Kalau bicara tentang
organisasi maka adakalanya kita membayangkan bahwa ada tumpukan sistem yang
berlapis-lapis di dalamnya yang membuat organisasi sampai ke tujuannya dengan
efektif dan efisien. Sistem ini dibangun dan kemudian dikembangkan secara
berkelanjutan agar dapat mengikuti perkembangan budaya, teknologi serta mengantisipasi
peningkatan standar kepuasan stake holder/pengguna layanannya.
Menariknya, semodern
dan secanggih apapun sistem yang dibuat, tetap saja ada manusia-manusia akan
hadir di dalamnya sebagai tim kreatif atau sebagai penjaga/penggerak sistem
tersebut, meskipun di saat bersamaan robot-robot penggerak sistem sudah mulai
dibuat dan didayagunakan. Namun, atas nama kesejahteraan ekonomi masyarakat, euforia
perkembangan robot-robot tersebut ditahan
agar tidak menggilas eksistensi manusia. Sampai kapan dapat dibendung? Tentu
manusia sendiri yang akan menentukan jawabannya.
Tentu dengan masih
adanya eksistensi manusia di dalam sistem yang terus berkembang, kita berharap
banyak poin positif dari manusia yang bisa terus digali, sehingga penundaan
produksi masal robot-robot tersebut di atas tidak semata hanya keberpihakan
kepada masalah ekonomi masyarakat, tapi lebih jauh dari itu, yakni peran
manusia memang tak akan pernah tergantikan.
Dalam sistem organisasi,
manusia dan robot secara umum akan memberikan hasil yang serupa karena sistem
sudah dibuat sedemikian rupa. Namun satu hal yang membedakan adalah poin
pragmatisme. Manusia punya kesempatan untuk menikmati dan memberi makna pada
proses yang dijalankan sehingga outputnya lebih bercitarasa. Sedangkan
robot-robot diciptakan dari perhitungan yang teknis, eksekusi dalam otak robot
benar-benar hanya angka dan deretan perintah-perintah sehingga output yang
dihasilkan akan selalu “datar” tak bercitarasa atau dalam kata lain sangat
pragmatis.
Namun sayangnya, dalam
beberapa kasus dan tempat, peran manusia dalam sistem organisasi justru jauh
dari harapan. Dari awalnya eksistensi manusia diharapkan dapat menghasilkan
output yang penuh citarasa. Namun, kenyataan berkata lain, banyak output hasil
kerja manusia yang serupa dengan output robot-robot, terkesan seragam, datar
dan kental dengan nuansa pragmatis.
Semisal dalam area
pelayanan, hal-hal yang menjadi identitas
manusia dibuatkan SOP nya agar ada keseragaman yang baik dalam pelayanan.
Namun, manusia sering terjebak di dalamnya, SOP ini diartikan beberapa manusia
seperti perintah-perintah taktis seperti dalam otak robot, diterima begitu saja
tanpa pemaknaan yang lebih dalam sehingga output yang dihasilkan juga sangat
identik dengan hasil kerja robot.
Tak ayal kita sering
melihat gestur dan tata bahasa pada meja-meja pelayanan yang terlihat santun
dan penuh hormat, namun terkesan datar. Tiap kata yang terucap hanyalah deretan
kata yang telah diketik, disimpan baik-baik dalam otak dan kemudian diucapkan kepada
siapapun yang hadir dibumbui dengan intonasi nada yang menawan. Ini belum lagi
pada kasus yang lain lebih memprihatinkan, manusia benar-benar seperti robot,
yang hanya menjalankan tugas saja tanpa ekspesi yang humanis.
Dalam hal yang kecil
ini, terkait tata bahasa dan gestur pelayanan, sebenaranya manusia punya sejuta
variasi untuk berekspresi. Sastra yang telah diciptakan memungkinkan manusia
untuk terus berkomunikasi secara ekspresif dengan beragam pilihan kata/kalimat tanpa
meninggalkan poin keramahtamahan dan sopan santun. Manusia juga punya beragam
isyarat komunikasi lewat gestur tubuh untuk menunjukan rasa hormat atau
simpati. Tentu ini akan memberikan kesan yang istimewa bagi para pengguna jasa/pengguna layanan, karena setiap layanan yang diberikan akan selalu “unik”, tidak
membosankan dan akan memunculkan pertanyaan, besok seperti apa lagi ya
pelayanannya?
Ini baru hal kecil dari
sisi pelayanan, belum pada level berikutnya pada lingkungan kerja yang kita
hidup di dalamnya. Lingkungan kerja sering menjadi obat yang mujarab untuk
membuat orang menjadi robot dalam waktu sesingkat-singkatnya dan permanen. Sejatinya, manusia adalah makhluk sosial, tentu bersosialisasi adalah media menuju
predikat tersebut. Namun yang terjadi sebaliknya, ruangan kerja dipenuhi
berkas-berkas menumpuk, muka-muka yang serius di depan layar, deadline yang
silih berganti dan orang lalu lalang tanpa bertegur sapa. Lingkungan kerja seperti pemandangan mesin-mesin
dan robot-robot yang sedang bekerja, semua begitu presisi, tepat dan cepat.
Pergerakan seperti terukur dan tak ada jeda untuk sekedar bertukar pikiran atau
bersosialisasi. Waktu adalah uang, tentu uang dalam arti yang sebenarnya. Nilai
humanis sepertinya mereka simpan hanya untuk anak dan keluarga di rumah saja, dengan
catatan, mereka tidak lupa merubah setelan robotnya sebelum pulang. Apakah ada
citarasa yang tercipta dalam kondisi iklim bekerja seperti demikian, sebuah
pertanyaan yang terlalu naif ditanyakan.
Hal ini diperparah juga
dengan konsep berfikir “datang, kerja,
ambil gaji dan pulang” atau kalimat seperti “jangan terlalu serius-serius dalam bekerja, ketika kamu keluar (PHK, resign atau meninggal) sehari kemudian organisasi sudah punya penggantimu, tak
ada kesedihan atau kehilangan ketika kamu pergi”. Tentu konsep berfikir
demikian muncul karena iklim yang sudah tidak sehat dalam organisasi. Di tempat
kerja seperti itu manusia benar-benar berubah menjadi robot, miskin empati,
hilang ekspresi dan kehilangan hasrat untuk bersosialisasi. Salah siapa? Tentu
semua lini berkontribusi membentuk iklim yang seperti demikian. Pucuk pimpinan sampai ujung organisasi punya
andil dalam degradasi sosial ini. Semakin mereka menjadi “robot”, tentu suatu saat tidak lah salah bila tugas mereka
akan dengan mudah digantikan dengan robot yang sesungguhnya.
Manusia yang menjadi
robot, atau terlihat seperti robot hadir di sekitar kita, atau kita sendiri
bagian dari mereka. Kadang memang manusia sendiri yang enggan berkembang, hidup
menjadi robot diam-diam mereka nikmati dan tidak begitu masalah bagi mereka, asalkan gaji jangan terlambat dan naik kalo sudah waktunya naik, atau iklim
bekerja yang sudah benar-benar toxic sehingga mau sekaliber apapun manusianya ketika masuk dalam lingkungan bekerja tersebut mau tidak mau menjadi robot.
Kalau kita punya
kesadaran yang sama dan ingin gejala sosial ini tidak meluas dan merugikan
eksistensi manusia, maka berekspresilah secara merdeka, jadikan pekerjaan dan tempat bekerja kita
lebih terasa sisi humanisnya. Tambahkan citarasa unik di setiap output yang kita
hasilkan, hangatkan kembali ruang-ruang bekerja di kantor sehingga mampu jadi
penyelamat jiwa-jiwa humanis kita. Dan tunjukan bahwa keberadaan kita tidak
akan bisa tergantikan oleh robot-robot yang kadang mengesalkan itu. (Wisnu Herjuna-Seksi HI KPKNL Surakarta)