Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Sidoarjo > Artikel
Sebab-sebab berakhirnya Kepailitan serta Konflik Norma UU Hak Tanggungan dan UU Kepailitan.
Retno Sri Astuti
Jum'at, 03 Desember 2021   |   12814 kali

Kepailitan menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana telah diatur pada undang-undang ini. Kepailitan ialah sebagai suatu proses yang didalamnya terdapat runtutan-runtutan langkah yang telah diatur undang-undang. Proses yang diatur tersebut dari mulai permohonan putusan sampai dengan adanya putusan pailit. Sebagaimana sebuah proses pada umumnya yang bukan hanya memiliki sebuah awal namun juga sebuah akhir, kepailitan juga memiliki sebuah akhir, hal tersebut biasanya disebut dengan berakhirnya kepailitan. Mungkin belum banyak orang yang mengetahui, terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi berakhirnya kepailitan, diantaranya ialah sebagai berikut:

1Akur atau Perdamaian

Perdamaian sebetulnya merupakan hal yang harus ditawarkan pada masing-masing pihak yang berperkara di pengadilan khususnya pada ranah perdata sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata yang bersumber dari HIR menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara hakim wajib mengusahakan perdamaian terlebih dahulu. Namun pada proses kepailitan, hakim tidak menawarkan perdamaian di awal pemeriksaan persidangan dikarenakan waktu yang amat terbatas bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Pada proses ini memang tidak dimungkinkan karena perdamaian atau yang lebih dikenal dengan mediasi pada hukum acara perdata minimal dilakukan selama 40 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari, sedangkan hakim harus memberikan putusan kepailitan maksimal 60 hari.

Perdamaian dalam kepailitan adalah perjanjian antara debitor pailit dengan para kreditor dimana menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut, ia dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi. Kepailitan yang berakhir melalui akur disebut juga berakhir perantaraan hakim (pengadilan).

Sebagaimana telah diatur pada pasal 144 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menerangkan bahwa Debitur pailit berhak untuk menawarkan perdamaian pada semua kreditur. sebagaimana disebutkan pada pasal 144 - 163 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jika perdamaian tersebut dapat diterima oleh para kreditur, pengadilan akan memutuskan pengesahan perdamaian tersebut dan sidang akan diadakan paling cepat 8 hari atau paling lama 14 hari setelah diajukannya perdamaian. Seperti yang telah disebutkan pasal 166 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, bahwa apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan pasti, kepailitan berakhir. Karena itu, kurator wajib melakukan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada debitur pailit di hadapan hakim pengawas, serta apabila dalam perdamaian tidak ditetapkan lain, kurator harus mengembalikan semua barang, uang, buku, dan surat yang termasuk harta pailit kepada debitur pailit. Namun, tidak semua penawaran pailit diterima oleh para kreditur, tidak menutup kemungkinan bahwa penawaran tersebut mengalami penolakan. Seperti yang diatur pada pasal 159 (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkn bahwa pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian apabila:

1.     Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamya segala barang yang terhadapnya berlaku hak menahan barang (hak retensi), melebihi jumlah yang dijanjikan dalam perdamaian.

2.     Perdamaian tersebut tidak terjamin penuh.

3.     Perdamaian tercapai karena penipuan yang menguntungkan secara tidak wajar seorang kreditor atau beberapa kreditor, atau karena penggunaan cara lain yang tidak jujur dengan tidak memperdulikan apakah dalam hal ini debitor pailit turut atau tidak melakukannya.

Apabila rencana perdamaian yang ditawarkan tersebut ditolak atau tidak dapat diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta pailit berada pada keaadaan insolvensi (pasal 178 (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Kemudian, apabila perdamaian atau pengesahan perdamaian tersebut ditolak, maka debitur pailit tidak dapat menawarkan perdamaian lagi pada kepailitan tersebut.

 2. Keputusan Pailit dari Pengadilan Niaga Menderogasi Kompetensi Pengadilan lain.

Praktik pemberesan harta pailit sering terjadi tarik menarik kepentingan antara Kurator dan pemegang Hak Tanggungan dalam penjualan harta pailit yang terkait dengan obyek hak tanggungan, hal ini karena ada konflik norma dalam UU Hak Tanggungan dan UU Kepailitan. Menurut penjelasan Dr. M Hadi Subhan,SH.MH,CN bahwa keputusan Pailit  Menderogasi/menghapus  Kompetensi Pengadilan lain, alis degorat lex generalis berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis). Dengan adanya putusan Penetapan Pailit maka segala akibat hukum atas pernyataan pailit baik bagi debitor pailit maupun kreditornya adalah tunduk pada ketentuan-ketentuan kepailitan, Dijelaskan  bahwa tugas Kurator adalah hanya mengurusi harta debitur pailit saja bukan mengurus hutang debitur pailit . Dengan adanya putusan pailit maka berlaku 1. Demi Hukum Serta Merta. 2. Sita umum atas semua harta kekayaan heart kekayaan.3. Perikatan yang dilakukan setelah pailit tidak mengikat harta pailit,perikatan yang belum selesai, maka berhenti, kecuali dilanjutkan oleh kurator.

 

Secara khusus pengaruh kepailitan terhadap hak tanggungan muncul dengan adanya Pasal 56 ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa hak eksekusi kreditor separatis pemegang hak tanggungan terhadap hak tanggungan yang berada dalam penguasaan kreditor ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari (masa stay). Selama penangguhan ini obyek hak tanggungan berada dalam pengawasan kurator, peranan kurator untuk mengawasi obyek hak tanggungan ini merupakan ciri dalam hukum kepailitan.  Hak-hak pemegang hak tanggungan yang telah dilindungi oleh Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 UUHT tidak terlindungi lagi jika debitor dinyatakan pailit karena berlaku Pasal 56 ayat (1) UUK (masa stay) yang menangguhkan eksekusi pemegang hak tanggungan selama 90 hari. Ditinjau dari ilmu hukum, apa yang ditentukan dalam UUK mengenai hak tanggungan khususnya yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) terhadap Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 UUHT telah menyebabkan adanya benturan norma hukum (norm conflict). Hal ini disebabkan oleh adanya benturan norma hukum yang terkandung dalam pasal-pasal kedua undang-undang tersebut. Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimana akibat hukum kepailitan terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan. Jika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka akan berlaku Pasal 56, Pasal 59 dan Pasal 60 UUK. Menurut Pasal 60 UUK, kreditor pemegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang melaksanakan haknya mengeksekusi benda-benda yang menjadi agunan dan kurator mengenai hasil penjualan benda-benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa penjualan yang telah di kurangi jumlah utang, bunga dan biaya, kepada kurator. Pengaturan mengenai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri, oleh Sutan Remy Syahdeini dinyatakan sebagai janji, namun UUHT juga menentukan sebagai hak yang diberikan undang-undang, yaitu jika debitur cidera janji, maka pemegang hak tanggungan pertama diberi hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa putusan hakim Pengadilan Niaga, semua perkara kepailitan diperiksa dan diputus berdasarkan UUK dan sama sekali tidak menyinggung ketentuan Pasal 21 UUHT. Segala akibat hukum atas pernyataan pailit baik bagi debitor pailit maupun kreditornya adalah tunduk pada ketentuan-ketentuan kepailitan. Menentukan ketentuan hukum yang berlaku untuk menyelesaikan kasus-kasus kepailitan, hakim Pengadilan Niaga berpedoman pada asas hukum yang dapat digunakan oleh hakim untuk dapat menentukan hukum yang harus diterapkan, yaitu asas hukum yang dikenal dengan asas lex posteriori derogat legi priori yaitu jika terjadi konflik antara undang-undang yang lama dengan yang baru, dan undang-undang yang baru tidak mencabut undang-undang yang lama yang berlaku ialah undang-undang yang baru. Oleh karena Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 lebih baru daripada Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan dalam UUK tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa UUHT tidak berlaku, maka yang harus dipilih adalah Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004.

 

Asas Hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Beberapa pendapat para ahli tentang pengertian asas hukum, yaitu Paton menyatakan bahwa asas hukum tidak akan pernah habis kekuataanya hanya karena telah melahirkan suatu aturan, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan seterusnya.  Asas hukum mempunyai keterkaitan dengan sistem hukum dan sistem peradilan, sehingga setiap terjadi pertentangan di dalam mekanisme kerjanya, senantiasa akan di selesaikan oleh asas hukum. Apabila dalam melaksanakan pilihan hukum itu diberlakukan asas lex specialis derogat lex generalis, maka timbul masalah untuk menentukan mana yang lex specialis, UUHT atau UUK, karena undang-undang tersebut sama-sama mengatur hal yang spesialis yaitu masalah kepailitan dan Hak Tanggungan. alis degorat lex generalis berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis), maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid dan mempunyai kekuatan yang mengikat untuk di terapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Dengan demikian baik debitor pailit maupun kreditornya tunduk pada ketentuan-ketentuan kepailitan, sehingga kreditor pemegang hak tanggungan yang mempunyai kedudukan sebagai kreditor preferen hanya dapat melaksanakan hak eksekusinya atas benda yang dibebani hak tanggungan untuk selama jangka waktu dua bulan setelah menjalani masa penangguhan selama sembilan puluh hari sejak putusan pailit diucapkan, sehingga terjadi ketidak-konsistenan dalam ketentuan UUK yang disatu sisi menyatakan kreditor pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tetapi disisi lain adanya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan, sehingga pada prakteknya ketika kurator mengajukan permohonan lelang boedel pailit,  pemegang hak tanggungan ada kalanya keberatan / tarik menarik dengan kurator dalam melaksanakan penjualan  harta pailit, karena merasa hak-  haknya tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan, akibatnya pelaksanaan lelang pailit tidak dapat dilaksanakan / batal.

 

Melihat adanya permasalahan tersebut diatas, maka penulis menyarankan pada para pakar hukum untuk dilakukan penelitian, analisis data dan pembahasan, karena banyaknya benturan antara peraturan perundang-undangan yang sederajat, yaitu antara UUK dan UUHT sehingga perlu dilakukan harmonisasi terhadap UUK dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah jaminan kebendaan sehingga terdapat keserasian norma hukum yang membuat wewenang kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai kepastian hukum.

 

 

    Penulis : Onter – Kpkn Sidoarjo

 

 

    Sumber dan referensi :

    Materi  webinar "Konflik Norma UU kepailitan dan PKPU VS UU Hak Tanggungan”, Dr. M Hadi Subhan,SH.MH,CN,Dosen Hukum Kepailitan Unair.

    Sejarah, Azas dan Teori Hukum Kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini.

    UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

    UU No.4 1996 tentang Hak Tanggungan        



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini