Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pekalongan > Artikel
Jebakan Kebiasaan
Noviana Cepaka Sari
Selasa, 18 Mei 2021   |   234 kali

Biasanya, saya hanya perlu mengeluarkan adonan kukis beku dari frezer, meletakkan di loyang yang telah dilapisi kertas minyak, lalu memasukkan ke oven.

Biasanya, tidak ada tangan iseng yang mengubah pengaturan suhu di oven.

Biasanya, saya hanya perlu memasang pewaktu di ponsel selama 18 menit, dan seluruh rumah dipenuhi wangi manis kue yang menggugah

Namun kemarin, setelah menjalani "biasanya" yang pertama dan ketiga, saya baru menyadari jika "biasanya" yang kedua sedang dalam kondisi luar biasa.

Hasilnya? Kukis cokelat kesukaan lebih tampak lebih cokelat dari biasanya: gosong.

 

Seberapa sering diri kita terjebak dalam kebiasaan?

Biasanya begini: berhasil, kok!

Biasanya begitu: sukses, loh!

 

Kebiasaan-kebiasaan itu bisa saja membawa kita pada mode autopilot, melakukan segalanya tanpa berpikir lagi.

James Clear dalam buku “Atomic Habit” bercerita tentang salah satu sistem perkeretaapian terbaik dunia yang dilakukan oleh Jepang. Operator kereta di Jepang memiliki kebiasaan yang cukup unik, yaitu Menunjuk dan Mengumumkan (Pointing and Calling).

Setiap detail diidentifikasi, ditunjuk, dan disebutkan dengan keras. 

Mereka terbiasa menunjuk ke berbagai objek dan menyerukan perintah. Saat kereta mendekati sinyal, operator akan menunjuk dan menyerukan “Sinyal hijau”. Ketika kereta masuk dan keluar stasiun, operator menunjuk ke papan jadwal dan menyebutkan waktu. Di peron, akan ada petugas yang menunjuk ke tepian peron dan berseru, “Semua aman.”

Menunjuk dan Mengumumkan efektif karena menaikkan tingkat kesadaran dari kebiasaan bawah sadar. Hal ini dikarenakan operator harus menggunakan mata, tangan, mulut, dan telinga. Kesalahan dapat dideteksi lebih awal sebelum terlanjur menjadi masalah yang lebih besar.

Semakin otomatis sebuah perilaku, maka semakin kecil kemungkinan kita untuk memikirnya secara sadar. Perilaku otomatis akan memunculkan tendensi untuk kita melewatkan detail kecil. Kita akan berasumsi bahwa apa yang terjadi selanjutnya akan sama dengan kejadian yang biasa terjadi.

Ada kalanya, kita perlu berhenti sejenak untuk mengevaluasi dan memastikan.

Apakah "biasanya" itu tepat?

Apakah ada cara yang lebih baik untuk mencapai target dari pada cara kita yang biasanya?

Apakah "biasanya" membuat kita tidak lagi sensitif dengan kondisi sebenarnya.

 

Kemarin, hanya kukis yang gosong karena "biasanya".

Semoga tidak ada hal lain, yang lebih besar dan berharga, yang rusak karena saya terjebak dalam kebiasaan.


(Penulis : Noviana Cepaka Sari - KPKNL Pekalongan)  

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini