Tahun 2008 adalah
saat saya mulai bekerja pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Jakarta II, very-very early on working society istilahnya, saat itu
jugalah kami-kami sebagai ‘darah baru’ sebuah instansi mengenal lingkungan kerja
yang sebenar-benarnya, bersosialisasi, belajar hal-hal yang tidak pernah kami
dapatkan di perkuliahan, termasuk mempunyai pemimpin level atasan langsung
(eselon IV) pertama kalinya juga. Kemudian waktu berlalu, beberapa kali mutasi
dan beberapa kali berganti atasan, saya masih ingat betul siapa-siapa yang
menjadi atasan langsung sejak penempatan di Jakarta hingga akhirnya bertugas di
KPKNL Pekalongan sekarang ini. Total ada 8 (delapan) kali berganti atasan
langsung, dari Ibu Dewi Rahayu sebagai Kasubbag Umum di KPKNL Jakarta II dulu,
kemudian berturut-turut adalah Ibu Diana Setiastanti, Bapak Jumanto, Bapak Bimo
Aryo, Bapak Yustinus Eri Prastiantoko, Ibu Hanik Setiyowati, Bapak Dalfin Ponco
Nugroho, dan sampai akhirnya Bapak Noor El Hasani sebagai Kepala Seksi Hukum
dan Informasi KPKNL Pekalongan saat ini.
Sudah jamak
bahwa pastinya pemimpin menilai bawahannya, dari menilai kinerja bawahan,
integritas, hingga menilai perilaku mereka. Dan sebaliknya kami para staff juga
menilai atasan, baik secara nonformal (dalam hati atau pembicaraan dengan para
staff lainnya) dan secara formal dalam bentuk penilaian pada aplikasi yang
dibangun untuk penilaian tersebut. Secara nonformal kami mengenal dan menilai
perilaku atasan, bukan hanya atasan langsung tetapi juga atasan dari atasan
langsung, bagaimana cara mereka memimpin, bagaimana reaksi mereka saat dalam
tekanan, bagaimana gaya berkomunikasinya, ada yang serius dan ada pula atasan
yang mempertahankan adanya candaan, dan lain-lain. Jelas pula kami mengharapkan
pimpinan yang bukan hanya memahami pekerjaan anak buahnya, tetapi sekaligus
merangkul sebagai partner/teman dan bersedia membantu memberikan advice sekaligus
dukungan yang memadai dalam pekerjaan sehari-hari, demi tujuan baik bersama.
Mengenal Istilah Servant
Leadership
Istilah
servant leadership mungkin telah banyak dibahas dalam berbagai artikel dengan
data yang mencukupi, tetapi mari kita refresh kembali sebuah gaya kepemimpinan
yang makin banyak diterapkan di era sekarang ini.
“Seorang
pemimpin itu seperti gembala, dia berada di belakang kawanan membiarkan yang
paling gesit pergi ke depan, dimana yang lainnya akan mengikuti. Sampai-sampai
yang dipimpinnya tidak menyadari kalau selama ini mereka diarahkan dari
belakang” (Nelson Mandela)
Servant
leadership, gaya kepemimpinan yang melayani. Mungkin kalau terdengar
sekilas, hal ini seperti di luar nalar. Kok pemimpin yang melayani? Bukannya
pemimpin itu harusnya dilayani? Sudut pandang ini yang bertentangan dengan apa
yang mayoritas terjadi di masyarakat. Pemimpin yang melayani, bukan memerintah.
Pemimpin yang rendah hati, bukan arogan. Pemimpin yang mendorong timnya untuk
selalu maju dan bekerja dengan potensi terbaik. Pendekatan ini justru
memberikan hasil yang positif bagi perusahaan. Karyawan merasa didengar dan
masukannya dipertimbangkan. Tidak heran riset membuktikan, karyawan tersebut 4,6
kali lebih mungkin untuk bekerja sesuai kemampuan terbaiknya.
Pemimpin
seringkali digambarkan sebagai sosok yang kuat dan berpengaruh. Setiap orang
harus patuh dan selalu melayani sang pemimpin. Tak jarang kita lihat kalau
seseorang yang dianggap bos harus selalu dibantu oleh anak buahnya, bahkan
kadang sampai dibantu untuk mengerjakan hal sepele seperti mebawakan tas,
membukakan pintu dan sebagainya. Namun ada tipe pemimpin yang lain yakni
pemimpin dengan gaya servant leadership (kepemimpinan yang melayani).
Penelitian menunjukkan kalau perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin tipe ini
mampu mengungguli kompetitor, punya lingkungan kerja yang lebih baik dan
sebagainya.
Kepimimpinan
yang melayani bersifat universal karena berasal dari budaya timur dan barat.
Dari budaya timur, konsep ini merujuk dari para filsuf Cina pada tahun kelima
sebelum masehi seperti Lao Tze yang menjelaskan bahwa ketika para
pemimpin terbaik menyelesaikan sebuah pekerjaan, tim mereka akan berkata kalau
mereka tidak melakukannya sendiri. Kesuksesan tersebut tidak dipusatkan pada
satu orang, tetapi berkat kerjasama tim. Di era modern, terminologi servant
leader pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam insight-nya
yang berjudul The Servant as Leader pada tahun 1970. Menurut Robert,
idenya berasal dari sebuah novel dari seorang penulis Jerman yang berjudul
Perjalanan Ke Timur. Novel ini menceritakan seorang tokoh bernama Leo bertindak
sebagai pelayan dan bekerja dengan sebuah kelompok pencari kebenaran. Pada
suatu hari Leo menghilang dan semua orang menyadari bahwa tidak ada yang sama
tanpa hadirnya seorang Leo, yang mereka anggap bukan hanya seorang pelayan lagi
tetapi sebagai seorang pemimpin. Leo membantu semua orang dan mendorong potensi
terbaik dari masing-masing orang.
Servant
leader sesuai dengan penyebutannya, berarti seorang pemimpin yang mempunyai
dorongan untuk melayani di dalam dirinya. Mungkin sederhananya seperti ini,
dalam struktur organisasi tradisional, CEO dan para pemimpin lainnya berada
dalam puncak piramida dan semakin ke bawah merupakan karyawan dengan jabatan yang
lebih rendah misal manajer hingga staff biasa. Karyawan yang posisinya di bawah
berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan atasannya. Nah, kepempinan dengan
gaya servant leader justru digambarkan sebagai kebalikannya. Karyawan
ada di bagian atas dan seorang pemimpin ada di bagian bawah.
Para ahli
sering menggambarkan kebanyakan pemimpin bisnis tradisional berfungsi sebagai
pengawas. Karyawan diminta untuk mempertahankan tingkat kinerja yang
diinginkan, dan sebagai gantinya mereka menerima gaji dan tunjangan. Pemimpin
yang melayani bergerak di luar aspek tradisional manajemen, dan sebaliknya
secara aktif mengembangkan dan menyeleraskan karyawan dengan tujuan perusahaan.
Pemimpin itu dapat dilihat dari perilakunya, yakni bagaimana cara ia membawa
diri dan berinteraksi dengan karyawan yang lain. Contohnya bila ada karyawan
baru di sebuah perusahaan, seorang pemimpin dengan gaya servant leader
akan berusaha mencari tahu tentang karyawan tersebut dan menggali potensi apa
saja yang dapat ditingkatkan dari seorang karyawan. Pemimpin akan berusaha
menghargai pendapat karyawannya, tidak peduli apakah ia karyawan baru atau
sudah berpengalaman. Pemimpin akan meluangkan waktu untuk pengembangkan
karyawannya, entah dalam suatu sesi one on one, atau melalui suatu coaching.
Pemimpin akan melihat karyawan mereka sebagai calon pemimpin masa depan.
Tips Menjadi Servant Leader
1.
Banyak mendengar : mendengarkan secara mendalam,
mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan hanya untuk sekedar merespon.
Bahkan saat seorang pemimpin tidak setuju oleh pendapat anggota tim nya, servant
leader menahan diri untuk tidak langsung memotong pembicaraan anggota tim,
tetapi memberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan penyampaian
pendapatnya.
2.
Tidak ragu untuk bertanya : misalnya, ketika
kinerja seorang karyawan sedang menurun. Seorang servant leader akan
bertanya apa yang menghambat mereka, apa ada yang bisa dibantu. Di sisi lain
karyawan harus merasa nyaman bertanya pada seorang servant leader tanpa
takut membuat atasannya tersinggung.
3.
Tidak pelit memberikan kata-kata yang membangun
: servant leader dikenal sebagai pemimpin dengan empati yang tinggi.
Mereka berusaha memperlakukan karyawan selayaknya manusia bukan hanya sebagai
alat untuk mencapai target perusahaan. Mereka tidak segan memberikan dukungan
dan apresiasi kepada karyawannya.
4.
Mempengaruhi bukan memerintah : pemimpin
mempunyai kemampuan persuasif yang memadai. Ia mampu meyakinkan bawahannya akan
suatu tujuan bersama. Karyawan tidak melakukan sesuatu karena itu adalah sebuah
perintah, tetapi karena itu dikatakan oleh seorang servant leader.
Kelemahan Gaya Kepemimpinan
Servant Leader
Tidak ada yang
sempurna di dunia ini, termasuk gaya kepemimpinan servant leader. Konsep
ini kurang mudah untuk dijelaskan karena anggapan bila kita sebagai pemimpin
artinya kita yang dilayani, bukan melayani. Untuk menjadi servant leader
juga tidak mudah, seorang pemimpin harus mempunyai dorongan itu dalam dirinya,
jika tidak, maka semua hal yang ia lakukan hanyalah sebuah manipulasi belaka dan
tidak tulus. Di sisi lain, gaya kepemimpinan ini dapat membuat seorang pemimpin
dianggap lemah dan terlihat tidak mempu membuat keputusan sendiri. Alhasil, kecepatan perusahaan dalam membuat sebuah keputusan akan menjadi lebih lambat
karena lebih menekankan pembuatan keputusan secara bersama-sama.
Kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menjembatani kelebihan dan kelemahan gaya kepemimpinan servant leader? Semangat bersama antara atasan lah kunci utamanya. Masing-masing pihak seyogyanya dapat menempatkan diri sesuai perannya dalam suatu organisasi. Pemimpin mempunyai kebijakan dan arahan yang rasional yang akan diterima oleh bawahan/staff sebagai usaha yang dikerjakannya untuk mencapai tujuan bersama.
Penyusun : Ratih Prihatina, pelaksana seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan.
Sumber :
https://www.youtube.com/watch?v=oNcttPUMGD4&t=20s, Pemimpin Jadi Pelayan?