Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bandar Lampung > Artikel
Foto yang Baik 99% Menunggu, 1% Memotret
Hakim Setyo Budi Mulyono
Senin, 06 Januari 2020   |   488 kali

Reportase oleh: Hakim SB Mulyono

Foto di atas adalah karya Idhad Zakaria, salah satu fotografer kantor berita Antara. Foto tersebut ditayangkan dalam slide presentasi saat ia menjadi narasumber webinar terkait fotografi. Dalam webinar tersebut, Idhad secara panjang lebar menjelaskan tentang elemen-elemen dasar fotografi. Saya tidak akan ceritakan detil materi webinarnya di sini, namun sebagai gantinya saya akan bagikan file presentasinya.

Di sini saya akan mengulas sedikit hal-hal menarik yang saya pelajari dari webinar tersebut. Saya ingat, ada satu pernyataan Idhad yang membuat saya terkesan. Ia berkata: "Fotografer terbaik bukan yang banyak memotret, tapi yang banyak membaca."

Terus terang saya tidak menduga seseorang yang berprofesi sebagai fotografer akan mengeluarkan pernyataan demikian. Idhad mengaku bahwa meskipun profesinya fotografer namun hobinya adalah membaca. Ia kemudian menjelaskan bahwa soal teknik memotret itu bisa dipelajari. Seringkali masalahnya bukan pada tekniknya, namun pada inspirasi yang menggerakkan orang untuk memotret.

Menurutnya, inspirasi untuk memotret, menangkap momen yang tepat untuk diabadikan itu, dapat bersumber dari mana saja, termasuk dari buku.

Ia mengaku membaca buku apa saja, termasuk novel. Dari bagian tertentu cerita yang ia baca, ia mendapatkan inspirasi, misalnya memotret objek dermaga, stasiun, pasar, atau lokasi tertentu yang diceritakan di dalam novel.

Sebelum Webinar yang berlangsung berjam-jam itu berakhir, satu kejutan besar menunggu di slide terakhir. Terpampang satu foto: letusan gunung berapi.

Foto di atas adalah tayangan terakhir dari slide presentasi.

"Satu foto ini," ungkapnya, "menjelaskan semua apa yang saya presentasikan dari tadi."

Jika webinar tersebut adalah film, pernyataan itu bagaikan sebuah twist (kejutan) yang tak terduga.

 

"Pada akhirnya, foto yang kuat adalah kembali kepada foto yang sederhana," katanya.

"Foto yang baik itu tidak bertele-tele," tambahnya, "(yaitu) foto yang tidak mengandung elemen yang tidak perlu."

Setelah semua penjelasan atas elemen-elemen dasar fotografi yang ia jelaskan berjam-jam, tak disangka ia akan mengakhiri webinar dengan kalimat itu.

"Namun untuk menghasilkan foto yang simple," tambahnya, "perlu usaha yang tidak simple. Saya menunggu lama untuk mendapatkan momen yang tepat."

Ternyata itu rahasianya...

Kemudian ia bercerita. Untuk menghasilkan satu foto di atas itu, ia harus menunggu di dekat puncak Gunung Slamet selama 3 bulan.

Selama 3 bulan itu, setiap hari dia naik ke atas gunung dan menaruh kameranya di satu tempat. Setiap hari dia turun dan hari berikutnya naik lagi. Terus begitu setiap hari sampai gunung itu benar-benar meletus.

Dan saat gunung itu meletus, ia hanya tekan tombol otomatis yang terhubung dengan kabel: tanpa menyetel lagi kameranya yang sudah standby.

Hasilnya, hak lisensi foto itu dibeli oleh Times. Rangkaian foto yang lainnya dimuat di Antara dan media nasional lainnya.

Saya pikir Idhad akan berkata: hasil tidak mengkhianati proses. Tapi ia berkata: "Foto yang baik adalah 99% menunggu, 1% memotret."

Luar biasa.

Hakim SB Mulyono – Kasi HI KPKNL Bandar Lampung

Saya mendapatkan pelajaran dari webinar tersebut bahwa foto yang baik adalah yang dapat mengabadikan dan menceritakan suatu momen. Sesederhana apapun tekniknya. Foto yang baik harus dapat bercerita mewakili seribu kata.

Foto: @idhadzakaria

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini