Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Surakarta > Artikel
Mempertahankan Organisasi yang Humanis
Wisnu Herjuna
Jum'at, 03 Juni 2022   |   649 kali

Kalau bicara tentang organisasi maka adakalanya kita membayangkan bahwa ada tumpukan sistem yang berlapis-lapis di dalamnya yang membuat organisasi sampai ke tujuannya dengan efektif dan efisien. Sistem ini dibangun dan kemudian dikembangkan secara berkelanjutan agar dapat mengikuti perkembangan budaya, teknologi serta mengantisipasi peningkatan standar kepuasan stake holder/pengguna layanannya.

Menariknya, semodern dan secanggih apapun sistem yang dibuat, tetap saja ada manusia-manusia akan hadir di dalamnya sebagai tim kreatif atau sebagai penjaga/penggerak sistem tersebut, meskipun di saat bersamaan robot-robot penggerak sistem sudah mulai dibuat dan didayagunakan. Namun, atas nama kesejahteraan ekonomi masyarakat, euforia perkembangan robot-robot tersebut ditahan agar tidak menggilas eksistensi manusia. Sampai kapan dapat dibendung? Tentu manusia sendiri yang akan menentukan jawabannya.

Tentu dengan masih adanya eksistensi manusia di dalam sistem yang terus berkembang, kita berharap banyak poin positif dari manusia yang bisa terus digali, sehingga penundaan produksi masal robot-robot tersebut di atas tidak semata hanya keberpihakan kepada masalah ekonomi masyarakat, tapi lebih jauh dari itu, yakni peran manusia memang tak akan pernah tergantikan.

Dalam sistem organisasi, manusia dan robot secara umum akan memberikan hasil yang serupa karena sistem sudah dibuat sedemikian rupa. Namun satu hal yang membedakan adalah poin pragmatisme. Manusia punya kesempatan untuk menikmati dan memberi makna pada proses yang dijalankan sehingga outputnya lebih bercitarasa. Sedangkan robot-robot diciptakan dari perhitungan yang teknis, eksekusi dalam otak robot benar-benar hanya angka dan deretan perintah-perintah sehingga output yang dihasilkan akan selalu “datar” tak bercitarasa atau dalam kata lain sangat pragmatis.

Namun sayangnya, dalam beberapa kasus dan tempat, peran manusia dalam sistem organisasi justru jauh dari harapan. Dari awalnya eksistensi manusia diharapkan dapat menghasilkan output yang penuh citarasa. Namun, kenyataan berkata lain, banyak output hasil kerja manusia yang serupa dengan output robot-robot, terkesan seragam, datar dan kental dengan nuansa pragmatis.  

Semisal dalam area pelayanan,  hal-hal yang menjadi identitas manusia dibuatkan SOP nya agar ada keseragaman yang baik dalam pelayanan. Namun, manusia sering terjebak di dalamnya, SOP ini diartikan beberapa manusia seperti perintah-perintah taktis seperti dalam otak robot, diterima begitu saja tanpa pemaknaan yang lebih dalam sehingga output yang dihasilkan juga sangat identik dengan hasil kerja robot.

Tak ayal kita sering melihat gestur dan tata bahasa pada meja-meja pelayanan yang terlihat santun dan penuh hormat, namun terkesan datar. Tiap kata yang terucap hanyalah deretan kata yang telah diketik, disimpan baik-baik dalam otak dan kemudian diucapkan kepada siapapun yang hadir dibumbui dengan intonasi nada yang menawan. Ini belum lagi pada kasus yang lain lebih memprihatinkan, manusia benar-benar seperti robot, yang hanya menjalankan tugas saja tanpa ekspesi yang humanis.

Dalam hal yang kecil ini, terkait tata bahasa dan gestur pelayanan, sebenaranya manusia punya sejuta variasi untuk berekspresi. Sastra yang telah diciptakan memungkinkan manusia untuk terus berkomunikasi secara ekspresif dengan beragam pilihan kata/kalimat tanpa meninggalkan poin keramahtamahan dan sopan santun. Manusia juga punya beragam isyarat komunikasi lewat gestur tubuh untuk menunjukan rasa hormat atau simpati. Tentu ini akan memberikan kesan yang istimewa bagi para pengguna jasa/pengguna layanan, karena setiap layanan yang diberikan akan selalu “unik”, tidak membosankan dan akan memunculkan pertanyaan, besok seperti apa lagi ya pelayanannya?

Ini baru hal kecil dari sisi pelayanan, belum pada level berikutnya pada lingkungan kerja yang kita hidup di dalamnya. Lingkungan kerja sering menjadi obat yang mujarab untuk membuat orang menjadi robot dalam waktu sesingkat-singkatnya dan permanen. Sejatinya, manusia adalah makhluk sosial, tentu bersosialisasi adalah media menuju predikat tersebut. Namun yang terjadi sebaliknya, ruangan kerja dipenuhi berkas-berkas menumpuk, muka-muka yang serius di depan layar, deadline yang silih berganti dan orang lalu lalang tanpa bertegur sapa.  Lingkungan kerja seperti pemandangan mesin-mesin dan robot-robot yang sedang bekerja, semua begitu presisi, tepat dan cepat. Pergerakan seperti terukur dan tak ada jeda untuk sekedar bertukar pikiran atau bersosialisasi. Waktu adalah uang, tentu uang dalam arti yang sebenarnya. Nilai humanis sepertinya mereka simpan hanya untuk anak dan keluarga di rumah saja, dengan catatan, mereka tidak lupa merubah setelan robotnya sebelum pulang. Apakah ada citarasa yang tercipta dalam kondisi iklim bekerja seperti demikian, sebuah pertanyaan yang terlalu naif ditanyakan.

Hal ini diperparah juga dengan konsep berfikir “datang, kerja, ambil gaji dan pulang” atau kalimat seperti “jangan terlalu serius-serius dalam bekerja, ketika kamu keluar (PHK, resign atau meninggal) sehari kemudian organisasi sudah punya penggantimu, tak ada kesedihan atau kehilangan ketika kamu pergi”. Tentu konsep berfikir demikian muncul karena iklim yang sudah tidak sehat dalam organisasi. Di tempat kerja seperti itu manusia benar-benar berubah menjadi robot, miskin empati, hilang ekspresi dan kehilangan hasrat untuk bersosialisasi. Salah siapa? Tentu semua lini berkontribusi membentuk iklim yang seperti demikian. Pucuk pimpinan sampai ujung organisasi punya andil dalam degradasi sosial ini. Semakin mereka menjadi “robot”, tentu suatu saat tidak lah salah bila tugas mereka akan dengan mudah digantikan dengan robot yang sesungguhnya.

Manusia yang menjadi robot, atau terlihat seperti robot hadir di sekitar kita, atau kita sendiri bagian dari mereka. Kadang memang manusia sendiri yang enggan berkembang, hidup menjadi robot diam-diam mereka nikmati dan tidak begitu masalah bagi mereka, asalkan gaji jangan terlambat dan naik kalo sudah waktunya naik, atau iklim bekerja yang sudah benar-benar toxic sehingga mau sekaliber apapun manusianya ketika masuk dalam lingkungan bekerja tersebut mau tidak mau menjadi robot.

Kalau kita punya kesadaran yang sama dan ingin gejala sosial ini tidak meluas dan merugikan eksistensi manusia, maka berekspresilah secara merdeka,  jadikan pekerjaan dan tempat bekerja kita lebih terasa sisi humanisnya. Tambahkan citarasa unik di setiap output yang kita hasilkan, hangatkan kembali ruang-ruang bekerja di kantor sehingga mampu jadi penyelamat jiwa-jiwa humanis kita. Dan tunjukan bahwa keberadaan kita tidak akan bisa tergantikan oleh robot-robot yang kadang mengesalkan itu. (Wisnu Herjuna-Seksi HI KPKNL Surakarta)

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini