Reportase oleh: Hakim SB Mulyono
Foto di atas adalah karya Idhad Zakaria, salah satu fotografer
kantor berita Antara. Foto tersebut ditayangkan dalam slide presentasi saat ia
menjadi narasumber webinar terkait fotografi. Dalam webinar tersebut, Idhad
secara panjang lebar menjelaskan tentang elemen-elemen dasar fotografi. Saya
tidak akan ceritakan detil materi webinarnya di sini, namun sebagai gantinya
saya akan bagikan file presentasinya.
Di sini saya akan mengulas sedikit hal-hal menarik yang saya
pelajari dari webinar tersebut. Saya ingat, ada satu pernyataan Idhad yang
membuat saya terkesan. Ia berkata: "Fotografer terbaik bukan yang banyak
memotret, tapi yang banyak membaca."
Terus terang saya tidak menduga seseorang yang berprofesi
sebagai fotografer akan mengeluarkan pernyataan demikian. Idhad mengaku bahwa
meskipun profesinya fotografer namun hobinya adalah membaca. Ia kemudian
menjelaskan bahwa soal teknik memotret itu bisa dipelajari. Seringkali
masalahnya bukan pada tekniknya, namun pada inspirasi yang menggerakkan orang
untuk memotret.
Menurutnya, inspirasi untuk memotret, menangkap momen yang
tepat untuk diabadikan itu, dapat bersumber dari mana saja, termasuk dari buku.
Ia mengaku membaca buku apa saja, termasuk novel. Dari
bagian tertentu cerita yang ia baca, ia mendapatkan inspirasi, misalnya
memotret objek dermaga, stasiun, pasar, atau lokasi tertentu yang diceritakan
di dalam novel.
Sebelum Webinar yang berlangsung berjam-jam itu berakhir,
satu kejutan besar menunggu di slide terakhir. Terpampang satu foto: letusan
gunung berapi.
Foto di atas adalah tayangan terakhir dari slide presentasi.
"Satu foto ini," ungkapnya, "menjelaskan
semua apa yang saya presentasikan dari tadi."
Jika webinar tersebut adalah film, pernyataan itu bagaikan
sebuah twist (kejutan) yang tak terduga.
"Pada akhirnya, foto yang kuat adalah kembali kepada
foto yang sederhana," katanya.
"Foto yang baik itu tidak bertele-tele,"
tambahnya, "(yaitu) foto yang tidak mengandung elemen yang tidak
perlu."
Setelah semua penjelasan atas elemen-elemen dasar fotografi
yang ia jelaskan berjam-jam, tak disangka ia akan mengakhiri webinar dengan
kalimat itu.
"Namun untuk menghasilkan foto yang simple,"
tambahnya, "perlu usaha yang tidak simple. Saya menunggu lama untuk
mendapatkan momen yang tepat."
Ternyata itu rahasianya...
Kemudian ia bercerita. Untuk menghasilkan satu foto di atas
itu, ia harus menunggu di dekat puncak Gunung Slamet selama 3 bulan.
Selama 3 bulan itu, setiap hari dia naik ke atas gunung dan
menaruh kameranya di satu tempat. Setiap hari dia turun dan hari berikutnya
naik lagi. Terus begitu setiap hari sampai gunung itu benar-benar meletus.
Dan saat gunung itu meletus, ia hanya tekan tombol otomatis
yang terhubung dengan kabel: tanpa menyetel lagi kameranya yang sudah standby.
Hasilnya, hak lisensi foto itu dibeli oleh Times. Rangkaian
foto yang lainnya dimuat di Antara dan media nasional lainnya.
Saya pikir Idhad akan berkata: hasil tidak mengkhianati
proses. Tapi ia berkata: "Foto yang baik adalah 99% menunggu, 1%
memotret."
Luar biasa.
Hakim SB Mulyono – Kasi HI KPKNL Bandar Lampung
Saya mendapatkan pelajaran dari webinar tersebut bahwa foto
yang baik adalah yang dapat mengabadikan dan menceritakan suatu momen.
Sesederhana apapun tekniknya. Foto yang baik harus dapat bercerita mewakili
seribu kata.
Foto: @idhadzakaria