Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Akselerasi BMN Sebagai Revenue Center Dan Optimalisasi Penggunaan Dalam Pengelolaan BMN
N/a
Selasa, 31 Mei 2016 pukul 12:06:19   |   3755 kali

Oleh:
Thot Pardamaian

Staf pada Subdit III, Direktorat BMN, DJKN

Dalam rangka perbaikan proses bisnis organisasi yang diperlukan secara terus menerus untuk memberikan kontribusi nyata mewujudkan kesejahteraan rakyat, diperlukan akselerasi/percepatan menciptakan konsep mekanisme meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dapat beriringan dengan bisnis proses pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga Negara (K/L) selaku pengguna BMN dibawah kebijakan dan binaan, pengawasan dan pengendalian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang. Konsep akselerasi peningkatan PNBP ini diangkat dari realisasi BMN berupa tanah dan bangunan yang terdapat pada seluruh satuan kerja K/L. Realisasi nilai BMN tanah dan bangunan sampai dengan T.A. 2015 yang tersebar pada seluruh satuan kerja K/L antara lain:

a. Nilai BMN berupa tanah Rp991.833.154.707.820,00;
b. Nilai BMN berupa bangunan gedung negara Rp225.466.842.313.708,00.
    (sumber: LBMN 2015)

Terhadap BMN tanah dan/atau bangunan tersebut secara umum dan BMN yang menghasilkan PNBP tersebut, telah dilakukan pengelolaan dengan baik dan mempunyai dasar hukum yang memadai, dalam konteks ini adalah terkait penggunaan BMN yang efektif dan efisien menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pengelolaan BMN Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi K/L, dan BMN yang dapat menghasilkan PNBP melalui pelaksanaan ketentuan pemanfaatan BMN misalnya terkait sewa BMN dalam PMK Nomor 57/PMK.06/2016. Kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan oleh K/L, terkait PMK tersebut dititikberatkan pada BMN yang dilakukan pemanfaatan karena tidak digunakan untuk operasional dan/atau BMN Idle yakni “BMN tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan menyelenggarakan tugas dan fungsi K/L” dan “BMN tanah dan/atau bangunan yang digunakan tidak sesuai tugas dan fungsi K/L”. BMN idle berasal dari BMN terindikasi idle yang diketahui saat diterbitkan Surat Permintaan Klarifikasi Tertulis dari Pengelola Barang kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengenai adanya BMN terindikasi idle. Surat dimaksud bergantung pada pada adanya sumber informasi BMN terindikasi idle sebagaimana ditentukan PMK tersebut Pasal 7 yaitu “laporan pengawasan dan pengendalian (wasdal), informasi tertulis/laporan semesteran dan tahunan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pengawasan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), informasi dari media masa, dan laporan masyarakat”. Terhadap BMN Idle dimaksud dapat dioptimalkan dengan cara penggunaan oleh K/L lain atau dilakukan pemanfaatan untuk menambah PNBP (misal sewa BMN).

Sejalan dengan semangat pengelolaan dalam uraian diatas, konsep akselerasi ini mempunyai kesamaan semangat yang berorientasi pada optimalisasi BMN, akan tetapi ada perbedaan sangat esensial dan teknis terkait tujuan, yaitu mendayagunakan BMN sebagai trigger optimalisasi BMN khususnya peningkatan PNBP yang perlu disesuaikan dalam suatu kebijakan pengelolaan BMN untuk menuju DJKN sebagai “Revenue Center” sebagaimana amanat Menteri Keuangan Bambang P. S. Brodjonegoro dalam sambutannya pada pembukaan Roadshow Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan, tanggal 20 Maret 2016 di Gedung Keuangan Negara Bandung (sumber: Berita DJKN https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/detail/menkeu--djkn-harus-menjadi-revenue-center), dan dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Nasional DJKN Tahun 2016 di Jakarta, tanggal 25 Mei 2016 (sumber : https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/detail/menjadi-manager-asset-yang-berjiwa-enterpreneur). Selain itu maksud dari konsep akselerasi peningkatan PNBP ini dapat dapat mendorong penggunaan BMN yang lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan penggunaan BMN secara ideal.

Konsep “Menuju DJKN Revenue Center”
Bagian dari mekanisme pengelolaan BMN dalam uraian diatas (PMK 71/PMK.06/2016) sehubungan dengan tujuan akselerasi dimaksud, perlu dilengkapi dengan kemampuan menyajikan data informasi penggunaan BMN yang telah sesuai standardisasi, kurang dari standardisasi, dan melebihi standardisasi, oleh karena itu diperlukan mekanisme yang mampu memberikan kepastian tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan BMN oleh seluruh K/L guna memberikan pertimbangan memadai bagi stakeholder dalam mengambil kebijakan yang tepat dalam rangka peningkatan PNBP. Standardisasi dimaksud telah ada dan diatur dalam PMK Nomor 248/PMK.06/2016 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK) BMN Berupa Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 7/PMK.06/2016 tanggal 26 Januari 2016.

Ketentuan standardisasi dalam SBSK tersebut telah diterapkan dalam proses Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN) yang pertama kali disusun pada Semester II 2015 oleh 20 (dua puluh) K/L tertentu sebagai pilot project RKBMN untuk digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran pemeliharaan dan pengadaan BMN Tahun Anggaran 2017. Berdasarkan data RKBMN pemeliharaan dan pengadaan, dapat ditelusuri existing BMN tanah dan/atau bangunan pada masing-masing K/L dan berdasarkan SBSK yang berlaku dan dapat dilakukan analisis atas rencana pengadaan tanah dan/atau bangunan apakah dapat disetujui, atau tidak dapat disetujui karena terdapat existing BMN yang dapat dioptimalkan dalam penggunaan. RKBMN mempunyai keandalan dalam data informasi tersebut, akan tetapi sehubungan tujuan “Akselerasi BMN sebagai alat menuju Revenue Center”, keandalan tersebut sangat perlu ditingkatkan (dikembangkan) untuk kepentingan peningkatan PNBP demi kemajuan DJKN dalam pengelolan BMN. Kepentingan Peningkatan PNBP dimaksud yakni menggunakan data existing penggunaan BMN tanah dan/atau bangunan yang melebihi standar dalam SBSK.

SBSK BMN berupa tanah dan/atau bangunan mengatur standar tanah yang dimaksudkan untuk mendirikan bangunan gedung negara, dan bangunan gedung negara yang dikelompokkan menjadi gedung perkantoran dan rumah negara dengan klasifikasi tertentu. Ketentuan SBSK tersebut mengatur luas tanah dan bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing K/L dengan melakukan penyesuaian tingkat jabatan organisasi dan jumlah pegawai terhadap:
1. Standar gedung perkantoran melitpui:
    - Standar ketinggian bangunan;
    - Standar kebutuhan unit kantor;
    - Standar luas bangunan;
    - Standar luas tanah;
    - Standar luas ruang kerja;
2. Standar tanah dan bangunan rumah negara meliputi:
   - Standar kebutuhan unit;
   - Standar luas tanah;
   - Standar luas bangunan.

Bahwa penerapan ketentuan SBSK dimaksud hanya terbatas pada kepentingan penyusunan/penelaahan RKBMN, dan tidak dimaksimalkan secara langsung digunakan untuk menyajikan data informasi penggunaan BMN tanah dan/atau bangunan yang telah sesuai standar, kurang dari standar, dan melebihi standar (telah/kurang/melebihi standar) diluar kepentingan penyusunan/penelaahan RKBMN pengadaan dan pemeliharaan. Hal ini sebagaimana diatur PMK Nomor 7/PMK.06/2016 Pasal I angka 1 perubahan Pasal 2 huruf b yang mengatur bahwa “SBSK BMN berupa tanah dan/atau bangunan berfungsi sebagai pedoman bagi Pengelola Barang dalam menelaah RKBMN dalam bentuk pengadaan tanah dan/atau bangunan yang disusun oleh Pengguna Barang”, sehingga SBSK tersebut belum dapat diterapkan mewujudkan kepentingan peningkatan PNBP.

Bahwa dengan semangat menuju DJKN sebagai “Revenue Center” sebagaimana amanat Menteri Keuangan (dapat diartikan sebagai organisasi yang aktif meningkatkan kontribusi PNBP), SBSK dimaksud kiranya perlu dikembangkan dengan pengaturan SBSK yang baru dan tegas memberikan kepastian hukum sebagai dasar melakukan kegiatan mengidentifikasi/menelusuri dan mengukur (tracking and measurement) keberadaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan melebihi standar dan potensial menghasilkan PNBP. Namun demikian disisi lain sesuai ketentuan PMK Nomor 246/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan BMN, Pasal 3 bahwa “Penggunaan BMN dibatasi hanya untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan oleh K/L”, dapat ditafsirkan bahwa BMN yang melebihi standar didahulukan untuk optimalisasi penggunaan oleh K/L lain sebelum dilakukan pemanfaatan.

Berdasarkan “SBSK yang baru dimaksud diatas” dapat ditindaklanjuti dengan melakukan evaluasi tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan dan keberadaan BMN tanah dan/atau bangunan pada seluruh K/L secara terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam evaluasi dimaksud dapat dilakukan verifikasi dan identifikasi alokasi penggunaan BMN tanah dan/atau bangunan dengan tujuan menemukan posisi BMN potensial untuk dilakukan pemanfaatan yang dapat menambah kontribusi PNBP.
“SBSK yang baru dimaksud” harus mampu menyajikan pengukuran yang tepat/akurat, efisien dan efektif untuk diterapkan dalam standardisasi yang sesuai kebutuhan penggunaan BMN secara ideal, sehingga tidak terdapat ruang tanah dan/atau bangunan yang kurang atau berlebih dalam penyelenggaran tugas dan fungsi K/L. Oleh karena itu “SBSK yang baru dimaksud” harus dapat menjadi alat untuk melakukan penelusuran dan pengukuran (tracking and measurement) apakah keberadaan dan penggunaan BMN:
a. Telah sesuai standar barang dan kebutuhan secara ideal;
b. Kurang dari standar barang dan kebutuhan secara ideal;
c. Melebihi standar barang dan kebutuhan secara ideal.

Langkah awal tracking and measurement tersebut dapat dilakukan menggunakan alat “SBSK dimaksud” untuk mengolah data RKBMN pengadaan dan pemeliharaan khususnya tanah dan/atau bangunan yang diajukan oleh dua puluh K/L pilot project dimaksud diatas. Dalam RKBMN pengadaan, secara ideal existing BMN tanah dan/bangunan masih kurang dari standar barang dan kebutuhan sehingga perlu upaya optimalisasi penggunaan BMN tanah dan/atau bangunan yang melebihi standar pada K/L lain atau dilakukan pengadaan baru. Dalam RKBMN pemeliharaan dan merupakan yang pertama kali, dapat diasumsikan ada potensi BMN yang melebihi standar barang dan kebutuhan sehingga perlu dilakukan tracking and measurement untuk menyajikan data BMN tanah dan/atau bangunan yang telah/kurang/melebihi standar secara ideal. Hasil tracking and measurement RKBMN pemeliharaan dimaksud khusus untuk BMN tanah dan/atau bangunan yang melebihi standard dan kebutuhan, dapat dilakukan pemanfaatan (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh K/L lain). Pemanfaatan dimaksud harus dilakukan dianalisis terlebih dahulu dan dapat menggunakan metode menurut kegunaan terbaik dan tertinggi (highest and best use) dari tanah dan/atau bangunan sehingga dapat ditentukan bentuk pemanfaatan yang paling tepat menghasilkan PNBP tertinggi diantara bentuk pemanfaatan seperti sewa, kerja sama pemanfaatan, BGS/BSG, dan kerja sama penyediaan infrastruktur. Secara bertahap, berkelanjutan, dan berulang, langkah tracking and measurement jika dilakukan terhadap BMN tanah dan/atau bangunan yang tersebar pada seluruh K/L dapat menciptakan penggunaan BMN yang sesuai standar kebutuhan, dan dapat memberdayakan BMN yang berlebih melalui pemanfaatan (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh K/L lain).

Sebagaimana uraian-uraian tersebut diatas, diperlukan pengaturan tegas bahwa Pengelola Barang perlu dan dapat melakukan tracking and measurement BMN tanah dan/atau bangunan menggunakan alat SBSK dimaksud, sehingga dapat disajikan data informasi BMN yang telah/kurang/melebihi standar SBSK (disajikan dalam daftar tersendiri). Data informasi tersebut dapat ditindaklanjuti dengan kebijakan, misalnya didayagunakan sesuai kegunaan terbaik dan tertinggi (highest and best use) dalam bentuk pemanfaatan BMN untuk menghasilkan peningkatan PNBP misalnya sewa BMN (baik sebagian atau keseluruhan satuan unit tanah dan/atau bangunan, setelah upaya optimalisasi penggunaan BMN oleh K/L lain). Dengan demikian, peningkatan PNBP mempunyai harapan gemilang dalam pencapaian untuk mendukung DJKN sebagai “Revenue Center” maupun upaya DJKN sebagai “Managing of Manager Aset”. Konsep tersebut secara logis dapat diterapkan, akan tetapi bukanlah perkara mudah, dan membutuhkan dukungan nyata dari berbagai pihak.

Ilustrasi Ringan & Singkat:
Tracking and measurement dilakukan pada satuan kerja K/L A yang menggunakan tanah dan gedung kantor bertingkat 5 (lima) lantai. Setelah memperhitungkan kesesuaian jenis jabatan dan jumlah pegawai terhadap kebutuhan gedung kantor, berdasarkan SBSK secara ideal K/L A cukup menggunakan 3 (tiga) lantai saja dari 5 (lima) lantai gedung kantor tersebut, sehingga perlu dilakukan penataan ulang ruang kantor. Terhadap 2 (dua) lantai dari 5 (lima) lantai gedung kantor tersebut dapat dianalisa 2 (dua) lantai manakah menurut kegunaan terbaik dan tertinggi untuk dilakukan pemanfaatan yang tepat, misalnya sewa (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh K/L lain).

Rekomendasi

  1. SBSK dikembangkan/disempurnakan dan tidak terbatas sebagai pedoman penyusunan dan penelaahan RKBMN dimaksud, tetapi tegas memberikan dasar hukum bahwa SBSK dapat digunakan sebagai alat untuk tracking and measurement BMN tanah dan/atau bangunan secara ideal  telah/kurang/melebihi standar, dalam rangka menyediakan informasi memadai untuk pengambilan kebijakan peningkatan PNBP melalui pemanfaatan BMN.
  2. Selain dasar hukum SBSK dimaksud, perlu diatur tata cara tracking and measurement BMN berupa tanah dan/atau bangunan menggunakan alat SBSK dimaksud.
  3. Tracking and measurement dimaksud dapat dilakukan secara bertahap dan menggunakan atau mengolah data hasil penyusunan RKBMN yang telah ditelaah oleh Pengelola Barang bersama dengan Pengguna Barang.
  4. Hasil tracking and measurement dimaksud khusus untuk BMN tanah dan/atau bangunan yang melebihi standar SBSK harus dilakukan analisa untuk menentukan bentuk pemanfaatan yang tepat dalam rangka menghasilkan nilai PNBP yang besar (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh K/L lain).
  5. Hasil evaluasi BMN tanah dan/atau bangunan berdasarkan alat SBSK dimaksud, dalam hal dilakukan pemanfaatan misalnya sewa, diperlukan pengaturan pihak yang akan melaksanakan sewa apakah sewa sesuai PMK 57/PMK.06/2016 yaitu perikatan sewa dilakukan oleh Pengguna Barang dengan penyewa (dalam hal BMN berada pada Pengguna Barang), atau khusus dalam rangka peningkatan PNBP maka terkait hasil tracking and measurement tersebut semua perikatan dari bentuk pemanfaatan dilakukan oleh Pengelola Barang dengan pihak yang berminat sebagai mitra pemanfaatan.

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini