Pernah bekerja terlalu keras? Sering, tanpa istirahat dan
sampai lupa waktu? Itu termasuk ke dalam Hustle Culture. Untuk
para karyawan yang bekerja pada perusahaan startup
pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut. Jadi apa sih sebenarnya Hustle culture? Nah menurut
Menteri Ketenagakerjaan, Hustle Culture
dapat diartikan standar
di masyarakat yang menganggap bahwa hanya bisa mencapai sukses kalau
benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya
hingga menempatkan pekerjaan diatas segala-galanya.
Lalu
bagaimana awal dikenalnya Hustle Culture?
Sebelumnya
temen-temen pasti sudah tidak asing dengan nama-nama tokoh besar ini? Mereka
adalah beberapa tokoh besar dunia seperti, Mark Zukenberg, Jeff Bezos, Elon Musk, dan Jack Ma. Jadi apa
hubungan antara dikenalnya hustle culture
dengan mereka?
Istilah
Hustle culture dikenal sejak Tahun 1970-an,
lahirnya hustle culture sangat erat dengan
munculnya istilah workaholic di Barat
yang menggambarkan pekerja dengan jam kerja berlebih.Tahun 70-an memang lekat
dengan merebaknya banyak industri dunia. Menginjak tahun 90-an saat dunia mulai mengenal
internet, hustle culture makin
menjadi-jadi. Banyak perusahaan mulai mengenal email dan sistem administrasi
yang terdigitalisasi. Alhasil karyawan dituntut bisa bekerja lebih cepat seolah
tanpa batasan waktu, karena email bisa dikirim kapan saja dan dimana saja.
Tahun
90-an juga lahir banyak perusahaan teknologi raksasa yang saat ini menguasai
dunia seperti tokoh-tokoh yang sudah disebutkan hingga saat ini menguasai
dunia. Mereka seolah menjadi standar bagi kaum muda untuk bisa bekerja secara
berlebihan. Selain itu, beberapa tokoh pemilik perusahaan startup dunia seperti Jeff Bezos, Jack Ma dan Elon Musk yang
melakukan normalisasi bekerja melebihi waktu normal untuk mencapai kesuksesan.
Bahkan mereka melakukan glorifikasi
(aksi melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan luar biasa dan sempurna)
terhadap pekerjaan overtime.
Bahkan
Elon Mask sendiri pernah mencuitkan
pada akun twitter pribadinya bahwa hustle cultur itu cukup untuk membuat
perubahan, dia mencuit kata “There are
way easier place to work. But nobody ever changed the word on 40 hours a week”
Ada
beberapa faktor terjadinya Hustle Culture,
yaitu :
1. Teknologi
Dengan
kemajuan teknologi yang kian pesat di dunia, apalagi dalam dunia kerja yang
semakin memudahkan dalam hal admisnistrasi yang terdigitalisasi sehingga para
pekerja bisa mengakses tugasnya dimana dan kapan pun.
2. Kontruksi
Sosial
Patokan
dalam hidupnya yaitu kekayaan atau finansial orang lain agar bisa menyamaratakan
kehidupannya. Seperti membandingkan kekayaan atasan serta jabatan agar bisa
didapatkan. Hal ini bisa memicu pekerja untuk bekerja lebih keras untuk
mencapainya.
3. Toxic Positivity
Toxic Positivity adalah adalah dorongan untuk tetap
berasumsi positif walaupun sedang
mengalami situasi tertekan, sehingga dapat menyebabkan seseorang
mengabaikan kesehatan dirinya sendiri, yaitu lupa untuk beristirahat dalam
melakukan pekerjaan.
Nah bagaimana sih caranya menghindari Hustle Culture ini :
1. Merubah Mindset tentang Bekerja
Tidak
bisa dihindari bahwa sebagian besar orang pasti mendedikasian dirinya untuk
melakukan pekerjaan dengan sempurna dan totalitas. Padahal banyak kegiatan lain
yang masih harus dikerjakan di luar jam kerja. Seperti bagi orang yang sudah
menikah bisa dengan mengurus keluarganya.
2. Mencari Hobi di luar Pekerjaan
Selanjutnya
yaitu meluangkan waktu untuk menjalani hobi atau sekedar melakukan hal yang
disukai. Hal ini dilakukan agar membuat kehidupan personal dan kerja menjadi
lebih seimbang dan juga baik bagi kesehatan mentalnya.
3. Tahu Batasan Diri
Cara
selanjutnya untuk menghindari hustle culture
adalah mengetahui batasan diri atau bahkan membuat batasan yang jelas. Seperti
tahu kapan tubuh dan pikiran untuk beristirahat dan kapan untuk diajak bekerja
keras. Jangan memaksakan untuk memenuhi standar yang tak manusiawi.
Demikian penjelasan mengenai hustle culture, faktor dan cara mengatasinya, budaya tersebut sangat lekat dengan generasi millennials. Untuk menghadapi tantangan yang berat di masa depan, para generasi muda perlu dibekali pendidikan yang berkompeten. (Penulis: Kamsidah dan Sisca Mawar Prianty)