kontributor untuk adanya penerimaan pemerintah non pajak. Dalam lingkup BMN hal ini jelas akan dapat memberikan kontribusi untuk perwujudan anggaran belanja di sektor barang dan APBN yang lebih sehat. Dari sektor persaingan usaha pun organisasi pemerintah yang efisien akan menjadikan pemerintah memiliki daya saing yang lebih kuat -competitiveness (Van de Walle, 2008)).

Efisiensi Statis dan Dinamis

Dalam mengukur efisiensi, mengadopsi pendekatan yang dilakukan atas laporan keuangan, terdapat dua pendakatan yaitu statis dan dinamis (Munawir, 2007). Dalam penjelasannya Esthirahayu (2014), juga mendukung pendekatan ini bahwa pendekatan statis atau sering disebut analisis vertikal adalah dengan pemperbandingkan item item dalam satu periode, sehingga dapat diketahui tingkat kinerja dalam satu periode saja. Sedangkan analisis dinamis (analisis horisontal) dengan membandingkan satu laporan pada periode tertentu dengan periode lainnya sehingga diketahui perkembangannya.

Untuk pendekatan pengukuran yang dilaksanakan dalam efisiensi pengelolaan BMN ini menggunakan kedua pendekatan tersebut dengan beberapa modifikasi terutama untuk pendekatan yang dinamis, yaitu berupa perbandingan beberapa unit kerja setara (dalam hal ini) KPKNL sebagai organisasi yang bergerak dalam industri yang sama. Analisis efisiensi statis terdiri dari

  1. Kinerja Pengelolaan BMN rata-rata, yang bertujuan untuk mengukur capaian kinerja KPKNL dalam mengelola BMN. Kinerja pengelolaan BMN disini memilki satuan prosentase, semakin tinggi prosentase yang dihasilkan maka semakin bagus kinerjanya. Ini menjadi penting bagi pengambil keputusan untuk mengetahui secara sekilas tingkat keaktivan KPKNL dalam melakukan pengelolaan BMN baik berupa penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan.

Adapun rumusnya adalah:


Rasio pengelolaan BMN = Nilai Pengelolaan BMN/Nilai rata-rata total BMN


Nilai pengelolaan BMN : jumlah nilai BMN yang dipindahtangankan, dimanfaatan, digunakan atau dihapuskan dalam satu periode tertentu

Nilai rata-rata total BMN: (Total BMN awal periode + Total BMN akhir periode) : 2

Hasil dari rasio ini dalam pengelolaan BMN rata-rata dalam satu tahun juga menjadi bahan evaluasi untuk mengukur tingkat keseringan BMN untuk dapat yang dikelola dalam satu tahun, atau dengan kata lain seberapa besar BMN yang memiliki nilai tambah bagi pengelola maupun bagi pengguna. Apabila rasio ini rendah menandakan bahwa kegiatan pengelolaan BMN belum maksimal sehingga perlu untuk ditingkatkan lagi dibandingkan dengan nilai BMN itu sendiri.



  1. Tingkat pengembalian atas aset (return on Assets- RoA): merupakan pengukuran atas tingkat produktivitas aset yang dikelola. Tingkat produktifitas ini diukur dengan membandingkan nilai pemasukan kepada negara (PNBP) yang diterima dari aset dengan nilai aset yang dikelola. Semakin tinggi prosentase pengembaliannya maka dianggap semakin produktif.

Rumusnya adalah:


Return on Asset (%) = Nilai PNBP/Nilai BMN yang dikelola


Keterkaitan DEA dan Analisis ratio

Antara DEA dan analisis keuangan terdapat korelasi yang dimana terutama dalam mengukur return on assets dan total nilai pengelolaan terhadap total assets hal ini memberikan mendukung kesimpulan atas tingkat efisiensi yang diukur menggunakan DEA terutama dalam rangka memprediksi dengan menggunakan nilai-nilai yang akan datang (future value). Disamping itu penggunaan DEA sangat dianjurkan untuk memudahkan banchmarking efisiensi dalam sebuah grup atau DMU yang telah ditentukan (Avkiran, 2011).


Teknik mengukur efisiensi (Dinamis) dengan DEA

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Data envelopment analysis (DEA) merupakan tehnik non parametrik untuk mengukur tingkat efisiensi suatu unit usaha (decision making unit-DMU) dalam hal ini adalah KPKNL. Tehnik dalam menghitung menggunakan DEA adalah dengan membandingkan antara input dan output. Input dalam hal ini adalah sejumlah sumber daya (resources) yang dikerahkan untuk menghasilkan output. Output adalah hasil dari proses kerja baik berupa produk, jasa atau pelayanan yang financial maupun non financial. Proses penghitungan DEA dalam mengukur efisiensi KPKNL dalam mengelola BMN adalah sebagai berikut:

  1. Menentukan DMU yaitu 10 KPKNL

  2. Menentukan variable inpun dan output

  3. Analisis Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS) Super Efficiency

Input dalam DEA terdiri dari : * sesuai daftar excel

  • Perjadin dan ATK

  • gaji dan tunjangan

  • Total BMN yang dikelola

  • Jumlah Satker

Output DEA terdiri dari :

  • Frekuensi Pengelolaan BMN

  • Nilai Pengelolaan BMN

  • ABK (form A) yaitu produk dan surat yang dihasilkan

  • PNBP

Perhitungan DEA dengan menggunakan data envelopment analysis program (DEAP) Ver 2.1 dihasilkan




Untuk Tahun 2017, berdasarkan kesimpulan umum dengan menggunakan asumsi VRS (variable return to scale) apabila didasarkan pada kondisi teknis suatu DMU adalah efisien. Asumsi suatu DMU akan mencapai titik efisien CRS (constant return to scale) maka dapat dilakukan:

  • Meminimukan input dan menjaga output tetap;

  • Memaksimalkan output dan menjaga input tetap.

Penambahan input maupu output untuk mencapai titik efisien adalah dengan memperhatikan angka slack. Input slack adalah angka yang harus dikurangi untuk mencapai titik efisien, sedangkan output slack adalah besarnya angka yang harus ditambahkan pada output agar berada pada titik efisien. Peran DEA bagi pembuat kebijakan diantaranya adalah dengan informasi slack yang harus dipenuhi tersebut.

Efisien juga dapat dihitung berdasarkan efisiensi skala (scale) dengan membandingkan efisiensi tehnik berdasarkan asumsi CRS (cste) dengan efisiensi berdasarkan VRS (crste):



Efisiensi Skala = crste/vrste



Adapun efisiensi skala (scale) dihitung dengan membandingkan antara efisiensi rata-rata (crste) dengan efisiensi teknis (vrste). Suatu DMU bisa dikatakan efisien versi CRS (constant return to scale) maka semua KPKNL (firm 1 s.d. 10) adalah efisien baik secara teknis dan rata-rata (crste, vrste) maupun secara skala (scale).

Dalam mengukur efisiensi berdasarkan DEA ini juga diketahui tingkat slack yang harus dipenuhi agar suatu DMU menjadi efisien. Untuk lebih detail bisa dilihat dalam skala efisiensi yang dihasilkan pada tahun 2018 sebagai berikut:



Atas kondisi tersebut sesuai dengan tabel efisiensi tahun 2018 diketahui bahwa rata-rata efisiensi nya untuk semua DMU (crste) adalah 0.976 dengan efsisiensi skala sebesar 0.993 yang berarti bahwa apabila efisiensi skala tidak dapat dicapai maka berarti tidak semua unit dapat mencapai titik efisiensi. Efisiensi teknis rata-rata (vrste) adalah 0.983 hal ini menunjukan tingkat efisiensi suatu DMU dimana DMU tersebut memerlukan perhatian dalam input. Berdasarkan data tersebut ada 2 DMU yaitu DMU4 dan DMU 9 yang tidak efisien baik secara skala maupun teknis.

Jumlah slack yang harus diperhitungkan dalam mencapai efisiensi DMU4 dan DMU9 adalah sesuai dengan tabel berikut:



Untuk DMU 4, diperlukan pengurangan input 4 sebesar 71.178 hal ini didadasarkan pada DMU peer 7, 10 maupun 5, dimana untuk dengan input dan output yang dimiliki mampu mencapai efisien dengan bobot pengaruh atas crst sebesar 0,232 untuk peer(DMU) 7, sebesar 0,217 untuk peer (DMU) ke 10, dan seterusnya.

Sedangkan untuk DMU 9 sebetulnya berdasarkan efisiensi teknis (vrste) sudah mencapai titik efsien. Menjadi tidak efisien karena rata rata DMU sudah mendekati efisien dengan slack sebesar 0.012. (sangat kecil sehingga dapat diabaikan).

Kesimpulan dan diskusi

Untuk analisis DEA diketahui bahwa secara umum tahun 2017 KPKNL sebagai DMU sudah efisien, akan tetapi karena ada penurunan output pada tahun 2018


Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa DMU 4, pada tahun 2017 mencapai titik efisien, akan tetapi pada tahun 2018 dengan peningkatan input I1, I3 dan I4, ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan outputnya, bahkan untuk pengelolaan BMN (O1) mengalami penurunan sebesar 63, nilai pengelolaan BMN pun juga menurun sekitar 50 M, meskipun ABK ada peningkatan 100%. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi pada input masih harus diperhatikan secara seksama.

Analysis statis:

Rasio Pengelolaan BMN = Nilai Pengelolaan BMN/Nilai Rata-rata total BMN




Tahun 2017 dan 2018 diketahui untuk rasio pengelolaan BMN tertinggi berada di KPKNL 02 meskipun hakekatnya adalah penurunan, dalam dua tahun juga terjadi penurunan pada 9 KPKNL, hanya satu KPKNL yang naik tipis yaitu pada KPKNL 8.

Sayangnya belum ada standar ideal untuk rasio pengelolaan BMN yang berlaku. Akan tetapi dari rasio nilai pengelolaan dibanding dengan rata-rata nilai BMN yang sangat rendah dan cenderung oleh karena itu ada bebera benang merah yang bisa diambil yaitu bahwa:

  • Tingkat pengelolaan BMN (pemindahtanganan, pemanfaatan dll) sangat rendah, atau dengan kata lain kegiatan dalam pengelolaan BMN sangat rendah. Meskipun hal ini masih perlu diklarifikasi dengan frekuensi pengelolaan pada masing masing KPKNL:





Terjadi kenaikan rasio pada 5 KPKNL, dan penurunan pada 5 KPKNL, positifnya adalah bahwa total kenaikan yaitu sebesar 314 masih lebih tinggi dibandingkan dengan total penurunannya yaitu 156. Artinya adalah bahwa secara umum terjadi peningkatan kinerja dalam pengelolaan BMN dari aspek frekuensinya,

Untuk dapat menyimpulkan kinerja pengelolaan maka dapat tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada nilai pengelolaannya akan tetapi harus mempertimbangkan frekuensi pengelolaannya.


Return on Asset


Implementasi rumus: Return on Asset (%) = Nilai PNBP/Nilai BMN Yang Dikelola


Adalah sebagai berikut:




Dari pencapaian yang ada diketahui bahwa nilai pencapaian atas RoA tidak signifikan dan hanya 3 KPKNL di tahun 2017 dan 4 ditahun 2018 yang mampu menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu KPKNL 2,6,8 dan 9. Atau bisa dikatakan bahwa atas 10 KPKNL potensi PNBP dari pengelolaan BMN masih sangat rendah.

Terkait dengan pencapaian tingkat efisiensi dengan membandingkan input dan output maka beberapa bagi pengambil kebijakan dapat melakukan kontrol sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Terhadap input variabel berupa gaji dan tunjangan, total BMN dan Jumlah satker adalah sesuatu yang sulit untuk dikontrol (uncontrollable) di level KPKNL, akan tetapi variabel berupa perjalanan dinas dan belanja bahan (ATK) adalah termasuk variabel yang secara potensial dapat dikelola dan dikontrol oleh level pimpinan di KPKNL, hal yang dapat dilakukan atas variable yang masih dalam rentang kendali tersebut adalah dengan meminimalkan (cost saving) agar berada dalam level yang optimal.

Adapun variabel output, semuanya adalah dalam rentang kontrol KPKNL yaitu berupa frekuensi pengelolaan BMN, nilai pengelolaan BMN, jumlah Analisis Beban Kerja (ABK) dan PNBP. Kebijakan atas variabel output tersebut adalah maximum (memaksimalkan) jumlah yang dapat dicapai. Sehingga tingkat efisiensi dapat ditingkatkan. Peningkatan output tersebut pada saat yang sama akan dapat meningkatkan rasio yang positif atas rasio pengelolaan BMN maupun RoAnya.





Daftar Referensi

Abubakar, A., Saidin, S. Z., & Ahmi, A. (2016). ADOPTION OF THE PERFORMANCE MEASUREMENT SYSTEM IN THE NIGERIAN PUBLIC SECTOR: CHALLENGES AND PROSPECTS. International Journal of Management Research and Reviews, 6(10), 1424-1436.

Andrews, R. (2014). Public service efficiency : reframing the debate. New York: Routledge.

Avkiran, N. K. (2011). Association of DEA super-efficiency estimates with financial ratios: Investigating the case for Chinese banks. Omega, 39(3), 323-334. doi:10.1016/j.omega.2010.08.001

BSi, P. (2008). 55-2: Asset Management. Part 2: Guidelines for the application of PAS 55-1. British Standards Institution.

Charles, V., & Mukesh, K. (2012). Data envelopment analysis and its applications to management. Newcastle: Cambridge Scholars.

Esthirahayu, D. P. J. J. A. B. (2014). Pengaruh Rasio Likuiditas, Rasio Leverage Dan Rasio Aktivitas Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Food and Beverage yang Listing di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012). 8(1).

Greiling, D. (2006). Performance measurement: a remedy for increasing the efficiency of public services? International Journal of Productivity and Performance Management, 55(6), 448-465. doi:http://dx.doi.org/10.1108/17410400610682488

Hastings, N. A. J. (2010). Physical asset management. London ;: Springer.

Khalid, M. A., Alam, M. M., & Said, J. (2016). EMPIRICAL ASSESSMENT OF GOOD GOVERNANCE IN THE PUBLIC SECTOR OF MALAYSIA. Economics & Sociology, 9(4), 289-304. doi:http://dx.doi.org/10.14254/2071-789X.2016/9-4/18

Linna, P., Pekkola, S., Ukko, J., & Melkas, H. (2010). Defining and measuring productivity in the public sector: managerial perceptions. The International Journal of Public Sector Management, 23(3), 300-320. doi:http://dx.doi.org/10.1108/09513551011032491

Mohamed Omar, E., & Bakri, N. (2019). Behaviors of Transformational Leadership in Promoting Good Governance at the Palestinian Public Sector. International Journal of Organizational Leadership, 8(1), 1.

Monoarfa, H. J. J. P. I. (2012). Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik: Suatu tinjauan kinerja lembaga pemerintahan. 5(01).

Munawir, S. (2007). Akuntansi Laporan Keuangan. In: Liberty. Yogyakarta.

Nana, N., Tenny, B., & Aditia, E. (2016). Analisis Pengaruh Return on Asset (ROA), Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Suku Bunga, Financing to Deposits Ratio (FDR) dan Non Performing Financing (NPF) Terhadap Tingkat Bagi Hasil Deposito Mudharabah (Studi Empiris pada Bank Um. Esensi: Jurnal Bisnis dan Manajemen, 5(1). doi:10.15408/ess.v5i1.2333

Ojok, J., & Basheka, B. C. (2016). Measuring the Effective Role of Public Sector Monitoring and Evaluation in Promoting Good Governance in Uganda: Implications from the Ministry of Local Government. Africa's Public Service Delivery and Performance Review, 4(3). doi:http://dx.doi.org/10.4102/apsdpr.v4i3.122

Poerwadarminta, W. J. J. B. P. (2006). Kamus umum bahasa indonesia edisi ketiga.

Prasanjaya, A. Y., & Ramantha, I. W. J. E.-J. A. (2013). Analisis pengaruh rasio CAR, BOPO, LDR dan ukuran perusahaan terhadap profitabilitas bank yang terdaftar di BEI. 230-245.

Sadjiarto, A. J. J. A. d. K. (2004). Akuntabilitas dan pengukuran kinerja pemerintahan. 2(2), 138-150.

Sudiyatno, B., & Suroso, J. J. D. K. d. P. (2010). Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, BOPO, CAR dan LDR terhadap Kinerja Keuangan pada Sektor Perbankan yang Go Public di Bursa Efek Indonesia (BEI)(Periode 2005-2008). 2(2).

Van de Walle, S. (2008). Comparing the performance of national public sectors: conceptual problems. International Journal of Productivity and Performance Management, 57(4), 329-338. doi:http://dx.doi.org/10.1108/17410400810867535

@page { size: 8.27in 11.69in; margin: 0.79in } p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; line-height: 115%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; background: transparent } p.cjk { so-language: zh-TW } a:link { color: #0563c1; text-decoration: underline }



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini