Bulan Agustus
selalu menjadi bulan yang special bagi seluruh rakyat Indonesia dimanapun
berada. Bagaimana tidak? Setiap tahunnya masyarakat Indonesia selalu memperingati
hari ulang tahun atau Dirgahayu Republik Indonesia dengan beragam kegiatan
menarik. Momen upacara pun tidak pernah terlupakan untuk dapat sejenak khidmat
menjalani upacara dan mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban demi
tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia yang tahun ini genap berusia 78 tahun.
Selain upacara, tentu
menyelenggarakan lomba menjadi hal yang wajib bagi banyak masyarakat Indonesia.
Lomba-lomba selalu digelar untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan yang bias
kita sebut ‘17 Agustusan’. Walaupun sederhana namun selalu dapat menciptakan ke-guyub-an
masyarakat dan mengundang gelak tawa yang semakin menghangatkan suasana. Momen
lomba ini selalu seru mengundang seluruh kalangan usia, dari mulai anak kecil
bahkan hingga lansia juga bisa mengikuti lomba. Beragam hadiah juga disiapkan
untuk semakin menambah keseruan kegiatan lomba dan sebagai bentuk apresiasi
terhadap peserta lomba.
Dari tahun ke
tahun meskipun hampir sama, namun kita tidak pernah bosan untuk menyaksikan
bahkan mengikuti lomba lomba tersebut. Beberapa lomba yang begitu lekat dengan
perayaan kemerdekaan Indonesia misalnya balap karung, makan kerupuk, panjat
pinang, tarik tambang dan balap bakiak. Saat ini, lomba-lomba semakin beraneka
ragam, meski begitu lomba-lomba diatas menjadi menu wajib bagi panitia lomba,
karena merupakan ciri khas lomba 17 agutusan yang tidak boleh dihilangkan.
Namun, meski
dilakukan hampir setiap tahun, tak banyak masyarakat Indonesia sadar asal mula
tradisi perayaan 17 Agustus tersebut. Padahal, beberapa jenis perlombaan
sebenarnya punya sejarah dan filosofi tersendiri. Dari mana awal mulanya?
Hingga kini
tidak diketahui pasti siapa tokoh pelopor tradisi perlombaan untuk menyambut
Hari Kemerdekaan Indonesia. Namun pastinya tradisi perlombaan pada hari
kemerdekaan mulai marak pada saat Indonesia merayakan ulang tahun kelima pada
tahun 1950 namun belum diketahui dengan jelas siapa tokoh yang dibalik perayaan
lomba ini.
Di tahun
tersebut, intensitas pertempuran merebut kemerdekaan mulai berkurang sehingga
perlombaan ini dapat dinilai sebagai ungkapan kegembiraan dan perayaan atas
kemerdekaan Indonesia. Menurut Heri Priyatmoko, panjat pinang pernah menjadi
salah satu hiburan pada saat pernikahan Mangkunegara VII. Dari masa sebelum
kemerdekaan hingga saat ini, berbagai perlombaan tersebut masih eksis menjadi
penyemarak perayaan HUT RI.
KPKNL Palu
sendiri tidak ketinggalan, juga turut melaksanakan lomba 17 agustusan
(18/8/2023) yang digelar di halaman depan KPKNL Palu dan mengajak seluruh
pegawai sebagai peserta lomba. Lomba yang digelar diantaranya balap kelereng,
makan kerupuk, memasukkan sedotan ke dalam botol, voli sarung air, hingga ular
naga balon. Kiki, panitia lomba mengatakan, “Lomba sengaja digelar dan dibagi
kedalam kategori kelompok dan kategori individu. Tentu selain menyemarakkan peringatan
hari kemerdekaan, momen ini juga sebagai momen silaturahmi dan mengeratkan
sinergi antar pegawai dan menciptakan suasana yang guyub di lingkungan kerja.” Meskipun
digelar dengan sederhana, namun momen lomba berhasil memecah tawa seluruh
pegawai, yang begitu antusian mengikuti rangkaian lomba.
Hadiah yang
disiapkan juga menarik, yaitu snack yang disajikan dalam bentuk rentengan,
sehingga terlihat menarik untuk dikalungkan bak medali ke pemenang lomba nantinya. Selepas
lomba, kegiatan sarapan nikmat dari Bubur Manado menambah suasana hangat
di tengah pegawai.
Tidak hanya
sekadar lomba, setiap lomba juga memiliki esensi dan makna-nya masing-masing
loh misalnya lomba bakiak, bakiak merupakan permainan tradisional anak-anak
Sumatra Barat yang dimainkan hingga tahun 1970-an. Sedangkan di Jawa Tengah,
bakiak adalah sejenis sandal yang telapaknya terbuat dari kayu ringan dengan
pengikat kaki dari ban bekas yang dipaku di kedua sisinya.
Konon, bakiak
diinspirasikan oleh Jepang yang sudah memakai telapak kayu untuk Geisha-Geisha
yaitu seniman atau penghibur tradisional Jepang. Dalam konteks perlombaan,
balap bakiak menjadi simbol kerjasama dan kekompakan. Permainan ini dapat
dimenangkan jika kita memiliki langkah yang harmonis dan kuat. Maknanya adalah
untuk mencapai tujuan bersama, semua unsur yang terlibat harus bekerja dan
saling bahu-membahu untuk mencapai kemerdekaan pada masa penjajahan dahulu.
Lomba makan
kerupuk, meskipun sangat sederhana yaitu hanya sebatas diikat dan hanya diboleh
dimakan tanpa menggunakan tangan, namun klomba makan kerupuk menjadi lomba yang
paling ikonik karena sangat mencerminkan kondisi pada saat perebutan
kemerdekaan dahulu kala. Ide lomba ini diawali dengan melihat kondisi
masyarakat Indonesia di zaman penjajahan yang makan serba apa adanya. Kerupuk
merupakan makanan yang murah dan mudah didapat oleh masyarakat, namun makanan
sederhana ini tidak menyurutkan semangat juang para pejuang kemerdekaan di masa penjajahan
untuk menggapai kemerdekaan.
Lomba panjat
pinang, dahulu permainan ini digunakan sebagai hiburan dan bahan candaan bagi
kaum kolonial pada acara pernikahan maupun hajatan. Orang Belanda mengadakan
permainan ini dan pesertanya adalah masyarakat Indonesia yang memperebutkan
‘barang mewah’ seperti keju, gula, dan kemeja yang ditaruh di atas pohon pinang
atau tiang. Saat ini, lomba panjat pinang dapat dimaknai sebagai panjangnya
perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan, oli sebagai pelicin menggambarkan
rintangan dari penjajah dan hadiah di puncak menggambarkan keberhasilan
Indonesia meraih kemerdekaan.
Beberapa jenis
lomba banyak bermunculan saat ini, meskipun begitu sebagai masyarakat dan
warganegara Indonesia, tentunya kita harus memaknai kegiatan tersebut sebagai
bentuk sukacita merdekanya bangsa Indonesai dari jajahan bangsa lain. Kita
boleh mengartikan sendiri esensi setiap lomba di benak masing-masing. Namun,
satu hal yang pasti bahwa semua lomba menggambarkan sukacita dan perjuangan
yang harus dilakukan para pejuang yang telah mendahului kita untuk mencapai
kemerdekaan. Meskipun zaman semakin berkembang, namun kita perlu untuk
mempertahankan tradisi ini. (Tulisan dan gambar oleh : Angger Dewantara)
Referensi :