Dalam
pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan negara kita sering mendengar istilah
pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara. Menurut penjelasan Pasal 12B
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi
adalah Pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Jika gratifikasi tidak dilaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari setelah penerimaan maka
akan dianggap suap. Berdasarkan UU di atas, gratifikasi adalah termasuk korupsi
yang terancam hukuman pidana dengan ancaman penjara maksimum seumur hidup dan
denda paling banyak Rp 1 miliar.
Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah beserta para pemangku kepentingan untuk menghilangkan
praktek pemberian gratifikasi kepada para penyelenggara negara. Salah satu
upaya yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) adalah dengan memerintahkan seluruh
instansi pemerintah untuk membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) hingga
ke satuan kerja atau satuan kerja vertikal mandiri terkecil. Hal tersebut
tertuang dalam Surat Edaran Menpan RB Nomor 4 Tahun 2019 tentang Percepatan
Upaya Pengendalian Gratifikasi Di Instansi Pemerintah, yang merupakan tindak
lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional
Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Pada intinya tugas UPG
adalah untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian gratifikasi pada
masing-masing unit instansi pemerintah. Selain itu UPG juga dapat melakukan
upaya-upaya peningkatan integritas pegawai, meningkatkan semangat antikorupsi
baik kepada pegawai maupun para pengguna layanan/masyarakat. Dalam pengendalian
gratifikasi UPG dapat menjadi perpanjangan tangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang menerima laporan penerimaan atau penolakan gratifikasi dari
penyelenggara negara, untuk diteruskan kepada KPK dan ditetapkan statusnya.
Dalam pelaksanaannya, sebagaimana
dilansir katadata.co.id, KPK mencatat adanya 4.365
laporan gratifikasi sepanjang
1 Januari – 22 Desember 2022. Instansi yang paling banyak melapor adalah
Kementerian Keuangan dengan jumlah 836 laporan. Jumlah laporan gratifikasi
tersebut hanya 0,1 persen jika dibandingkan dengan jumlah ASN selaku
penyelenggara negara pada tahun 2022, yang berjumlah sebanyak lebih dari 4 juta
orang (Data Badan Kepegawaian Negara per 30 Juni 2022). Artinya dari 1.000
orang penyelenggara negara hanya 1 orang yang melaporkan penerimaan
gratifikasi. Jika diasumsikan jumlah UPG sebanyak lebih dari 20 ribu unit
(ekuivalen dengan jumlah entitas akuntansi pada Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP) Tahun 2022) dan setiap UPG diasumsikan hanya menerima 1 laporan
penerimaan gratifikasi selama tahun 2022, maka dari seluruh UPG yang ada hanya
21 persen yang menerima dan meneruskan laporan gratifikasi dari penyelenggara
negara kepada KPK, dan 79 persen UPG tidak melaporkan atau melaporkan nihil/nol
terkait adanya laporan penerimaan gratifikasi dimaksud.
Dari
angka-angka tersebut ada beberapa fakta yang dapat kita lihat, sebagai berikut:
1. Bahwa kewajiban untuk melaporkan penerimaan
gratifikasi kepada KPK telah dilaksanakan oleh penyelenggara negara baik secara
langsung kepada KPK maupun melalui unit-unit pengendalian gratifikasi pada
instansi terkait meskipun persentasenya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah
seluruh aparatur penyelenggara negara.
2. Dengan begitu banyaknya aparatur penyelenggara negara
yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga serta unit-unit di
pemerintahan daerah propinsi maupun kabupaten/kota, UPG mempunyai peran yang strategis
untuk membantu KPK dalam mencegah dan mengelola adanya pemberian gratifikasi.
Dengan angka-angka tersebut kita juga
dapat mengasumsikan dua hal, yang pertama bahwa kesadaran dari masyarakat
sebagai pengguna layanan dari para penyelenggara negara untuk tidak memberikan sesuatu
atau gratifikasi kepada penyelenggara negara sudah sangat baik sehingga persentase
penerimaan gratifikasi hanya 0,01 persen dibandingkan jumlah seluruh aparatur
penyelenggara negara yang berpotensi menerima gratifikasi, atau asumsi yang
kedua justru sebaliknya, kesadaran dari para penyelenggara negara untuk
melaporkan adanya penerimaan gratifikasi kepada KPK secara langsung atau
melalui UPG di instansi pemerintah masih kurang karena jika mengacu pada laporan Transparency Internasional, Indeks
Persepsi Korupsi di Indonesia tahun 2022 turun 4 point dari 38 menjadi 34 pada skala
0-100, yang berarti persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi termasuk
di dalamnya pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara di Indonesia
masih buruk, sehingga tidak konsisten dengan minimnya jumlah laporan
gratifikasi yang merupakan salah satu indikator perilaku koruptif.
Menyikapi adanya dua
kemungkinan di atas, menjadi tanggung jawab semua pihak untuk secara jujur
menafsirkan hal mana yang sebenarnya menjadi cerminan dari perilaku para
penyelenggara negara beserta seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di
dalamnya, untuk selanjutnya dilakukan evaluasi mendalam terhadap pengendalian
gratifikasi yang selama ini dilaksanakan. Selain itu perlu upaya-upaya nyata
sesuai tugas dan kewenangan masing-masing pemangku kepentingan baik dalam
peningkatan integritas para penyelenggara negara maupun penegakan hukum yang
tanpa pandang bulu, serta peningkatan kesadaran kepada masyarakat selaku
pengguna layanan bahwa pemberian gratifikasi adalah hal yang tabu, dan menjadi
racun yang akan merusak sendi-sendi keadilan dalam penyelenggaraan negara. Hal
ini tentu sejalan dengan semangat Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang
diperingati setiap tanggal 9 Desember, agar peringatan Hakordia bukan hanya
rutinitas atau seremonial belaka.
(Tulisan yang sama juga dimuat di Harian Gorontalo Post, 11 Desember 2023.)
Disclaimer:
Tulisan adalah opini
pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi.