Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Kewenangan BPSK Memeriksa Keberatan Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
Ali Ridho
Senin, 22 Januari 2018 pukul 10:53:59   |   24989 kali
  1. Ditulis oleh:

    Dwi Nugrohandhini

    Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung

    A. Pendahuluan

    Penyelesaian sengketa melalui BPSK merupakan salah satu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian

    sengketanya. Hukum acara yang berlaku baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini ke dalam peradilan. Oleh karena itu, posisi mediasi sebagai bagian dari Hukum Acara Perdata sejatinya dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa.

    Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) didirikan sebagai jalan keluar untuk menghindari penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum. Beracara di Peradilan umum memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam penyelesaian sengketa konsumen dibutuhkan hukum acara yang cepat dan murah.

    Dalam praktik lelang esksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, sering sekali debitur ataupun pihak ketiga mengajukan keberatan lelang ke BPSK dan dikabulkan di BPSK. Akan tetapi kemudian Putusan BPSK ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sebagian pertimbangan putusan tersebut sdslsh nasabah debitor bukanlah konsumen dan pelaksanaan lelang Pasal 6 Undang-undang Hak tanggungan bukan sengketa konsumen.

    Hubungan hukum konsumen adalah perikatan yang bersifat quai Kontraktual, yaitu penundukan diri, seperti berbelanja disebuah toko, jika tidak sesuai dengan harga yang ada, maka pembeli dapat pergi. Sedangkan perjanjian kredit perbankan didasarkan pada hubungan kontraktual, adanya kondisi saling sepakat eterhadap syarat-syarat yang telah diperjanjikan bersama. Pelaksanaan eksekusi merupakan salah satu cara dari pemenuhan prestasi dari pihak yang lalai. Berdasarkan hal ini Penulis tertarik untuk membahas apakah BPSK berwenang memeriksa dan memutus keberatan atas lelang eksekusi Hak Tanggungan?”.

    B. Sekilas Tentang BPSK

    1. Sengketa Konsumen di BPSK

    Secara harafiah arti consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan terrnasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen”

    Black’s Law Dictionary memberikan pengertian konsumen adalah sebagai berikut: 2 “Consumer is Individuals who purchase, use, maintain, and dispose of products and services”.

    Terjemahan bebasanya: Konsumen adalah mereka yang berperan sebagai pembeli, pengguna, pemelihara dan pembuat barang dan atau jasa.

    Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 1 angka 1 Permendagri nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

    “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

    Sebelum muncul UUPK yang diberlakukan mulai 20 April 2000 – praktis hanya sedikit pengertian norrnatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia.

    Sedangkan untuk pelaku usaha, masyarakat umum biasanya menyebutnya dengan sebutan produsen. Kadang-kadang mereka rnengartikan produsen sebagai pengusaha, namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa produsen hanya penghasil barang saja dan merupakan salah satu unsur dari pengusaha.

    Black’s Law Dictionary, memakai istilah producer bagi pengusaha, dengan pengertian mirip definisi diatas yaitu, bahwa produsen bukan hanya penghasil barang saja.

    “One who produces, brings forth, or generates. Term is commonly used to denote person who raises agricultural products and puts them in condition for the market.” 3

    Terjemahan bebasnya: Produsen adalah mereka yang menghasilkan. Kata ini biasanya digunakan untuk orang yang meningkatkan hasil pertanian dan menempatkannya sesuai dengan kondisi pasar.

    Sementara dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen digunakan istilah Pelaku Usaha. Menurut Pasal 1 Angka 3, pengertian Pelaku usaha dirumuskan:

    “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hokum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hokum negara Republik Indonesia, baik sendiri mapun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

    BPSK diadopsi dari model Small Claim Tribunal (SCT) yang telah berjalan efektif di negara-negara maju, namun BPSK temyata tidak serupa dengan SCT. Sebagaimana diketahui SCT berasal dari negara-negara yang bertradisi atau menganut sistem hokum Common Law atau Anglo Saxon memiliki cara berhukum yang sangat dinamis dimana Yurisprudensi menjadi hal utama dalam penegakan hukum. Sedangkan Indonesia tradisi atau sistem hukumnya adalah Civil Law atau Eropa Kontinental yang cara berhukumnya bersumber dari hukum tertulis (peraturan Perundang-Undangan). BPSK nampaknya didesain dengan memadukan kedua sistem hukum tersebut, dimana model SCT diadaptasikan dengan model pengadilan dan model ADR (Alternative Dispute Resolution) khas Indonesia. Hal ini Nampak misalnya dari konsep BPSK yang berdasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan hukum acara yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di Pengadilan Negeri.4.

    Pasal 1 butir 11 UUPK jo. Pasal 1 angka 5 Permendagri nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.memberikan pengertian bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenamya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.

    2. Dasar Hukum, Keanggotaan dan kewenangan BPSK

    Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 Ayat 1 UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK.

    Menurut ketentuan Pasal 90 Keppres No. 9 Tahun 200 l, biaya pelaksanaan tugas

    BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur BPSK telah diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 06/M-DAG/PER/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tanggal 17 Februari 2017.

    Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur berjumlah sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, sehingga jumlah anggota BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima belas) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (saat sekarang kementerian ini di pisah menjadi 2 (dua) yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan).

    Pasal 50 UUPK menjelaskan, setelah terpilih anggota BPSK, kemudian diisi struktur organisasi yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota dan anggota yang dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh sekretariat yang terdiri dari kepala sekretariat dan anggota sekretariat. Pengangkatan dan pemberhentian sekretariat BPSK ditetapkan oleh menteri.

    Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsurnen (BPSK) diatur pada Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:

    1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase;

    2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

    3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

    4. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK);

    5. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

    6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

    7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

    8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen;

    9. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

    10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

    11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen;

    12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

    13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)

    Dengan menunjuk pada Pasal 49 ayat (I) dan Pasal 54 ayat (l) Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu: sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 5

    C. Pembahasan

    Dalam praktik pada lembaga peradilan, Mahkamah Agung RI telah membuat berbagai yurisprudensi, salah satu yang menjadi pokok perhatian penulis adalah Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Putusan BPSK yang memeriksa keberatan terhadap pelaksanaan

    lelang eksekusi hak tanggungan. Beberapa perkara yang berhasil Penulis temukan tentang pembatalan Putusan BPSK, yaitu

    1. Putusan Mahkamah Agung RI nomor 36/Pdt.Sus-BPSK/2016/PN.Tjb

    2. Putusan Mahkamah Agung nomor 42K/Pdt.Sus/2013;

    3. Putusan Mahkamah Agung nomor 336K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012’

    4. Putusan Mahkamah Agung nomor 94K/Pdt.sus/2012 tanggal 25 Mei 2015

    5. Putusan Mahkamah Agung nomor 208K/Pdt.sus/2012

    Debitur mengajukan keberatan tentang pelaksanaan lelang eksekusi Pasal 6 Undang- undang Hak Tanggungan ke BPSK, didasarkan pada Pasal 45 Undang-undang nomor 8 athun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disebutkan “setiap Konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalu pengadilan”. Tetapi apakah keberatan atas pelaksanaan lelang eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan dapat dikatakan sebagai sengketa konsumen.

    Pasal 1angka 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 06/M- DAG/Per/2/2017 tentang Badan penyelesaian Sengketa Konsumen, menyebutkan “Sengketa Konsumen adalah sengketa antara Pelaku Usaha dengan Konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau menderita kerugian akibat mengonsumsi barang ada atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.

    Jika melihat dari dasar hukum dari adanya lelang eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, adalah adanya perbuatan wan prestasi yang dilakukan oleh debitur. Sehingga Pemegang Hak Tanggungan merasa perlu untuk mengeksekusi objek jaminan, untuk diambil hasilnya sebagai pelunasan. Pernyataan wanprestasi ditentukan berdasarkan Perjanjian kredit yang dibuat oleh Kreditur dan Debitur. Akibat dari perjanjian kredit tersebut, maka berlaku ketentuan Pasl 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengatur perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga apabila debitur tidak melakukan pembayaran hutang sebagaimana ketentuan dalam perjanjian, dinyatkan wan prestasi.

    Terlihat dasar pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan didasarkan pada hubungan hukum perjanjian yang sama-sama disepakati. Hubungan hukum konsumen adalah perikatan yang bersifat quai Kontraktual, yaitu penundukan diri, seperti berbelanja disebuah toko, jika tidak sesuai dengan harga yang ada, maka pembeli dapat pergi. Sedangkan perjanjian kredit perbankan didasarkan pada hubungan kontraktual, adanya kondisi saling sepakat eterhadap syarat-syarat yang telah diperjanjikan bersama.

    Dari paradigma hal uyang dituntut, apabila melihat dari pengertian Sengketa Konsumen, maka yang diminta adalah ganti rugi yang dapat dituntut adalah karena:

    1. Kerusakan

    2. Pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi dan/atau memanfaatkan jasa

    Maka jelas kewenangan yang dimiliki BPSK adalah memeriksa perkara yang didasarkan adanya Perbuatan Melawan Hukum, sehingga dapat dimintakan ganti kerugian. Suatu gugatan yang didasarkan pada adanya suatu wanprestasi, secara logika hukum tidak dapat dimintakan ganti rugi tetapi pemenuhan prestasi yang belum dilakukan. Jelas disini pokok perkara tentang wanprestasi tidak termasuk kewenangan BPSK, maka wajar apabila Pengadilan membatalkan putusan BPSK terkait keberatan lelang.

    Jika dilihat dari isi Putusan yang bisa dijatuhkan oleh BPSK adalah

    1. Memutuskan dan menetapkan ada/atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen (Pasal 51 huruf j UU Perlindungan Konsumen).

    2. Menjatuhkan sanksi administrastif terhadap pelak usaha (Pasal 60 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen)

    Jelas BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluakan putusan yang membatalkan atau menunda pelaksanaan lelang. Sehingga dilihat dari unsur, sehingga unsur subjek, objek dan hal yang dituntut pun BPSK tidak berwenang memeriksa dan memutus keberatan lelang ekseksui Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan.

    BPSK merupakan badan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (pasal 49 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen), yang memutus sengketa konsumen. Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan lelang dalam Pasal

    24 disebutkan “lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau penetapan provisional atau putusan dari lembaga peradilan umum”. Berdasarkan Pasal ini sangat jelas kalau BPSK tidak dapat memutus sah atau tidaknya suatu pelaksanaan lelang, karena BPSK bukan lembaga peradilan. Maka secara kompentensi absolut BPSK tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus keberatan atas lelang eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan.

    Daftar Pustaka

    Buku

    Abdulrrasyid, Priyatna Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, Jakarta, Fikahati Aneska, 2002.

    Henry Campbell, “Black Law Dictionary”, Abridged Sixth Edition, 1990

    Kurniawan, Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Taun ke-41, Juli-September 2011

    Yusuf Sofie, “Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003)

    M.Yahya Harahap, 2003, Arbitrase : Ditinjau dari RV, Peraturan Prosedur BANI, ICSID,UNCITRAL, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60

    Sri Mamudji, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jurnal Hukum dan Pembenagunan Nomor 3 tahun xxxIV

    Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung; Nuansa Aulia, 2012 B.

    Jurnal

    Wahyu Pratama, Tinjauan Hukum Tentang Sertifikat Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion (Edisi 6 Volume 3), 2015, hlm 3.

    Pada

    http://download.portalgaruda.org/article.php?article=404614&val=5155&title=TINJAUAN HUKUM TENTANG SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996. Diakses pada tanggal 27 November 217

    Perundang-undangan

    Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia nomor 3821

    Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 1996 nomor 3232

    Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, diundangkan 23 April 2010

    1. Henry Campbell, "Black Law Dictionary ", Abridged Sixth Edition, 1990

    2. Ibid

    3. Ibid

    4. Kurniawan, Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Taun ke-41, Juli-September 2011

    5. Yusuf Sofie, “Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), ha!. 20-

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini