Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Kisaran > Artikel
Crazy Rich, Flexing, dan Melunturnya Budaya Ketimuran
Mahmud Ashari
Senin, 14 Maret 2022   |   21764 kali

Beberapa bulan belakangan ini, tren flexing marak bersliweran di media sosial. Jika diperhatikan, fenomena tersebut marak sejak jumlah orang-orang superkaya (crazy rich) semakin bertambah. Melalui outfit maupun habitnya yang identik dengan barang-barang mahal, para crazy rich ini mencoba terus eksis melalui medsosnya masing-masing. Mungkin hal tersebut sebagai pembuktian atas pencapaian yang telah mereka raih. Atau mungkin juga sebagai ajang promosi atas barang-barang branded tertentu, mungkin loh yaa…

Menurut Head of Research Knight Frank Asia Pacific Christine Li, ada persyaratan untuk masuk ke dalam kategori crazy rich atau Ultra High Net Worth Individuals (UHNWIs). Syaratnya yaitu harus memiliki kekayaan lebih dari US$ 30 juta atau ekuivalen dengan Rp 432 miliar. Jumlah uang yang fantastis, cukup untuk membeli minyak goreng seharga Rp 14 ribu sebanyak 30,8 juta liter.

Melansir Kompas.com, populasi crazy rich di Indonesia pada tahun 2020 tercatat sebanyak 1.390 orang. Jumlah ini meningkat sebesar 1 persen selama pandemi tahun 2021 menjadi sebanyak 1.403 orang. Jika saja setengah dari mereka secara rutin memamerkan kekayaan atau venue-venue tempat liburan di medsos, maka dalam sehari saja sudah terdapat 700 postingan, seminggu 4.900 postingan, dan sebulan 21.000 postingan.

Dengan jumlah follower yang wow dan setia mengamplifikasi, maka postingan bercorak flexing akan sangat mencolok dan menjadi trending topik di berbagai kanal medsos. Belum lagi media cetak maupun elektronik yang seolah-olah kehabisan berita sehingga mengangkat topik flexing mereka secara rutin. Entah karena dikejar target dan tenggat, atau entah karena pangsa pasar yang menggiurkan sehingga kanal media umum tersebut rajin memberitakan hal orang-orang tersebut.

Sebenarnya fenomena flexing sudah muncul sejak berabad-abad tahun yang lalu. Dahulu kala flexing dikenal sebagai conspicuous consumption atau konsumsi yang mencolok. Pada tahun 1899, Thorstein Veblen mengangkat tema tersebut dalam salah satu bukunya berjudul “The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions". Dalam teorinya, ahli ekonomi dan sosiolog berkebangsaan Amerika ini mengungkapkan adanya 'konsumsi yang mencolok' untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial. Orang-orang dengan strata ekonomi “sultan” menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa-jasa yang mewah dengan tujuan menunjukkan status atau kekuatan ekonomi. Thorstein Veblen mengamati bahwa pada masa tersebut, sendok perak dan korset adalah simbol status sosial di masyarakat. Hanya kalangan elite yang bisa memiliki sendok perak dan korset tersebut.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, aktivitas flexing menjadi semakin mudah. Jika pada era Thorstein Veblen, orang super kaya memamerkan sendok perak dan korsetnya melalui ajang pesta para bangsawan, di era globalisasi ini para “sultan” cukup memamerkan melalui halaman medsosnya masing-masing. Lebih praktis dan amplifikasinya lebih mengglobal tentunya.

Hal tersebut jugalah yang kemudian menular dan mewabah di Indonesia. Para crazy rich seolah-olah berlomba-lomba memamerkan kekayaan dan kemewahannya. Jika menengok kembali ke budaya ketimuran Indonesia, fenomena tersebut sungguh memprihatinkan. Apalagi di masa-masa pandemi seperti sekarang ini, saat mayoritas publik sedang berusaha untuk bertahan hidup, para crazy rich seolah-olah nihil rasa empati akan hal itu. Bahkan penulis meyakini bahwa seluruh ajaran agama selalu mengajarkan kita untuk tidak berfoya-foya, memamerkan harta, dan berpola hidup sederhana.

Tidak ada larangan untuk menjadi kaya, apalagi super kaya. Namun secara etika, tetaplah selalu rendah hati dan membumi, karena harta kekayaan hanyalah titipan. Semoga kelak jika salah satu atau seluruh jajaran DJKN masuk ke dalam kategori crazy rich, tetap rendah hati, selalu berempati dan menghindari aktivitas flexing.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini