Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Gorontalo > Artikel
Minimnya Laporan Penerimaan Gratifikasi, Sebuah Prestasi atau Ironi?
Muhammad Fajar Nugroho
Selasa, 12 Desember 2023   |   696 kali

Dalam pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan negara kita sering mendengar istilah pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara. Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Jika gratifikasi tidak dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari setelah penerimaan maka akan dianggap suap. Berdasarkan UU di atas, gratifikasi adalah termasuk korupsi yang terancam hukuman pidana dengan ancaman penjara maksimum seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah beserta para pemangku kepentingan untuk menghilangkan praktek pemberian gratifikasi kepada para penyelenggara negara. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) adalah dengan memerintahkan seluruh instansi pemerintah untuk membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) hingga ke satuan kerja atau satuan kerja vertikal mandiri terkecil. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menpan RB Nomor 4 Tahun 2019 tentang Percepatan Upaya Pengendalian Gratifikasi Di Instansi Pemerintah, yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

Pada intinya tugas UPG adalah untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian gratifikasi pada masing-masing unit instansi pemerintah. Selain itu UPG juga dapat melakukan upaya-upaya peningkatan integritas pegawai, meningkatkan semangat antikorupsi baik kepada pegawai maupun para pengguna layanan/masyarakat. Dalam pengendalian gratifikasi UPG dapat menjadi perpanjangan tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerima laporan penerimaan atau penolakan gratifikasi dari penyelenggara negara, untuk diteruskan kepada KPK dan ditetapkan statusnya.

Dalam pelaksanaannya, sebagaimana dilansir katadata.co.id, KPK mencatat adanya 4.365 laporan gratifikasi sepanjang 1 Januari – 22 Desember 2022. Instansi yang paling banyak melapor adalah Kementerian Keuangan dengan jumlah 836 laporan. Jumlah laporan gratifikasi tersebut hanya 0,1 persen jika dibandingkan dengan jumlah ASN selaku penyelenggara negara pada tahun 2022, yang berjumlah sebanyak lebih dari 4 juta orang (Data Badan Kepegawaian Negara per 30 Juni 2022). Artinya dari 1.000 orang penyelenggara negara hanya 1 orang yang melaporkan penerimaan gratifikasi. Jika diasumsikan jumlah UPG sebanyak lebih dari 20 ribu unit (ekuivalen dengan jumlah entitas akuntansi pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022) dan setiap UPG diasumsikan hanya menerima 1 laporan penerimaan gratifikasi selama tahun 2022, maka dari seluruh UPG yang ada hanya 21 persen yang menerima dan meneruskan laporan gratifikasi dari penyelenggara negara kepada KPK, dan 79 persen UPG tidak melaporkan atau melaporkan nihil/nol terkait adanya laporan penerimaan gratifikasi dimaksud.

Dari angka-angka tersebut ada beberapa fakta yang dapat kita lihat, sebagai berikut:

1.    Bahwa kewajiban untuk melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK telah dilaksanakan oleh penyelenggara negara baik secara langsung kepada KPK maupun melalui unit-unit pengendalian gratifikasi pada instansi terkait meskipun persentasenya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh aparatur penyelenggara negara.

2.    Dengan begitu banyaknya aparatur penyelenggara negara yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga serta unit-unit di pemerintahan daerah propinsi maupun kabupaten/kota, UPG mempunyai peran yang strategis untuk membantu KPK dalam mencegah dan mengelola adanya pemberian gratifikasi.

Dengan angka-angka tersebut kita juga dapat mengasumsikan dua hal, yang pertama bahwa kesadaran dari masyarakat sebagai pengguna layanan dari para penyelenggara negara untuk tidak memberikan sesuatu atau gratifikasi kepada penyelenggara negara sudah sangat baik sehingga persentase penerimaan gratifikasi hanya 0,01 persen dibandingkan jumlah seluruh aparatur penyelenggara negara yang berpotensi menerima gratifikasi, atau asumsi yang kedua justru sebaliknya, kesadaran dari para penyelenggara negara untuk melaporkan adanya penerimaan gratifikasi kepada KPK secara langsung atau melalui UPG di instansi pemerintah masih kurang karena jika mengacu pada laporan Transparency Internasional, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia tahun 2022 turun 4 point dari 38 menjadi 34 pada skala 0-100, yang berarti persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara di Indonesia masih buruk, sehingga tidak konsisten dengan minimnya jumlah laporan gratifikasi yang merupakan salah satu indikator perilaku koruptif.

Menyikapi adanya dua kemungkinan di atas, menjadi tanggung jawab semua pihak untuk secara jujur menafsirkan hal mana yang sebenarnya menjadi cerminan dari perilaku para penyelenggara negara beserta seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya, untuk selanjutnya dilakukan evaluasi mendalam terhadap pengendalian gratifikasi yang selama ini dilaksanakan. Selain itu perlu upaya-upaya nyata sesuai tugas dan kewenangan masing-masing pemangku kepentingan baik dalam peningkatan integritas para penyelenggara negara maupun penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, serta peningkatan kesadaran kepada masyarakat selaku pengguna layanan bahwa pemberian gratifikasi adalah hal yang tabu, dan menjadi racun yang akan merusak sendi-sendi keadilan dalam penyelenggaraan negara. Hal ini tentu sejalan dengan semangat Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember, agar peringatan Hakordia bukan hanya rutinitas atau seremonial belaka. 

 (Tulisan yang sama juga dimuat di Harian Gorontalo Post, 11 Desember 2023.)

 

Disclaimer:

Tulisan adalah opini pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini