Beberapa bulan
belakangan ini, tren flexing marak
bersliweran di media sosial. Jika diperhatikan, fenomena tersebut marak sejak jumlah
orang-orang superkaya (crazy rich)
semakin bertambah. Melalui outfit maupun habitnya yang identik dengan
barang-barang mahal, para crazy rich
ini mencoba terus eksis melalui medsosnya masing-masing. Mungkin hal tersebut sebagai
pembuktian atas pencapaian yang telah mereka raih. Atau mungkin juga sebagai
ajang promosi atas barang-barang branded
tertentu, mungkin loh yaa…
Menurut Head of
Research Knight Frank Asia Pacific Christine Li, ada persyaratan untuk masuk ke dalam kategori crazy rich atau Ultra High Net Worth Individuals (UHNWIs). Syaratnya
yaitu harus memiliki kekayaan lebih dari US$ 30 juta atau ekuivalen dengan Rp
432 miliar. Jumlah uang yang fantastis, cukup untuk membeli minyak goreng
seharga Rp 14 ribu sebanyak 30,8 juta liter.
Melansir Kompas.com, populasi crazy rich di Indonesia pada tahun 2020 tercatat
sebanyak 1.390 orang. Jumlah ini meningkat sebesar 1 persen selama pandemi tahun
2021 menjadi sebanyak 1.403 orang. Jika saja setengah dari mereka secara rutin memamerkan
kekayaan atau venue-venue tempat liburan di medsos, maka dalam sehari saja
sudah terdapat 700 postingan, seminggu 4.900 postingan, dan sebulan 21.000
postingan.
Dengan jumlah follower
yang wow dan setia mengamplifikasi, maka postingan bercorak flexing akan sangat
mencolok dan menjadi trending topik di berbagai kanal medsos. Belum lagi media
cetak maupun elektronik yang seolah-olah
kehabisan berita sehingga mengangkat topik flexing mereka secara rutin. Entah karena
dikejar target dan tenggat, atau entah karena pangsa pasar yang menggiurkan
sehingga kanal media umum tersebut rajin memberitakan hal orang-orang tersebut.
Sebenarnya
fenomena flexing sudah muncul sejak
berabad-abad tahun yang lalu. Dahulu kala flexing
dikenal sebagai conspicuous consumption atau konsumsi yang mencolok. Pada tahun 1899, Thorstein Veblen mengangkat tema tersebut dalam
salah satu bukunya berjudul “The Theory of
the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions". Dalam teorinya, ahli ekonomi dan sosiolog berkebangsaan Amerika ini
mengungkapkan adanya 'konsumsi
yang mencolok' untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk
menunjukkan status dan posisi sosial. Orang-orang dengan strata ekonomi “sultan” menggunakan uang untuk membeli barang
dan jasa-jasa yang mewah dengan tujuan menunjukkan status atau kekuatan ekonomi.
Thorstein Veblen mengamati bahwa pada masa tersebut, sendok perak dan korset
adalah simbol status sosial di masyarakat. Hanya kalangan elite yang bisa
memiliki sendok perak dan korset tersebut.
Dengan perkembangan teknologi
yang semakin canggih, aktivitas flexing
menjadi semakin mudah. Jika pada era Thorstein Veblen, orang super kaya
memamerkan sendok perak dan korsetnya melalui ajang pesta para bangsawan, di
era globalisasi ini para “sultan” cukup memamerkan melalui halaman medsosnya
masing-masing. Lebih praktis dan amplifikasinya lebih mengglobal tentunya.
Hal tersebut jugalah
yang kemudian menular dan mewabah di Indonesia. Para crazy rich seolah-olah berlomba-lomba memamerkan kekayaan dan
kemewahannya. Jika menengok kembali ke budaya ketimuran Indonesia, fenomena
tersebut sungguh memprihatinkan. Apalagi di masa-masa pandemi seperti sekarang
ini, saat mayoritas publik sedang berusaha untuk bertahan hidup, para crazy rich seolah-olah nihil rasa empati
akan hal itu. Bahkan penulis meyakini bahwa seluruh ajaran agama selalu
mengajarkan kita untuk tidak berfoya-foya, memamerkan harta, dan berpola hidup
sederhana.
Tidak ada larangan
untuk menjadi kaya, apalagi super kaya. Namun secara etika, tetaplah selalu
rendah hati dan membumi, karena harta kekayaan hanyalah titipan. Semoga kelak
jika salah satu atau seluruh jajaran DJKN masuk ke dalam kategori crazy rich,
tetap rendah hati, selalu berempati dan menghindari aktivitas flexing.
Penulis: Mahmud
Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran